Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dradjad H Wibowo
Ekonom

Ekonom, Lektor Kepala Perbanas Institute, Ketua Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI), Ketua Pendiri IFCC, dan Ketua Dewan Pakar PAN.

Sebuah Rekam Jejak Vaksinasi Covid-19: Tulisan Kedua dari Seri Pemulihan Ekonomi dan Vaksinasi

Kompas.com - 18/02/2021, 13:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA mengetahui betul seseorang yang sudah dua kali disuntik vaksin CoronaVac dari Sinovac. Atas ijin yang bersangkutan, dengan tetap menjaga privasi, rekam jejak vaksinasinya saya tulis untuk edukasi publik.

Saya memang meneliti Covid-19 dari sisi ekonomi dan model matematikanya. Salah satu pracetak tulisan saya dimasukkan EuropePMC dan The World Pandemic Research Network. Karena itu, saya harus banyak membaca dan menulis riset tentang Covid-19.

Baca: Pemulihan Ekonomi dan Vaksinasi: Indonesia di Persimpangan Jalan

Awalnya orang tersebut ragu mengikuti program vaksinasi. Penyebabnya, Sinovac tidak transparan mengenai hasil uji klinis fase 3-nya. Saya kemudian merujuknya ke tulisan Prof Yanjun Zhang et al.

Judul tulisan itu, Safety, tolerability, and immunogenicity of an inactivated SARS-CoV-2 vaccine in healthy adults aged 18-59 years: a randomized, double-blind, placebo-controlled, phase 1/2 clinical trial. Artikel ini diterbitkan online oleh The Lancet Infectious Diseases pada 17 November 2020.

Ada sejumlah temuan penting artikel tersebut. Pertama, efek samping dari CoronaVac tergolong ringan dan hanya dialami oleh 13-35 persen penerima vaksin. Efek samping terbanyak adalah nyeri di sekitar titik penyuntikan.

Ada satu kasus urtikaria yang cukup berat, tapi sembuh setelah tiga hari diobati. Urtikaria itu ruam merah, gatal, disertai peninggian permukaan kulit.

Kedua, dalam uji klinis fase 2, laju serokonversi untuk neutralising antibodies (NAbs) bervariasi antara 92,4-100 persen. Adapun untuk immunoglobulin G (IgG) spesifik terhadap receptor binding domain (RBD), angkanya 96,5-100 persen.

Serokonversi adalah pengembangan antibodi dalam tubuh hingga mencapai jumlah yang terdeteksi. Antibodi jenis IgG mengikat virus pada RBD-nya.

NAbs adalah antibodi yang mengikat dan menetralisir virus sehingga tidak mampu menginfeksi sel tubuh. Dalam vaksinasi berinterval 14 hari, antibodi diukur 14 dan 28 hari pascasuntikan kedua (PSD). Dalam vaksinasi berinterval 28 hari, pengukurannya 28 hari PSD.

Petugas kesehatan menerima suntikan vaksin corona buatan Sinovac di RSIA Tambak, Jakarta Pusat, Jumat (15/1/2021). Vaksin Sinovac telah mendapatkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dengan izin penggunaan darurat ini, vaksin CoronaVac produksi Sinovac Life Science Co.Ltd.China dan PT Bio Farma (Persero) dapat digunakan untuk program vaksinasi di Indonesia.KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Petugas kesehatan menerima suntikan vaksin corona buatan Sinovac di RSIA Tambak, Jakarta Pusat, Jumat (15/1/2021). Vaksin Sinovac telah mendapatkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dengan izin penggunaan darurat ini, vaksin CoronaVac produksi Sinovac Life Science Co.Ltd.China dan PT Bio Farma (Persero) dapat digunakan untuk program vaksinasi di Indonesia.

Jadi, menurut artikel tersebut, CoronaVac aman dan efektif. Orang tersebut akhirnya ikut vaksinasi dan melakukan sendiri beberapa prosedur.

Pertama, dia memonitor efek samping selama tujuh hari setelah disuntik. Kedua, dia jalankan prosedur kesehatan ekstra ketat untuk menjamin hanya vaksin, dan bukan infeksi, yang memicu antibodinya. Ketiga, dia lakukan uji serologi kualitatif (USK) 7-14 hari PSD, dan uji serologi kuantitatif (USKn) setelah 14 hari PSD.

Orang tersebut tidak mengalami efek samping yang serius. Hanya sedikit pegal di area penyuntikan selama 2-3 jam. Hasil USK-nya non-reaktif. Artinya, dia belum punya antibodi pada 7-14 hari PSD.

USKn dilakukan dengan metode electro chemiluminescence immunoassay (ECLIA), dengan target antigen S-RBD. Huruf S ini merujuk spike protein. Yang diukur adalah jumlah total antibodi. Hasilnya, antibodi dia di atas lima kali lipat ambang batas.

Singkat kata, vaksinasi dia berhasil.

Politik strategis

Saya tidak tahu berapa banyak penerima vaksin yang berhasil seperti orang tersebut. Seharusnya, pemerintah mendata semuanya, atau minimal meriset sampelnya.

Ini agar kita mempunyai data valid tentang perkembangan imunitas kawanan (herd immunity) dari vaksinasi. Data tersebut sangat berguna bagi penanganan pandemi dan pemulihan kepercayaan konsumen, bisnis, dan investor.

Vaksin Covid-19 saat vaksinasi tahap kedua untuk pedagang Pasar Tanah Abang, Jakarta, Rabu (17/2/2021). Vaksinasi Covid-19 hari ini menyasar kurang lebih 1.500 orang pedagang pasar Tanah Abang dari total 10.000 dosis.KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO Vaksin Covid-19 saat vaksinasi tahap kedua untuk pedagang Pasar Tanah Abang, Jakarta, Rabu (17/2/2021). Vaksinasi Covid-19 hari ini menyasar kurang lebih 1.500 orang pedagang pasar Tanah Abang dari total 10.000 dosis.

Vaksin memang menjadi harapan utama bagi pengendalian pandemi, selain obat dan tindakan medis. Vaksinasi semakin penting karena Indonesia tidak disiplin dengan tindakan kesehatan publik (TKP) seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Sejak Maret 2020 saya sering sampaikan, pemulihan ekonomi itu tergantung pandemi. Karena itu, TKP harus dijalankan dengan disiplin. Tapi karena takut ekonomi merosot, kita tidak disiplin.

Dalam tulisan pertama saya tentang “Pemulihan ekonomi dan vaksinasi”, saya tunjukkan bagaimana kedisiplinan Vietnam dan Taiwan membuat pandemi terkendali dan ekonomi pulih. Sementara Indonesia, pandemi memburuk, ekonominya resesi.

Karena saya tidak yakin pemerintah dan rakyat bakal disiplin, mau tidak mau vaksin menjadi andalan. Soal vaksin, upaya pemerintah menjamin ketersediaannya patut diapresiasi.

Upaya ini tidak mudah karena vaksin dan obat Covid-19 sudah menjadi komoditas strategis seperti minyak. Negara-negara maju memborong vaksin untuk rakyatnya agar kehidupan ekonomi dan sehari-hari segera pulih. Akibatnya, nasionalisme vaksin pun bermunculan.

Baca juga: Wawancara Khusus Menlu Retno Marsudi - Diplomasi Vaksin: Membuka Akses, Meratakan Jalan

Karena itu, kerja sama pemerintah dengan Sinovac, Novavax, AstraZeneca/Oxford, dan Pfizer/BioNTech, serta COVAC yang difasilitasi WHO, GAVI dan CEPI adalah langkah yang tepat.

Kontrak dini dengan Sinovac dan peran Bio Farma sebagai pabrik fill finish membuat Indonesia mampu menghadapi nasionalisme vaksin.

Namun, kita tidak boleh hanya tergantung pada Sinovac. Vaksin Covid-19 ini diduga mirip dengan vaksin flu, imunitasnya tidak bertahan multi-tahun. Jadi, setiap tahun Indonesia bakal butuh ratusan juta vaksin.

Karena itu, pengembangan vaksin Merah Putih bukan lagi hanya prioritas kesehatan. Dia sudah menjadi prioritas politik, pertahanan, keamanan, dan ekonomi nasional.

Kebijakan ekonomi

Terus terang saya sulit memahami kebijakan ekonomi pemerintah. Yang sering saya kritik adalah lemahnya pengendalian pandemi sebagai kunci utama pemulihan ekonomi. Tapi ada juga beberapa hal lain.

Contohnya, harapan yang tidak realistis terhadap serapan anggaran. Presiden Jokowi beberapa kali marah tentang ini.

Di Bandung, Jawa Barat, pada Selasa (11/8/2020), misalnya, Presiden menyebutkan bahwa kecepatan penyerapan anggaran Juli-September 2020 menjadi kunci agar kita tidak masuk resesi.

Saya tidak tahu masukan apa yang diberikan kepada Presiden dan oleh siapa. Serapan anggaran harus baik, itu jelas. Tapi serapan anggaran sebagai andalan mencegah resesi? Wow!

Baca juga: Indonesia Menuju Resesi Pertama sejak 1998?

 Kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto itu hanya sekitar 9 persen secara tahunan. Rinciannya 9,53 persen (2016), 9,12 persen (2017), 9,02 persen (2018), 8,81 persen (2019), dan 9,29 persen (2020).

Angka ini naik ke sekitar 12 persen pada setiap kuartal ke-4 karena biasanya serapan melonjak di akhir tahun. Untuk Q4/2020, kontribusinya 12,26 persen.

Karena itu, mau digenjot berapa pun serapan anggaran sulit menjadi andalan mencegah resesi. Kecuali, jika dia mampu memicu konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto (investasi).

Sayangnya, saya melihat pengeluaran pemerintah 2020 tidak mampu. Buktinya, saat pengeluaran pemerintah tumbuh 9,76 persen pada Q3/2020, konsumsi tetap terkontraksi -4,05 persen (Q3) dan -3,61 persen (Q4).

Dua pos konsumsi terbesar, yaitu makanan/minuman dan transportasi/komunikasi, terus terkontraksi. Konsumsi makanan/minuman bahkan makin besar anjloknya, dari -0,69 persen (Q3) menjadi -1,39 persen (Q4).

Konsumsi perumahan dan perlengkapan rumah tangga justru turun pertumbuhannya dari 2,36 persen (Q2) menjadi 1,82 persen (Q3) dan 0,71 persen (Q4).

Ilustrasi konstruksiSHUTTERSTOCK/YUTTANA CONTRIBUTOR STUDIO Ilustrasi konstruksi

Pengaruh belanja pemerintah terhadap investasi juga sama. Investasi tetap terkontraksi lebih dari -6 persen pada Q3-Q4/2020.

Bangunan justru membesar anjloknya, dari -5,26 persen (Q2) menjadi -5,60 persen (Q3) dan -6,63 persen (Q4). Padahal, bangunan adalah pos terbesar dari investasi (76 persen).

Pos kedua terbesar investasi, yaitu mesin dan perlengkapan (9,74 persen), lebih drastis anjloknya, dari -12,86 persen (Q2) menjadi -21,01 persen (Q3), meski lalu membaik ke -7,57 persen (Q4).

Saya juga tidak habis pikir melihat sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) 2020 sampai Rp 234,7 triliun, sementara utang pemerintah bertambah Rp 1.257 triliun pada 2020.

Baca juga: Makin Menumpuk, Utang Luar Negeri Indonesia Capai Rp 5.803 Triliun

Penghentian Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik juga aneh, mengingat pada awal tahun konstruksi sudah terlihat melemah. Sinyal ini terkonfirmasi oleh data pertumbuhan 2,90 persen (Q1), atau setengah dari tahun 2019.

Selama Q2-Q4/2020 sektor konstruksi anjlok -4,5 persen sampai -5,7 persen. Saya tidak tahu berapa kontribusi dari penghentian DAK Fisik. Yang jelas, DAK Fisik sangat membantu konstruksi di daerah. Banyak rakyat yang bisa makan darinya.

Wacana pengendalian BI dan OJK oleh Kementerian Keuangan lebih aneh lagi. Memangnya wacana ini bisa mengatasi pandemi dan mencegah resesi?

Saran

Ada beberapa hal lain lagi sebenarnya. Namun, mari bicara perbaikan ke depan. Saran saya, pertama, jadikan vaksinasi dan pengendalian pandemi sebagai motor pemulihan ekonomi.

Untuk itu kita perlu riset dan edukasi publik besar-besaran. Riset tentang imunitas kawanan hasil vaksinasi, efektifitas vaksin terhadap berbagai varian, serta pengembangan vaksin dan obat, mutlak kita butuhkan.

Rakyat juga perlu dididik bahwa setelah divaksin, mereka masih mungkin sakit selama antibodi belum muncul dan atau ada varian yang baru. Selain itu, perlu edukasi melawan bualan anti-vaksinasi.

Baca juga: Apa yang Terjadi Jika Beberapa Orang Menolak Vaksin?

Rakyat perlu diberi tahu, sekitar 136 tahun yang lalu di tengah epidemi cacar, dokter Alexander M Ross dari Montreal menyebar pamflet anti-vaksinasi.

Argumennya mirip dengan sekarang. Itu mulai dari konspirasi Rusia hingga menganggap remeh cacar meski mortalitasnya 30-40 persen, jauh di atas Covid-19.

Faktanya, dengan vaksinasi umat manusia akhirnya berhasil membasmi epidemi cacar. Satu lagi, Ross ternyata ikut divaksin.

Kedua, pulihkan kepercayaan konsumen, bisnis, dan investasi. Salah satunya adalah melalui program vaksinasi bisnis berbayar mahal. Targetnya kelas menengah atas, karena mereka menyumbang 82 persen lebih dari konsumsi.

Sepintas ini seperti tidak adil. Tapi jika mereka sudah imun dan pede, konsumsi dan investasi bisa lebih cepat pulih. Bio Farma juga untung karena ada pemasukan triliunan rupiah.

Ketiga, ubah bauran anggaran dalam APBN 2021 dengan mengutamakan program dan proyek yang memicu konsumsi dan investasi. Banyak rinciannya, yang tidak mungkin ditulis di sini.

Sebagai penutup, ada catatan kecil. Meski saya unsur pimpinan parpol, sejak muda saya adalah peneliti. Karena itu, sains, riset, data dan dokumen—bukan politik—yang menjadi basis saya dalam mengritik atau mendukung sebuah kebijakan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com