BATU BARA, menjadi trending topic dalam pertemuan KTT Iklim (COP26) di Glasgow, Skotlandia, pada awal bulan ini. Hampir perwakilan dari 200 negara sepakat untuk mengurangi penggunaan batu bara sebagai bagian dalam mengatasi laju pemanasan global.
Komoditas itu dikenal sebagai kontributor terbesar pada pencemaran karbon dunia yang berakibat pada polusi udara dan juga meningkatkan suhu Bumi.
Bahkan India, yang merupakan salah satu negara eksportir batu bara terbesar di dunia, memutuskan untuk menutup aktivitas sekolah, menghentikan kegiatan konstruksi dan menyetop operasi PLTU batu bara di New Delhi dalam waktu yang tidak ditentukan.
Hal itu dilakukan sebagai upaya pemerintah setempat untuk memperbaiki kualitas udara yang sangat buruk. Ibu Kota India tersebut hampir sebulan terakhir diselimuti oleh kabut asap.
Baca juga: COP26 Rampung, Diwarnai Drama Batu Bara di Menit-menit Terakhir
Kesepakatan negara-negara maju dan bahkan langkah ekstrem India tersebut adalah bukti nyata bahwa batu bara berpotensi menjadi sumber energi “masa lalu.”
Kiamat kecil sepertinya akan menghampiri komoditas tersebut. Bahkan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menyebutnya sebagai “lonceng kematian bagi tenaga batu bara.”
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Negara kita adalah salah satu importir batu bara terbesar di dunia, selain Rusia dan Australia.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki 38,38 juta ton cadangan batu bara.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaludiinpada satu kesempatan bahkan mengatakan, dengan asumsi rata-rata produksi nasional mencapai 600 juta ton per tahun, maka negara kita tercinta ini akan dapat terus memproduksi emas hitam itu hingga 65 tahun ke depan atau hingga 2086.
Baca juga: Gas Pol Pensiunkan Batu Bara
Itu pun belum memperhitungkan adanya sumber daya batu bara yang masih berada di dalam Bumi yang belum tereksploitasi, yang diperkirakan mencapai 143,7 miliar ton.
Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani mengatakan Indonesia memang berkomitmen untuk menghapus penggunaan batu bara selambat-lambatnya pada 2060.
Apalagi berdasarkan catatan ESDM, 35 persen penyumbang karbon nasional yang mencapai 1.262 Giga Ton adalah berasal dari batu bara. Dalam skenario pemerintah, PLTU batu bara berkapasitas 5,5 Giga Watts juga akan segera dipensiunkan.
Sebagai gantinya, PLTU berbasis batu bara akan ditransformasikan menjadi pembangkit energi baru terbarukan (EBT). Meski demikian, toh sejumlah negara tetap mendorong pemerintah untuk mempercepat penyetopan pembakaran komoditas itu pada 2040.
Pemerintah menegaskan hal itu bukan mustahil terjadi selama ada sokongan pendanaan dari lembaga multilateral.
Asian Development Bank (ADB) sendiri berencana untuk menghimpun sejumlah lembaga keuangan lain untuk membeli pembangkit batu bara di Asia, termasuk di Indonesia, dan kemudian menutup operasinya secara permanen.
Baca juga: Ratusan Negara Bakal Setop Gunakan Batu Bara
Langkah ini diharapkan dapat mempercepat penghentian penggunaan batu bara untuk mengurangi dampak polusinya bagi dunia.
Di sisi lain, pemerintah seyogyanya juga turut melibatkan investor besar dan investor skala kecil dalam pencapaian mengurangi emisi di Tanah Air dengan cara memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal.
Termasuk di antaranya memanfaatkan potensi listrik dari bendungan yang dibangun pemerintah. Apalagi menurut Presiden Joko Widodo, Indonesia memiliki 4.400 sungai yang besar maupun sedang yang dapat digunakan sebagai hydro power.
Dengan memaksimalkan pemanfaatan sumber daya alam secara maksimal, baik hydro power, tenaga surya, tenaga bayu, bukan tidak mungkin Indonesia lonceng kematian penggunaan batu bara akan berdentang lebih cepat di tahun 2040.
Baca juga: RI Butuh Dana Rp 426 Triliun untuk Pensiunkan PLTU Batu Bara Berkapasitas 5,5 GW
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.