JAKARTA, KOMPAS.com - Konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan di Indonesia menempati posisi ketiga tertinggi di wilayah ASEAN. Hal ini membuat penerapan cukai pada Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) perlu dilakukan.
Pakar Advokasi Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI), Abdillah Ahsan menambahkan, konsumsi MBDK dalam beberapa tahun terakhir meningkat signifikan. Total peningkatannya tembus hingga 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir.
Baca juga: Minuman Berpemanis Dikenakan Cukai, Penerimaan Negara Bisa Naik Jadi Rp 6,25 Triliun
Jenis minuman berpemanis yang meningkat paling signifikan adalah air teh dalam kemasan
"Yang paling meningkat drastis adalah air teh dalam kemasan. (Jenis) MBDK adalah air teh kemasan, sari buah kemasan, minuman ringan, dan minuman kesehatan. Di sini kita lihat, air teh kemasan meningkat drastis tinggi sekali. Jadi ini menimbulkan konsen," kata dia dalam webinar di Jakarta, Kamis (1/3/2022).
Baca juga: Pemerintah Buka Opsi Tarik Cukai dari Minuman Berpemanis Tahun Depan
Berdasarkan data Wild, konsumsi minuman manis dalam kemasan Indonesia menjadi tertinggi ketiga setelah Thailand dan Maldives. Konsumsi di Thailand mencapai 59,81 liter per orang per tahun, sementara di Maldives sebesar 37,86 liter per orang per tahun.
Di Indonesia, konsumsinya mencapai 20,23 liter per orang per tahun. Negara lain yang masuk dalam jajaran lima besar adalah Sri Lanka dan Myanmar dengan masing-masing konsumsi sebesar 10,78 liter dan 5,21 liter per orang per tahun.
Baca juga: Pemerintah Diminta Terapkan Cukai Plastik dan Minuman Berpemanis Tahun Depan
Khusus konsumsi air teh dalam kemasan yang menjadi salah satu jenis MBDK, mencapai 250 juta liter lada tahun 2011. Angkanya meningkat menjadi sekitar 400 juta liter dalam 3 tahun, tepatnya tahun 2014.
"Ini kondisi yang sangat mengkhawatirkan sehingga penting sekali untuk melakukan pencegahan dengan mengurangi (konsumsi)," ucap dia.
Baca juga: Teh Kemasan dan Teh Seduh, Mana Lebih Sehat?
Tak bisa dipungkiri, tingginya konsumsi MBDK berisiko meningkatkan penyakit tidak menular (PTM) seperti obesitas, penyakit diabetes, hipertensi, kerusakan liver dan ginjal, penyakit jantung, bahkan beberapa jenis kanker.
Sayangnya meskipun tidak menular, penyakit ini menyumbang kematian tertinggi. Hasil penelitian tahun 2019 menemukan, 7 dari 10 penyebab kematian tertinggi di Indonesia adalah PTM. Diabetes sendiri menempati peringkat ketiga dari PTM tersebut.
"Ditemukan juga bahwa setengah dari faktor risiko penyebab kematian tertinggi di Indonesia berkaitan dengan gaya hidup, salah satunya adalah kadar gula darah yang tinggi, yang erat kaitannya dengan konsumsi MBDK," beber Peneliti CISDI, Gita Kusnadi.
Melihat kontribusi konsumsi MBDK pada peningkatan beban kesakitan dan kematian sebab PTM, cukai MDBK perlu diterapkan segera di Indonesia.
Cukai MBDK juga sangat urgen dilakukan penanganan segera karena mengingat prevalensi diabetes di Indonesia yang semakin tahun makin meningkat.
Lalu, data International Diabetes Federation (IDF) tahun 2022 menemukan, penduduk RI yang terkena diabetes mencapai 19,5 juta orang. Pada tahun 2045, angkanya berpotensi meningkat menjadi 28,6 juta orang.
Jika demikian, Indonesia bisa menempati posisi keempat di dunia setelah India, China, dan AS, terkait negara dengan penderita diabetes tertinggi. Pada tahun 2030, posisi penderita diabetes di Tanah Air bisa tembus 21,3 juta orang.
Pada periode 2017-2019 saja, biaya layanan primer dan perujukan layanan diabetes meningkat hingga 29 persen dari Rp 84 triliun menjadi Rp 108 triliun.
"MBDK sudah memenuhi kriteria (menjadi Barang Kena Cukai) di mana konsumsi dibatasi dan berdampak negatif pada masyarakat. Secara tidak langsung, MBDK memenuhi kriteria di mana pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara," tandas Gita.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.