Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Saatnya Berbagi Cuan Tambang dengan Lingkungan dan Masyarakat Sekitar

Kompas.com - 05/07/2022, 07:50 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berbeda dengan komoditas nikel yang mengalami penurunan produksi karena pelemahan permintaan dari China, penurunan produksi batu bara justru lebih disebabkan oleh faktor teknis, yakni hujan lebat yang memengaruhi aktivitas penambangan pada kuartal tersebut.

Dua perusahaan besar ini adalah representasi dari fakta bahwa dunia pertambangan sedang berpesta dari berkah kenaikan harga komoditas dunia.

Laba bersih dari para pemain tambang, baik batu bara, nikel, atau para pemain komoditas CPO yang juga berpesta pora dengan mengorbankan kepentingan rakyat Indonesia atas minyak goreng, sering berbanding terbalik dengan keadaan lingkungan dan kondisi masyarakat di sekitar kawasan lingkar tambang.

Alam di mana mereka tinggal menjadi korban atas akselerasi keuntungan perusahaan tambang.

Beberapa hari lalu, 500 keluarga terdampak banjir yang menerjang Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) pada Senin (27/6) petang.

Dalam rilis resmi pemerintah setempat, penyebabnya adalah intensitas hujan yang tinggi. Namun sudah menjadi rahasia publik bahwa bencana banjir dan sejenisnya baru mulai menghampiri daerah ini sejak perusahaan-perusahaan tambang mulai masif mengeruk nikel di sana.

Perlu diketahui, Bahodopi adalah kecamatan di mana Kawasan Ekonomi Khusus pengolahan Nikel berada.

Suara-suara kritis, baik dari tokoh lokal maupun aktivis lingkungan tentang minimnya komitmen lingkungan dari perusahaan-perusahaan tambang adalah salah satu penyebab utama mulai meningkatnya intensitas bencana di Bahodopi dan daerah-daerah tambang lainnya.

Saya yakin hal yang sama juga dialami oleh daerah-daerah tambang komoditas batu bara.

Karena itu, sejatinya saat ini adalah waktuyang tepat bagi perusahaan untuk memperbesar alokasi anggaran untuk membalas budi kepada alam yang telah menyediakan komoditas mentah tersebut.

Menurut hemat saya yang pernah cukup lama bergelut dengan dunia tambang nikel, meskipun ada penurunan permintaan dari China untuk komoditas nikel dan gangguan teknis produksi batu bara, tingginya harga internasional kedua komoditas ini akan memicu perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan produksi demi nominal keuntungan yang lebih besar di kuartal-kuartal selanjutnya.

Artinya, peningkatan produksi akan menambah kerusakan dan beban lingkungan, yang risikonya akan dituai oleh masyarakat lokal di kemudian hari.

Karena itu, situasi pasar dan lonjakan harga saat ini harus dimanfaatkan dalam dua sisi oleh perusahaan-perusahaan tambang.

Pertama peningkatan eksploitasi harus atau mutlak diimbangi dengan upaya masif untuk perbaikan lingkungan (reklamasi dan rehabilitasi lahan bekas tambang, misalnya).

Dengan begitu, maka dampak negatif lebih lanjut dapat dimitigasi di saat perusahaan benar-benar mampu secara fiskal.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com