Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yulian Gunhar
Anggota DPR

Yulian Gunhar adalah politisi Indonesia yang telah menjabat sebagai anggota DPR-RI, dari Fraksi PDI Perjuangan, selama dua periode (2014–2019 dan 2019–2024), mewakili daerah pemilihan Sumatera Selatan II.

Saat ini, ia dipercaya menjadi anggota Komisi VII yang menangani masalah energi, pertambangan, lingkungan, dll.

Tata Kelola Batu Bara, antara Membentuk BLU dan Perkuat Pengawasan

Kompas.com - 24/01/2022, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KITA sangat terkejut, ketika awal tahun, pemerintah mengeluarkan keputusan melarang ekspor batu bara selama satu bulan, dari 1 Januari hingga 31 Januari 2022, walaupun keputusan pelarangan itu hanya bertahan selama 10 hari.

Keluarnya kebijakan pelarangan tersebut, setidaknya telah membuka wajah tata kelola batu bara kita yang ternyata carut marut.

Sehingga berdampak pada ancaman krisis pasokan batu bara untuk kebutuhan Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Suatu yang ironis, bagi negara yang termasuk eksportir terbesar batu bara di dunia.

Ancaman krisis pasokan batu bara ke PLN tidak bisa dianggap remeh, karena menyangkut kebutuhan 20 PLTU berkapasitas 10.850 MW di sistem jaringan Jawa-Bali.

Bila pasokan batu bara bermasalah dan mengakibatkan berkurangnya produksi listrik, maka jutaan pelanggan, baik rumah tangga dan industri di Jawa-Bali terancam mengalami pemadaman bergilir.

Kurangnya pemerintah melakukan antisipasi terhadap ancaman krisis pasokan batu bara itu, dianggap sebagai dampak kurang mampunya pemerintah dalam mengawasi pengusaha batu bara dalam memenuhi kewajibannya memasok batu bara kepada PLN atau domestic market obligation (DMO) ke PLN sebanyak 25 persen dari total rencana produksi dalam setahun.

Rencana membentuk BLU

Kita masih beryukur bahwa ancaman krisis ketersediaan batu bara bagi kebutuhan PLN bisa segera diatasi.

Namun demikian, kisruh tata kelola batu bara ini harus dipastikan tidak akan terulang.

Untuk mencegah terulangnya ancaman krisis batu bara untuk PLN, pemerintah tengah merancang terbentuknya Badan Layanan Umum (BLU) pungutan batu bara.

Melalui BLU Pungutan batu bara ini, harga batu bara dalam negeri yang saat ini dipatok 70 dollar AS per ton akan dilepas ke harga pasar.

Dengan membeli batu bara sesuai pasar, maka selisih antara harga yang diberikan PLN dan harga pasar akan diberikan oleh BLU melalui iuran yang diterima dari perusahaan batu bara.

Di atas kertas skema BLU tersebut memang baik. Namun, di dalam Rapat antara Komisi VII DPR RI dan Menteri ESDM Arifin Tasrif belum lama ini, telah menghasilkan sejumlah kesimpulan penting.

Antara lain: Pertama, mendesak Menteri ESDM untuk memprioritaskan program yang terkait kebutuhan masyarakat.

Kedua, mendesak peningkatkan pengawasan pelaksanaan kebijakan DMO batu bara dan memberi sanksi tegas kepada perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban.

Ketiga, meminta agar kewajiban pemenuhan DMO yang semula minimal 25 persen ditingkatkan menjadi 30 persen.

Keempat, mendesak Menteri ESDM untuk tidak memberlakukan harga batu bara berdasarkan harga pasar.

Kelima, tidak menyetujui apabila penanganan batu bara DMO dilakukan dengan skema BLU.

Dalam konteks penanganan DMO melalui skema BLU, Komisi VII DPR dengan tegas menyatakan tidak setuju, begitu juga dengan pemberlakuan harga pasar bagi batu bara.

Jika dikaji lebih mendalam, maka kehadiran skema BLU batu bara dan penetapan batu bara sesuai harga pasar, tak menjawab permasalahan pasokan batubara dalam negeri.

Meskipun, skema BLU dapat memperkecil disparitas harga batu bara DMO dengan harga pasar, yang dianggap menjadi salah satu penyebab tak terpenuhinya pasokan batu bara.

Skema BLU justru dinilai berpotensi memunculkan persoalan baru. Antara lain:

Pertama, ketika harga batu bara dilepas ke mekanisme pasar, maka PLN terancam harus menalangi pembelian batu bara tersebut, jika BLU belum bisa mengumpulkan dana dari para perusahaan batu bara.

Kondisi itu akan sangat memengaruhi cash flow PLN. Kondisi demikian, tentu akan berpotensi mengganggu operasional PLN, khususnya berkenaan dengan skema pencairan dana.

Kedua, skema BLU batu bara berpotensi lebih menguntungkan pelaku usaha ketimbang PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Mengingat iuran yang bakal dikenakan bagi pelaku usaha bisa saja tidak akan bisa menutupi disparitas harga batu bara antara harga pasar dengan baseline dalam DMO.

Dikhawatirkan berdampak pada kenaikan tarif dasar listrik karena biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik oleh PLN pasti akan naik.

Ketika BPP naik, maka pilihannya ada dua, tarif listrik naik atau subsidi atau kompensasi naik.

Ketiga, pembelian harga batu bara mengikuti harga pasar juga dinilai tidak sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 serta UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020.

Dalam UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020, Pasal 5 telah ditetapkan bahwa harga batu bara untuk kepentingan dalam negeri ditetapkan oleh pemerintah dan bukan mengikuti mekanisme pasar.

Memperkuat pengawasan

Untuk itulah, demi memaksimalkan pelaksanaan kebijakan DMO untuk mencegah krisis pasokan batu bara di tanah air, lebih urgen bagi pemerintah untuk meningkatkan atau memperkuat sistem pengawasan dengan mempertegas pemberian sanksi kepada para pengusaha batu bara yang terbukti melanggar DMO.

Dari hasil evaluasi terungkap, ada perusahaan yang memang telah memenuhi komitmen DMO hingga 75 persen.

Namun ada juga yang sama sekali tidak melakukan kewajiban DMO. Maka perlu ada efek jera bagi para pelanggar kewajiban itu.

Kebijakan DMO yang ada sekarang ini, juga masih bisa diandalkan untuk menjamin alokasi dan harga batu bara serta kebutuhan ketahanan energi nasional.

Maka yang dibutuhkan sebenarnya implementasi dan evaluasi secara berkala.

Apalagi, seperti diketahui bahwa kebijakan DMO ini telah memiliki landasan hukum dalam UU Minerba No. 3 Tahun 2020, di pasal 5 ayat 1 & 2 yang berbunyi:

(1) Untuk kepentingan nasional, Pemerintah Pusat setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menetapkan kebijakan nasional pengutamaan Mineral dan/atau Batubara untuk kepentingan dalam negeri.
(2) Untuk melaksanakan kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi, Penjualan, dan harga Mineral logam, Mineral bukan logam jenis tertentu, atau Batubara.

Komisi VII DPR RI sebagai mitra pemerintah akan terus berkomitmen mengawasi pelaksanaan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara, agar tidak terjadi lagi ancaman krisis pasokan batu bara bagi kebutuhan dalam negeri.

Apalagi, pemerintah dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) bersama Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah memutuskan dua poin penting, terkait DMO.

Keputusan tersebut, yakni peningkatan pengawasan pasokan DMO batu bara serta penegakan sanksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi komitmennya.

Semoga komitmen pemerintah itu tidak hanya bagus di atas kertas, namun juga bagus di tataran implementasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com