2. Kondisi geologi di tunnel 2
Dia mengakui, ada situasi-situasi yang tidak terduga seperti kondisi geologi di tunnel 2. Meskipun dalam perencanaannya KCIC sudah memetakan area tersebut adalah area clayshale dan masih memungkinkan untuk dibuat tunnel. Namun dalam praktik di lapangan, ternyata kondisi geologisnya adalah clayshale ekstrem. Kondisi ini membuat pembangunan sempat terhambat dan akhirnya berdampak pada penambahan biaya.
"Hal ini memaksa kami untuk melakukan beberapa metode untuk mengatasi persoalan geologis," jelasnya.
3. Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak tahun 2020 membuat perencanaan proyek menjadi terhambat. Sebab, upaya penanganan Covid-19 tidak pernah dianggarkan sebelumnya. Namun, agar proses pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung tetap dapat berlangsung, KCIC perlu mengadakan langkah pencegahan Covid-19 sesuai dengan ketentuan pemerintah, mulai dari proses karantina hingga tes Covid-19 rutin. Hal ini tentu menambah anggaran.
Baca juga: Kereta Cepat Tak Sampai Kota Bandung, Kira-kira yang Minat Banyak?
"Selain ketika pandemi, produktivitas SDM KCJB sempat berkurang karena adanya pengetatan-pengetatan aktivitas yang dilakukan. Hal ini tentu menjadi salah satu obstacle dan menjadi salah satu faktor penambahan biaya," ucapnya.
4. Penggunaan frekuensi GSM-R
Selain itu, penggunaan frekuensi GSM-R untuk operasional kereta api di Indonesia ternyata membutuhkan biaya investasi. Biaya ini di luar anggaran awal. Pasalnya, pada anggaran awal KCIC mengacu pada penggunaan frekuensi GSM-R di China di mana penggunaan frekuensi termasuk investasinya tidak perlu bayar. Sementara di Indonesia kebijakannya berbeda.
5. Instalasi listrik dan lain-lain
Selain itu, dia menyebutkan KCIC membutuhkan biaya investasi tambahan untuk instalasi listrik PLN.
"Masalah anggaran ini juga berasal dari pekerjaan variation order dan financing cost serta pekerjaan lainnya yang memang harus dilakukan untuk kebutuhan penyelesaian proyek KCJB," jelasnya.
Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Wahyu Utomo mengatakan, pemerintah Indonesia tak bisa langsung menerima permintaan China, agar APBN bisa ikut menanggung pembengkakan biaya Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Permintaan China ini juga harus menunggu arahan dari Presiden Jokowi apakah nanti bisa pemerintah ikut andil menalangi atau tidak.
"Ada permintaan karena cost overrun ini agar di-cover oleh pemerintah Indonesia. Terkait hal ini, teman-teman dari Kementerian Keuangan baru membahas yang merupakan bagian kewajiban kami untuk kontribusi dalam pembangunan, bukan cost overrun," jelas Wahyu Utomo dikutip pada Rabu (27/7/2022).
Baca juga: Jonan Dulu Bilang, Jakarta-Bandung Terlalu Pendek untuk Kereta Cepat
Sebelumnya, Presiden Jokowi sempat beberapa kali menegaskan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung adalah murni business to business (b to b) dan berjanji tak akan menggunakan dana APBN sepeser pun. Menurutnya, pemerintah melalui Kemenko Perekonomian bersama Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi terus memonitor dengan ketat proyek ini.
Dalam proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, CDB memiliki porsi investasi terbesar yakni 75 persen. Mengutip Kompas TV, dari total kebutuhan dana investasi Kereta Cepat Jakarta Bandung, pinjaman CBD diperkirakan mencapai 4,55 miliar dollar AS atau setara Rp 64,9 triliun.
Sementara 25 persen pendanaan sisanya, berasal dari setoran modal dari konsorsium dua negara, Indonesia-China. Rinciannya, konsorsium BUMN Indonesia (PT KAI (Persero), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PTPN) menyetorkan kontribusi sebesar 60 persen, dan sisanya dari modal konsorsium China, Beijing Yawan sebesar 40 persen.
Baca juga: Duit Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Menipis, Kini Berharap APBN
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.