Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PLTS Atap Bikin Subsidi Listrik Turun, Tapi Pendapatan PLN Berkurang Rp 5,7 Triliun

Kompas.com - 28/08/2021, 17:07 WIB
Yohana Artha Uly,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan kapasitas penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di Indonesia bisa mencapai 3,6 gigawatt (GW). Ini merupakan target yang akan dicapai secara bertahap hingga 2025.

Penerapan PLTS Atap tersebut turut berdampak pada anggaran subsidi energi pemerintah dan pendapatan PT PLN (Persero). Subsidi yang ditanggung negara menjadi berkurang, namun di sisi lain PLN kehilangan potensi pendapatan.

Hal itu seiring akan terbitnya aturan baru terkait PLTS Atap lewat revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap Oleh Konsumen PT PLN (Persero).

Baca juga: Kementerian ESDM: Revisi Aturan PLTS Atap Bukan Buat Subsidi Orang Kaya

Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, jika aturan baru diterapkan dengan target kapasitas PLTS Atap 3,6 GW tercapai, maka negara akan menghemat pengeluaran subsidi listrik sebesar Rp 230 miliar per tahun karena berkurangnya energi listrik yang dikonsumsi masyarakat di PLN.

"Terdapat potensi penghematan subsidi Rp 0,23 triliun (Rp 230 miliar) dikarenakan berkurangnya energi listrik yang dikonsumsi pelanggan akibat listrik dari PLTS Atap dengan nilai ekspor 1:1 atau 100 persen," ujar Direktur Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana dalam konferensi pers virtual, Jumat (27/8/2021).

Adanya potensi penghematan anggaran subsidi itu dikarenakan salah satu poin dalam revisi aturan PLTS Atap yakni PLN wajib untuk membeli 100 persen listrik dari sisa daya PLTS Atap yang tidak terpakai oleh pelanggan atau disebut juga ekspor listrik. Pada aturan sebelumnya ditentukan ekspor listrik hanya 65 persen.

Rida menjelaskan, seiring dengan perubahan aturan, maka jenis pembangkit yang produksi listriknya bakal dikurangi adalah berbasis gas dan batu bara.

Konsumsi batu bara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) diperkirakan bisa berkurang 3 juta ton per tahun jika kapasitas PLTS Atap mencapai target.

Baca juga: Aturan PLTS Atap Direvisi, Pelanggan Bisa Ekspor Listrik 100 Persen ke PLN

Sementara, pada Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) lebih berfungsi sebagai peaker, yakni pembangkit yang berjalan saat permintaan listrik tinggi. Sehingga penggunaan gasnya bisa dengan mudah dinaikkan atau turunkan.

Dengan demikian, total subsidi yang harus dibayar pemerintah dengan berkurangnya penggunaan bahan bakar batu bara yakni sebesar Rp 54,34 triliun dan gas sebesar Rp 53,92 triliun.

Namun, di sisi lain PLN kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 5,7 triliun jika penerapan PLTS Atap mencapai target 3,6 GW. Hilangnya potensi pendapatan dikarenakan konsumsi listrik masyarakat dari PLN turun sehingga berakibat pada berkurangnya tagihan.

Kendati begitu, Rida bilang, ada sumber pendapatan baru yang bisa didapat PLN yakni penjualan karbon dan penerimaan listrik ekspor dari pengguna PLTS Atap dengan menggunakan tarif layanan khusus EBT. Total potensi pendapatan dari kedua lini itu berkisar Rp 1,12 triliun-Rp 1,54 triliun per tahun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com