Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaleidoskop 2020: Jalan Terjal Eskpor Benih Lobster

Kompas.com - 29/12/2020, 10:30 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Tahun 2020 menjadi tahun-tahun krusial dalam perjalanan ekspor benih lobster. Pengesahan Peraturan Menteri yang menjadi titik balik ekspor benih lobster mulai diterbitkan pada 2020, meski wacananya sudah digaungkan pada September 2019 silam.

Pintu masuk ekspor benih lobster setelah Susi Pudjiastuti lengser ditandai dengan terbitnya Peraturan Menteri Nomor Nomor 12 tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah RI.

Meski sudah dilarang, Menteri KP Edhy Prabowo telah menerbitkan aturan tentang ekspor benur yang baru. Beleid ekspor benih lobster (benur) diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Mei 2020.

Baca juga: Saat NU dan Muhammadiyah Kompak Minta Ekspor Benih Lobster Dihentikan

Penerbitan aturan baru sontak dikritisi berbagai pihak, akhirnya diwarnai pro-kontra yang semakin menjadi-jadi. Sikap kontra salah satunya ditunjukkan oleh Susi Pudjiastuti.

Susi memang mantan menteri yang paling vokal soal isu keberlanjutan lingkungan. Menurutnya ekspor benih lobster bisa membahayakan lingkungan dan memunahkan plasma nutfah.

"Kalau sekarang ini dibuka lalu ada kuota, mohon maaf saya ini sangat anti perdagangan yang memakai kuota. Saya ini sangat anti sistem ekonomi plasma dan inti plasma. Ini prinsip pribadi," kata Susi dalam diskusi daring, Kamis (23/7/2020).

Saat serah-terima jabatan kepada Edhy, Susi percaya penuh bahwa Edhy bisa melanjutkan hal-hal baik yang sudah dijalaninya selama ini. Namun kepercayaan itu berbalik menjadi serangan. Susi kerap mengkritik Edhy Prabowo melalui Twitter pribadi miliknya.

"Ya prihatin saja, cannot do anything. Sedih saja. saya akan suarakan pendapat saya untuk reminding everyone. Bagaimanapun juga sebagai warga negara, saya punya tanggung jawab untuk menyuarakan sesuatu untuk menjadi lebih baik," kata Susi pada April 2020.

Rawan kongkalikong

Susi yang menjadi pengusaha di sektor bahari menyampaikan kesaksiannya, bahwa ekspor benih lobster rawan kongkalikong dan rawan mafia. Di masanya pun, suap-menyuap sudah terjadi. Susi sempat mengaku ditawari uang hingga Rp 5 triliun namun ditolaknya.

Dia merasa paham betul, ekspor benur rentan dikomersialisasi pengusaha besar, bukan nelayan asing yang justru disebut-sebut Edhy dalam beberapa kesempatan.

Pengusaha besar umumnya mempekerjakan nelayan kecil untuk menangkap benih lobster. Sebab cara pengambilan benur hanya menggunakan perahu kecil.

Baca juga: Luhut Anggap Kebijakan Terkait Benih Lobster Tidak Ada yang Salah

Setelah berhasil menangkap bibit lobster, para nelayan kecil lalu menjualnya ke pengusaha besar dengan harga murah. Pengusaha besar tersebut memiliki akses yang lebih baik untuk mengirimkannya ke luar negeri.

"Dia (nelayan) ambil bibitnya (lobster), dia perjualbelikan ke pengusaha yang punya akses untuk kirim (ekspor) bibit lobster ke Vietnam untuk dibesarkan. Perdagangan lintas negara kan harus lewat border, memerlukan kapal, memerlukan sarana prasarana yang tidak bisa orang kecil lakukan," ungkap Susi, (25/4/2020).

Edhy kekeuh, ekspor benih lobster tetap harus dibuka karena banyak nelayan kecil yang menggantungkan hidupnya pada penangkapan benur.

Susi lantas merasa geli bila salah satu alasan diizinkannya ekspor benih lobster karena banyak nelayan yang mengantungkan hidupnya menjadi pencari benih. Padahal, sumber daya laut bukan hanya benih lobster saja.

"Sekarang diwacanakan pengambil bibit nanti ambil apa kalau tidak ambil bibit? Ya lucu, ya masa di laut itu isinya cuma bibit lobster? Adanya bibit karena ada emak lobster. Lobster besar inilah yang ditangkap, jangan bibitnya," kata Susi dalam diskusi daring, Kamis (23/7/2020).

Tidak ingin memperkaya diri

Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Edhy menyatakan tidak memiliki niat untuk memperkaya diri-sendiri. Pernyataan ini dibuat lantaran sindiran mengenai banyaknya kader Partai Gerindra yang menjadi eksportir benur.

Padahal kata Edhy, penunjukkan eksportir sudah ada timnya. Bukan menteri yang menentukan. Semua sudah ada prosedur yang ketat.

Edhy bahkan tak peduli jika masyarakat terus nyinyir akibat kebijakannya. Selama tujuannya mulia dan rakyat bisa makan, kata Edhy, dia akan terus maju.

"Saya tidak peduli akan dibully seperti apa mengelola negeri ini selama saya yakin tujuannya mulia membela rakyat. Saya tidak peduli gambar saya dibikin telanjang, yang penting rakyat saya masih bisa makan. Yang penting saya didukung komisi IV," papar dia.

Penerbitan Juknis berujung Mundurnya Dirjen

Usai Peraturan Menteri disahkan, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap saat itu, M. Zulficar Mochtar mundur dari jabatannya. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap memang menangani isu-isu krusial, seperti penentuan alat tangkap dan pelarangan ekspor benih lobster.

Entah ada hubungannya dengan pelegalan ekspor benur atau tidak, yang pasti Zulficar meminta maaf memilih langkah yang tidak populer.

Baca juga: 2 Pejabat KKP Mundur, Edhy Prabowo: Saya Pikir Itu Hak

"Saya mohon maaf memilih langkah yang tidak populer. Mundur. Bukan untuk gagah-gagahan. Sederhana saja: prinsip jangan ditawar, jabatan bukan segalanya," ucapnya kala itu.

Wakil Ketua Umum Bidang Konservasi dan Keberlanjutan Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan, Chalid Muhammad, juga mundur.

Saat itu Chalid diketahui masih berstatus sebagai Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Dalam beberapa hal, boleh jadi KNTI memberikan dukungan atas kebijakan KKP dan boleh jadi akan menentangnya bila kebijakan tersebut berdampak buruk bagi nelayan.

Dalam surat pengunduran dirinya, Chalid meminta Edhy Prabowo untuk mengevaluasi Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik dalam setiap pengambilan keputusan.

Pihak-pihak yang memiliki kepentingan langsung atas kebijakan yang akan dikonsultasikan, sebaiknya tidak menjadi bagian dari kelembagaan yang menyelenggarakan konsultasi publik.

Para pihak tersebut sebaiknya menjadi peserta aktif dalam proses konsultasi, agar semua kepentingan dari konstituen masing-masing dinyatakan terbuka dalam proses konsultasi publik. Dia pun meminta nelayan dan pelaku usaha dilibatkan.

Kendati dua staf penting dalam KKP mundur, kebijakan ekspor tetap berlanjut.

Belum budidaya, sudah bisa ekspor

Lobster laut jenis mutiara milik Ali Murtadho yang siap dipasarkan.Dok. pribadi Lobster laut jenis mutiara milik Ali Murtadho yang siap dipasarkan.

Benar kata Susi Pudjiastuti, Pembudidaya lobster asal Lombok Timur, Amin Abdullah menyaksikan bahwa pengusaha sikut-sikutan merekrut nelayan. Para pengusaha itu merekrut nelayan agar mereka bisa diajak kerja sama dalam pengambilan benur. Lalu, para pengusaha mendaftarkan nelayan ke KKP.

Lebih mengherankan, para pengusaha itu justru sudah bisa mengekspor benur sebelum melakukan budidaya.

Padahal dalam Permen 12/2020 dan petunjuk teknis (Juknis), ekspor benur bisa dilakukan usai pengusaha menghasilkan panen dari budidaya berkelanjutan dan melepas sekitar 2 persen dari hasil budidayanya.

Selang beberapa bulan Permen terbit, para eksportir sudah lenggang saja mengekspor benur menggunakan jasa kargo. Sedangkan untuk panen lobster, pelaku usaha biasanya membutuhkan waktu paling cepat 8-12 bulan.

"Darimana ini kok bisa teman-teman eksportir ekspor benih sementara Permen berbunyi seperti itu?," tutur Amin terheran-heran.

Mulai tercium ada yang tidak beres

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus adanya praktik persaingan usaha tidak sehat (monopoli) dalam ekspor benur. Ekspor benur hanya dilakukan di satu titik saja. KPPU telah memantau dugaan praktik monopoli perusahaan logistik ini sejak November 2019.

Di sisi lain, KKP membantah dan menegaskan tidak menunjuk perusahaan logistik (freight forwarding) tertentu untuk mengekspor benih lobster (benur) ke luar negeri.

Bantahan disampaikan langsung oleh Staf Khusus Menteri KP, Andreau Pribadi yang juga merupakan Ketua Tim Uji Tuntas (due diligence) Ekspor Benih Lobster.

Praktek monopoli ini semakin jelas usai lembaga anti-rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan kronologi kejadian atas kasus suap yang melibatkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo.

Baca juga: Saling Sindir Edhy Prabowo dan Susi Pudjiastuti, Soal Ekspor Benih Lobster hingga Penenggelaman Kapal

Dalam konferensi pers yang digelar Rabu (25/11/2020), Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menerangkan, ekspor benih lobster hanya dapat dilakukan satu forwarder, yakni PT Aero Citra Kargo (PT ACK).

"Diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor," kata Nawawi dalam konferensi pers.

Berdasarkan keterangan KPK, Andreau jadi tersangka kasus suap ekspor benih lobster. Kasus bermula ketika awal bulan Oktober 2020, PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) datang ke KKP bertemu dengan Stafsus Edhy Prabowo yang lain, yakni Safri.

Safri dan Andreau merupakan staf khusus yang juga menjabat sebagai Tim Uji Tuntas (due diligence), yang memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur. Andreau sebagai Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas, sementara Safri adalah wakilnya.

Dalam pertemuan tersebut dijelaskan, pengiriman benih lobster memang hanya dapat melalui forwarder PT ACK dengan biaya angkut Rp 1.800 per ekor, yang merupakan kesepakatan antara Amiril Mukminin dengan Andreau dan SWD, selaku pengurus PT ACK.

Lalu, PT DPP melakukan sejumlah transfer senilai Rp 731,57 juta ke rekening PT ACK selaku forwarder. Transfer juga dilakukan oleh ABT, selaku pemegang PT ACK ke rekening atas nama AF sebesar Rp 3,4 miliar untuk keperluan Menteri Edhy Prabowo, istrinya, Andreau, dan Safri di AS.

Uang transferan itu digunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosita Dewi di Honolulu AS Rp 750 juta usai melakukan kunjungan kerja.

Uang sejumlah Rp 750 juta itu dibelanjakan barang-barang mewah, antara lain jam tangan Rolex, tas Tumi, tas Loius Vuitton, dan baju Old Navy.

Atas kejadian ini, Edhy Prabowo mundur dari jabatannya sebagai Menteri KP. Kemudian para pengamat menyarankan, pihak menteri pengganti selanjutnya jangan lagi berasal dari partai politik.

Penunjukan Sakti Wahyu Trenggono

Wakil Menteri Pertahanan Wahyu Sakti Trenggono saat diperkenalkan Presiden RI, Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (25/10/2019). Joko Widodo melantik 12 orang wakil menteri Kabinet Indonesia Maju.KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO Wakil Menteri Pertahanan Wahyu Sakti Trenggono saat diperkenalkan Presiden RI, Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (25/10/2019). Joko Widodo melantik 12 orang wakil menteri Kabinet Indonesia Maju.

Pada Selasa (22/12/2020), Presiden RI Joko Widodo akhirnya menunjuk Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan baru. Trenggono sebelumnya menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan.

Sebetulnya, Trenggono lebih banyak berkecimpung di dunia telekomunikasi alih-alih kelautan dan perikanan. Namun saat menjadi penjabat di Kementerian Pertahanan (Kemenhan), namanya tercatut menjadi Komisaris Utama PT Agro Industri Nasional.

Baca juga: Janji Menteri KP Baru Soal Ekspor Benih Lobster

PT Agro Industri Nasional diketahui merupakan salah satu perusahaan yang mendapat izin ekspor benih lobster pada zaman Edhy Prabowo. Berdasarkan laporan Tempo, PT Agro Industri Nasional dimiliki oleh Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan Kementerian Pertahanan. Oleh karena itu penunjukkannya dianggap berisiko.

Namun Trenggono menegaskan, dia tidak lagi menjabat sebagai Komisaris Utama di PT Agro Industri Nasional. Trenggono bilang, Wakil Menteri Pertahanan yang akan menggantikannya dan mendapat jabatan sebagai ex-officio dalam perusahaan tersebut.

"Tentu Wakil Menteri Pertahanan berikutnya yang akan menjadi Komisaris Utama di sana (PT Agro Industri Nasional). Saya sudah tidak bisa," kata Trenggono dalam lawatannya ke Gedung Mina Bahari IV, KKP, Rabu (23/12/2020).

Lebih lanjut dia menjelaskan, pihaknya akan mengevaluasi kebijakan ekspor benih lobster. Trenggono lantas menyatakan cintanya kepada keberlanjutan.

"Soal benur akan kita evaluasi, karena saya cinta soal keberlanjutan lingkungan. kalau itu rusak lingkungannya, maka generasi berikut tidak akan bisa mendapat manfaat. Nah, itu yang akan kita evaluasi," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com