Oleh: Frangky Selamat
PANDEMI Covid-19 telah mengubah kehidupan manusia. Pariwisata tidak bisa menghindari kenyataan itu. Wisatawan kini lebih memperhatikan aspek kebersihan, kesehatan, sanitasi dan keamanan. Mereka cenderung berkunjung dalam kelompok-kelompok kecil. Pariwisata yang bersifat customized sesuai permintaan dan minat masing-masing akan menjadi pilihan utama.
Pemerintah Indonesia yang pada awalnya amat fokus pada peningkatan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung demi mengumpulkan devisa, kini mulai memberi perhatian akan pentingnya kualitas wisman yang berkunjung.
Dari sekian banyak pilihan alternatif aktivitas wisata yang berpotensi berkembang seiring bergesernya paradigma pariwisata, wisata gastronomi (gastronomy tourism) berpeluang menarik banyak wisatawan yang "berkualitas" untuk hadir.
Baca juga: Biro Perjalanan Wisata Bakal Dapat Dana Hibah Pariwisata
Istilah wisata gastronomi mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Kata gastronomi berasal dari kata "gastros" yang berarti lambung dan "nomos" yang berarti pengetahuan, dalam bahasa Yunani.
Kata "kuliner" dari bahasa Latin "culina" yang berarti dapur atau memasak dan terkait langsung dengan makanan dan bahan yang dimanfaatkan, barangkali lebih sering digunakan.
Gastronomi tidak hanya makanan, tetapi juga minuman (Sanchez-Canizares & Lopez-Guzman, 2012). Secara sederhana gastronomi adalah pengetahuan tentang makanan dan minuman.
Makanan, minuman dan akomodasi penginapan adalah sepertiga dari anggaran yang dikeluarkan oleh wisatawan ketika melakukan kunjungan (Meler & Cerovic, 2003), bahkan dapat mencapai 40 persen (Boyne, Williams & Hall, 2002) dari seluruh aktivitas yang dilakukan. Tidak mengherankan jika makanan menjadi salah satu aspek penting dari destinasi untuk menarik wisatawan datang.
Siapa pasar potensial yang biasa mengunjungi destinasi wisata gastronomi? Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa turis gastronomi adalah mereka yang berpenghasilan di atas rata-rata dan pasangan profesional berusia 30-50 tahun (Gastronomic Tourism, 2004; Huang dkk., 1996; cf. Fox, 2007).
Studi lain menunjukkan bahwa mereka adalah pasangan, berpendidikan tinggi, memiliki pengeluaran yang lebih besar daripada turis wisata budaya lainnya, tinggal lebih lama di hotel, dan mempunyai motivasi utama untuk memiliki kesempatan istirahat, relaksasi dan memanjakan diri (Smith & Costello,2009). Mereka juga mempunyai pengalaman dan pengetahuan untuk mengalami budaya yang berbeda (Chaney & Ryan, 2012).
McKercher dan kawan-kawan (2008) telah menyegmentasikan pasar wisata ini menjadi tiga kelompok.
Pertama adalah kelompok yang berkunjung ke destinasi gastronomi dengan tujuan utama memperoleh pengalaman menikmati hidangan lokal. Hampir seluruh aktivitas mereka berkaitan dengan gastronomi.
Baca juga: Larangan Mudik 2021, Sandiaga: Destinasi Wisata Lokal Akan Dapat Limpahan Kunjungan
Kelompok kedua adalah yang berpandangan bahwa makanan itu penting tetapi destinasi gastronomi tidak menjadi tujuan utama kunjungan wisata.
Kelompok ketiga adalah mereka yang aktivitas wisata gastronominya kurang hingga tidak ada sama sekali.
Kelompok pertama adalah pasar utama yang dituju karena mereka datang semata-mata karena alasan untuk menikmati makanan lokal dengan budaya setempat yang melekat.
Sebenarnya apa yang mereka cari dari kunjungan ke destinasi wisata gastronomi? Yang sudah pasti adalah pengalaman menikmati makanan lokal yang memiliki dua makna (Sims, 2009).
Pertama, wisatawan ingin menikmati makanan dan minuman yang merupakan produk lokal, bukan palsu, dan merupakan simbol budaya. Kedua, jika wisatawan memiliki keraguan atas "kadar lokal" atau "keaslian" (authenticity) dari produk, mereka akan mencari produk lokal yang sesungguhnya.
Quan dan Wang (2004) mengembangkan tipologi bagaimana wisatawan menikmati makanan ke dalam tiga pengalaman berbeda.
Pertama, sebagai pengalaman puncak. Apa yang membuatnya menjadi pengalaman puncak adalah motivasi dan kenangan yang diingat. Bagaimana menciptakan dan meningkatkan memori positif dari aktivitas gastronomi, tentu tidak dapat diabaikan pengelola destinasi.
Kedua, rutinitas harian. Wisatawan mencari sumber kenyamanan, keamanan dan relaksasi sebagai rutinitas. Sekalipun demikian, mereka tetap mencari perbedaan dan pengalaman baru ketika berburu makanan.
Ketiga, aktivitas pendukung. Wisatawan menikmati makanan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau agar tetap merasa feel at home selama melakukan kunjungan wisata. Menghindari perbedaan budaya, bisa jadi dilakukan agar tetap merasa nyaman.
Baca juga: Sandiaga Cari Cara Agar Potensi Dana Wisatawan Domestik Rp 150 Triliun Tak Kabur ke Luar Negeri
Jika Indonesia ingin serius mengembangkan wisata gastronomi, ada baiknya belajar dari beberapa negara yang telah lebih dahulu memiliki pengalaman dan telah dikenal dunia sebagai destinasi utama wisata gastronomi. Sebutlah seperti China, Thailand, Korea Selatan, Italia dan Prancis.
Chengdu masuk ke dalam daftar kota gastronomi versi UNESCO yang terkenal dengan budaya makan, festival dan pendidikan terkait gastronomi serta memperhatikan pertanian yang berkelanjutan.
Thailand dikenal sebagai destinasi yang memberikan kemudahan untuk akses ke restoran, harga bersahabat, pelayan yang sopan dan menu yang disajikan dalam Bahasa Inggris (Karim & Chi, 2010).
Korea mempopulerkan Hansik dalam "Global Hansik Campaign", yaitu makanan tradisional yang berpusat pada nasi dalam mangkuk yang dikelilingi oleh sup dan makanan pendamping berupa daging dan sayuran, yang dimasak dengan air mendidih, tidak digoreng dengan minyak. Promosi sebagai makanan sehat menjadi andalan utama
Sementara Italia dan Prancis dikenal dari rasa masakan, presentasi, keragaman dan kualitas makanan yang disajikan. Kedua negara ini juga menawarkan aktivitas tur seperti wine tours dan kelas memasak.
Memang menjadi tantangan tersendiri bagi negara yang baru akan "serius" mengembangkan wisata gastronomi karena harus bersaing dengan "pemain lama".
Pengelola destinasi patut menyadari bahwa hanya berkonsentrasi pada makanan dan minuman dengan kearifan lokal sebagai atraksi utama wisata gastronomi, tanpa mempertimbangkan atribut lain dari destinasi wisata tidaklah cukup. Mempertahankan dan memelihara kadar lokal dari destinasi gastronomi patut menjadi perhatian utama.
Baca juga: Ini Tren Liburan yang Paling Diminati Wisatawan di 2021
Bagaimana dengan Indonesia? Sejak 2019 lalu, Ubud, Bali, telah ditetapkan sebagai destinasi gastronomi berstandar UNWTO (United Nations World Tourism Organization).
Untuk memenuhi standar internasional itu tidaklah mudah. Jika tidak memenuhi standar tentu sulit bersaing dengan destinasi gastronomi yang telah lebih dahulu dikenal.
Mestinya kekayaan budaya menjadi aset yang luar biasa bagi bangsa ini. Budaya yang terkait dengan makanan dan minuman yang kaya akan kearifan lokal tidak kurang banyaknya. Bahkan berlimpah.
Tinggal menggali, menggarap dan menyajikannya menjadi atraksi wisata yang bernilai bagi wisatawan penikmat gastronomi. Masalahnya adalah bagaimana menawarkannya sebagai paket wisata yang menarik masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah.
Franky Selamat
Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara