KETIMPANGAN antarwilayah adalah keniscayaan. Tidak pernah terdengar ada suatu negara yang daerah-daerahnya sama majunya, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Itulah sebabnya riset tentang ketimpangan atau kesenjangan antarwilayah tidak pernah berhenti dilakukan akademisi.
Di era Indonesia merdeka, makalah ilmiah tentang ketimpangan daerah sudah ditulis sejak tahun 1970-1980-an.
Beberapa ilmuwan ekonomi daerah pada saat itu antara lain Hendra Esmara, Madjid Ibrahim, Syafrizal.
Pengamat ekonomi regional dari negara lain di antaranya Hal Hill, Mike Douglass, Takahiro Akita.
Namun pakar ekonomi daerah yang mungkin paling terkenal hingga saat ini adalah Profesor Iwan Jaya Azis (IJA).
Saya mengenal Prof. IJA sewaktu beliau belum lama menyelesaikan program doktornya di Cornell University dan diminta menyusun kajian ekonomi daerah untuk proyek National Urban Development Study (NUDS) di Departemen Pekerjaan Umum pada awal tahun 1980-an.
Saya ingat betul cerita beliau tentang perbedaan antara telur ceplok dengan telur dadar, dalam suatu pertemuan bersama tim penyusun kajian NUDS.
Telur ceplok menggambarkan partisipasi, sedangkan telur dadar menggambarkan keikutsertaan/involvement.
Saat itu beliau masih muda, sekitar 30 tahunan; namun sudah terlihat kepakarannya yang menonjol.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.