Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika RI Jual Opium 22 Ton untuk Bayar Gaji Pegawai Pemerintah

Kompas.com - 28/03/2021, 17:42 WIB
Muhammad Choirul Anwar

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com – Tahukah anda bahwa Indonesia pernah mengekspor opium alias candu hasil produksi dalam negeri?

Ekspor opium Indonesia terjadi di tahun 1948, ketika Indonesia tengah terlibat perundingan dengan Belanda mengenai kedaulatan negara Indonesia merdeka. Perundingan yang berlangsung di kapal USS Renville milik Amerika Serikat, kelak dikenal sebagai perundingan Renville.

Kala itu, Menteri Keuangan RI dijabat oleh Alexander Andries Maramis atau A.A. Maramis, yang masuk dalam masa Masa Kabinet Hatta I. Sebelumnya, Maramis juga pernah menjabat Menteri Keuangan pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin.

Sejak saat itu, didampingi oleh Ong Eng Die sebagai Menteri Muda Keuangan, A.A. Maramis memang bertugas untuk mencari dana untuk membiayai angkatan perang, agresi militer dan berbagai perundingan.

Nah, pada masa Kabinet Hatta I inilah perdagangan vw (opium trade) dan emas ke luar negeri terjadi. Dikutip dari buku berjudul “Organisasi Kementerian Keuangan - Dari Masa Ke Masa” yang diterbitkan Kementerian Keuangan, ekspor opium dilakukan atas usulan Maramis.

“Untuk menjaga hubungan ekonomi dengan dunia jika perjanjian Renville tidak dapat diselesaikan, Hatta menerima usulan Menteri Keuangan A.A. Maramis untuk melakukan hubungan ekonomi dengan negara lain dengan menjual candu ke luar negeri,” tulis buku tersebut, dikutip pada Minggu (28/3/2021).

Baca juga: Profil Samsi Sastrawidagda: Menkeu Pertama RI yang Menjabat 2 Minggu

Maramis yang usulannya diterima, lantas melaksanakan perdagangan candu (opium trade) dan emas ke luar negeri pada akhir Februari 1948. Sebagian dari hasil ekspor opium digunakan untuk menggaji pegawai pemerintah di masa itu.

“Tujuan perdagangan candu dan emas ini adalah untuk membentuk dana devisa dari luar negeri untuk membiayai pegawai perwakilan pemerintah RI di Singapura, Bangkok, Rangoon, New Delhi, Kairo, London dan New York dan barter dengan senjata yang diselundupkan ke daerah Republik Indonesia,” beber buku tersebut.

Tak tanggung-tanggung, dikatakan bahwa Maramis berhasil menjual 22 ton candu mentah. Opium tersebut berasal dari pabrik candu di Salemba yang sudah berdiri sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda.

Mengenal Pabrik Opium Salemba

Di masa penjajahan Belanda, opium alias candu bukanlah barang terlarang di wilayah Hindia Belanda. Belanda bahkan mendirikan Pabrik Opium yang terletak di pinggir jalan raya Kota Batavia Centrum (Weltervreden-Jakarta Pusat).

Lokasi tersebut saat ini berada dalam kawasan Gang Kenari, dekat Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta Pusat. Dari wilayah itulah ribuan butir candu dihasilkan tiap hari dan juga didistribusikan ke seluruh kepulauan Nusantara.

Pabrik tersebut bahkan didukung jalur distribusi yang memadai melalui sarana perkeretaapian. Dikutip dari laman resmi PT KAI, dikatakan bahwa memang dulu pernah terbangun Stasiun Salemba di wilayah tersebut.

“Posisi Stasiun Salemba sangat strategis sehingga memiliki peran penting sebagai percabangan kereta api,” tulis KAI, dikutip Minggu (28/3/2021).

Dari Salemba ke arah timur jalur bercabang menuju Jakarta melalui Pasar Senen ataupun menuju ke jatinegara-Bekasi. Sedangkan ke arah Barat terdapat jalur cabang ke Jakarta ataupun Bogor. Kemudian lurus terus ke arah barat jalur bercabang ke Tanah Abang dan Anyer-Banten.

Baca juga: Mengingat Menkeu RI yang Memilih Mundur: Samsi Hingga Sri Mulyani

Namun, pada tahun 1913, Staatssporwegen atau SS selaku perusahaan kereta api pemerintah Hindia Belanda menata ulang jalur kereta api di Jakarta. Stasiun Boekitdoeri eks-NISM dibongkar dan dibangunlah Stasiun Manggarai yang diresmikan pada tanggal 1 Mei 1918.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com