KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Mendesain Strategi Upskilling

Kompas.com - 05/02/2022, 08:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PETER Principle merupakan sebuah fenomena yang menggambarkan seseorang dalam organisasi yang terus mendapatkan kenaikan posisi atau jabatan, meskipun tidak ada penambahan atau pendalaman keterampilan yang signifikan.

Sayangnya, masih banyak organisasi terjebak pada fenomena tersebut. Padahal, ketika seseorang mendapatkan tugas dan tanggung jawab lebih besar, keterampilan yang ia butuhkan pun pasti perlu ditingkatkan.

Fenomena tersebut sering kali terjadi lantaran kesibukan operasional dan anggapan bahwa peningkatan keterampilan bisa dilakukan sedikit demi sedikit seiring waktu berjalan.

Padahal, saat ini, organisasi dituntut untuk semakin canggih menghadapi persaingan bisnis dan harapan pelanggan yang semakin tinggi. Contohnya, dalam menghadapi pelanggan yang tadinya hanya melakukan transaksi pendek dengan jual beli biasa.

Selain memberikan pelayanan terbaik, saat ini, perusahaan juga perlu memelihara hubungan baik dengan pelanggan, bahkan sampai mendidik mereka untuk lebih cerdas dalam membeli.

Oleh karena itu, peningkatan keterampilan tidak hanya dibutuhkan dalam proses promosi atau mutasi. Apa pun situasinya, individu tetap perlu menjadi lebih mahir dan makin ahli lagi di dalam pekerjaannya.

Peningkatan keterampilan itu bisa saja dipelajari secara alamiah. Namun, perusahaan juga bisa membuat program upskilling yang terstruktur sehingga peningkatan keterampilan berjalan lebih cepat.

Ketika seorang karyawan cukup lama menduduki suatu posisi, ia pasti akan mempertanyakan “Now what? What’s next?

Beberapa perusahaan memang merancang struktur organisasi yang tidak memiliki jenjang terlalu banyak. Akan tetapi, dalam kondisi seperti itu, jawaban apa yang harus diberikan terhadap pertanyaan karyawan tersebut? Satu-satunya jawaban adalah meningkatkan keterampilan karyawan. Namun, apakah hal tersebut mudah untuk diterapkan?

Setidaknya, ada beberapa aspek yang menghambat peningkatan keterampilan karyawan. Pertama, karyawan harus bekerja dan berproduksi sehingga otomatis waktu untuk belajar dan berlatih pun terbatas.

Kedua, baik karyawan maupun atasan, termasuk divisi human capital, sering tidak tahu persis hal atau keterampilan apa lagi yang perlu dipelajari oleh karyawan.

Ahli pelatihan dan pengembangan Erin Posnick mengatakan, “Unfortunately, most of the time, those same employees who say they want more training also struggle to identify what skills and development they’d like more of.

Jadi, perusahaan yang berniat untuk mengembangkan karyawannya perlu memikirkan strategi upskilling masak-masak. Apalagi pada era volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity (VUCA) seperti sekarang, ketika semua individu dituntut untuk lebih agile dan adaptable.

Oleh karena itu, kita bisa menganggap bahwa masa pandemi Covid-19 adalah kesempatan terbaik untuk melakukannya. Akan tetapi, sebelum menerapkan strategi upskilling, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, kita perlu menyosialisasikan sense of development kepada semua karyawan. Sense of development membuat individu tidak merasa mentok dalam kariernya. Hal ini berbeda dengan sense of contribution, yaitu perusahaan juga menuntut kesungguhan individu untuk berkontribusi.

Banyak individu berpikir bahwa mereka sudah bekerja mati-matian, tetapi masih merasa tidak berkembang. Menjawab hal itu, seorang eksekutif mengatakan, “Careers are employee owned, manager supported, company enabled. But it all starts with employee self-advocacy. People must shift when the business shifts.

Rasa itulah yang perlu dikembangkan bersama, baik oleh individu maupun atasan, dan ditunjang oleh perusahaan. Untuk itu, para manajer perlu meningkatkan intensitas hubungan “one on one” dengan bawahannya sehingga bisa meyakini bahwa bawahan memang ingin dan tahu bagaimana mengembangkan dirinya.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Kedua, perusahaan perlu menunjukkan kepada para karyawan bahwa manajemen peduli pada perkembangan individual. Perlu ada komunikasi intensif antara karyawan dan para atasannya mengenai perkembangan keterampilan.

Kegiatan upskilling harus menjadi topik yang populer dan dibicarakan antara atasan dan bawahan. Bukan lagi merupakan penilaian yang mencemaskan bawahan. Justru diharapkan dari hasil belajar ini, ada ide-ide yang dapat menjadi masukan bagi pengembangan bisnis.

Ketiga, kita perlu memiliki peta pengembangan yang jelas. Untuk menghindari persepsi karyawan bahwa pengembangan keterampilannya bagaikan jalan yang tidak berujung, kita perlu menciptakan roadmap dari keterampilan-keterampilan yang sedang ditingkatkan.

Hal itu akan membuat individu semakin termotivasi karena menyadari bahwa ia semakin jago di suatu bidang serta bisa melihat proses kemajuan dirinya sendiri. Dengan demikian, individu dapat mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia sudah berkembang.

Pascapandemi, kesempatan membangun profesional yang lebih terampil

Kita sudah mendengar berulang kali bahwa masa pandemi mempercepat perubahan, disrupsi, dan inovasi teknologi yang dahsyat. Perubahan ini memang membuat banyak perusahaan tergagap. Bahkan, lembaga-lembaga pemerintah yang bergengsi dan memiliki begitu banyak profesional pun kelabakan.

Banyak organisasi merasa bahwa karyawannya tidak siap. Di sinilah, kita dapat merasakan kesenjangan keterampilan. Tepatnya, antara keterampilan yang sedang dimanfaatkan bagi operasional sehari-hari dan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan.

Upaya seperti continuous learning dan lainnya juga belum dapat menutupi kesenjangan tersebut. Oleh karena itu, kita perlu memiliki cara agar bisa mendapatkan quick wins dari beberapa program yang dibuat.

Pertama, kita perlu berfokus pada apa yang sesungguhnya dibutuhkan organisasi saat ini dan masa mendatang. Banyak pendapat mengatakan bahwa setiap karyawan pelu melakukan adaptasi digital.

Namun, perusahaan harus menggambarkan secara spesifik adaptasi digital yang dibutuhkan oleh organisasi dan harus dikuasai oleh karyawan. Ini bukan peran atau jabatan, melainkan keterampilan.

Kedua, program upskilling perlu dilakukan secara serius dan profesional. Bila perlu, kita berinvestasi dengan melibatkan profesional dari luar untuk pelatihan dan pengembangannya.

Sudah waktunya kita memetakan kondisi bisnis pascapandemi dengan semua tantangan barunya. Membangun keterampilan tidak bisa dilakukan sekejap mata. Semakin cepat kita bersiap dan semakin kuat program yang kita susun, tentunya akan semakin menguntungkan bagi organisasi.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com