Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

APBN Surplus, Sri Mulyani: Kami Tidak Jumawa, Situasi Global Tidak Pasti

Kompas.com - 29/07/2022, 11:20 WIB
Yohana Artha Uly,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kinerja APBN yang terus mencatatkan surplus dalam enam bulan terakhir, tidak membuat pihaknya jumawa, sebab ekonomi global masih diliputi ketidakpastian.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat APBN surplus sebesar Rp 73,6 triliun pada semester I-2022. Besaran surplus itu setara dengan 0,39 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Surplus APBN hingga akhir Juni 2022 terbilang sangat baik bila dibandingkan akhir Juni 2021 yang tercatat defisit Rp 283,1 triliun. Surplus ini ditopang oleh pendapatan negara yang tumbuh signfikan dibandingkan belanja negara.

"Kemarin kami di Kemenkeu sampaikan bahwa APBN sampai Juni surplus. Kami tidak jumawa. Kami tahu situasi (global) masih akan cair dan dinamis," ungkapnya dalam acara Dies Natalis ke-7 PKN STAN, Jumat (29/7/2022).

Baca juga: Rasio Utang RI Lebih Rendah dari Negara Lain, Sri Mulyani: Indonesia Aman

Ia menjelaskan, setelah ekonomi dunia tertekan akibat pandemi Covid-19, pemulihan tidak bisa berjalan mulus ketika terjadi perang antara Rusia dan Ukraina yang berdampak signifikan pada perekonomian global.

Inflasi yang sudah tinggi akibat pemulihan pasca pandemi, semakin melonjak karena tensi geopolitik Rusia-Ukraina. Kedua negara tersebut memiliki peran sebagai produsen energi dan pangan dunia, termasuk pupuk.

"Dunia tidak baik-baik saja, inflasi di berbagai negara melonjak sangat tinggi," kata Sri Mulyani.

Baca juga: Sri Mulyani Tanggapi Tagar #stopbayarpajak: Subsidi Elpiji hingga Listrik Itu dari Pajak

Kondisi lonjakan inflasi yang terjadi di berbagai negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan negara kawasan Eropa tentu sangat memiliki pengaruh terhadap Indonesia.

Lantaran, inflasi yang tinggi akan direspons oleh bank-bank sentral dengan pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga yang agresif, sehingga membuat terjadinya arus modal keluar (capital outflow) dari negara emerging market, termasuk Indonesia.

Di sisi lain, perekonomian AS dan China juga melemah, padahal keduanya merupakan mitra dagang utama RI. Pelemahan ekonomi kedua negara itu tentu akan berdampak pada permintaan produk RI sehingga dapat menurunkan kinerja ekspor Indonesia.

"Berbagai kemungkinan terjadi, dengan kenaikan suku bunga maka outflow terjadi di seluruh negara berkembang dan emerging market, termasuk Indonesia, dan itu bisa pengaruhi nilai tukar rupiah, suku bunga, bahkan inflasi di Indonesia," pungkasnya.

Baca juga: Sri Mulyani: Dunia Berada di Tengah Krisis Energi Global

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com