Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hitungan Pengamat: Harga Keekonomian BBM Subsidi yang Disampaikan Pemerintah Terlalu Tinggi...

Kompas.com - 30/08/2022, 05:08 WIB
Erlangga Djumena

Editor

Sumber

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pengamat memberikan penilaian terhadap harga keekonomian BBM subsidi yang disampaikan pemerintah. Menurut pengamat, harga keekonomian BBM subsidi yang dipaparkan pemerintah terlalu tinggi.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM menyampaikan, harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Solar dan Pertalite saat ini jauh dari harga keekonomian atau harga yang seharusnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, jika menggunakan asumsi ICP saat ini yang senilai 105 dollar AS per barrel dan kurs rupiah Rp 14.700 per dollar AS, harga Solar seharusnya Rp 13.950 per liter. Sedangkan untuk Pertalite harga keekonomiannya Rp 14.450 per liter.

Sementara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebutkan bahwa harga keekonomian Pertalite di Rp 17.200 per liter dan Solar Rp 17.600 per liter.

Baca juga: Sri Mulyani Ungkap Harga Asli Pertalite dan Solar Jika Tanpa Subsidi

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, harga keekonomian yang disampaikan oleh Kementerian Keuangan terlalu tinggi.

Menurut paparan Kementerian Keuangan, outlook harga minyak internasional (Brent) 2022 sampai dengan akhir tahun yang diterbitkan oleh EIA menunjukkan harga minyak di 104,8 dollar AS per barrel dan, berdasarkan forecast konsensus, harga minyak bahkan mencapai 105 dollar AS per barrel pada Agustus 2022.

“Sedangkan pada bulan ini tren harga minyak mentah brent sudah di bawah 100 dollar AS per barrel sehingga harga keekonomian yang disampaikan pemerintah terlalu tinggi,” sebut dia, seperti dilansir Kontan.co.id, Senin (29/8/2022).

Jika harga keekonomian berubah, otomatis asumsinya beban subsidi akan bertambah besar.

Perihal penyesuaian harga BBM Subsidi, menurut Tauhid, jika harga BBM sampai naik hingga di atas Rp 10.000 per liter, dapat berdampak pada kenaikan inflasi hingga di atas 7 persen-8 persen karena multiplier harga BBM ke beberapa produk tinggi.

Jika ada penyesuaian harga BBM, Tauhid mengatakan harus dilakukan secara bertahap sambil melihat kondisi pergerakan harga minyak dunia.

“Idealnya kenaikannya harus bertahap, misalnya 5 persen dahulu, nanti harga minyak turun tidak,” ujarnya.

Dia mengatakan, strategi menaikkan harga BBM subisidi bertahap ini agar ada penyesuaian kemampuan daya beli sehingga masyarakat bisa menahan beban harga.

Di sisi lain, kalaupun ada bantuan dari pemerintah yang besarannya tentu harus disesuaikan dan adil dengan inflasi yang meningkat.

Tauhid juga mencermati perihal pembatasan penyaluran BBM Subsidi kepada yang benar-benar membutuhkan.

Baca juga: Sri Mulyani: Pertamax yang Dikonsumsi Mobil Bagus Disubsidi Rp 4.800 Per Liter

Hitung-hitungan

Sementara Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan menyebutkan bahwa Indonesia sekarang adalah negara net importer minyak mentah. Artinya, minyak milik pemerintah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga perlu impor.

“Dengan harga minyak mentah yang cukup tinggi saat ini, maka harga pengadaan BBM juga menjadi tinggi,” jelasnya.

Dampaknya, kebutuhan seluruh BBM nonsubsidi (RON92 ke atas) dan BBM industri dipenuhi dari impor. Harga BBM tersebut sudah mengikuti harga keekonomian. Artinya, tidak ada subsidi.

Anthony memberikan gambaran perhitungan yang rinci mulai dari pendapatan negara, kebutuhan BBM subsidi, hingga hitungan subsidinya.

Baca juga: Kualitas BBM Malaysia Ungguli Pertalite dan Lebih Murah, Kok Bisa?

Realisasi produksi minyak mentah Indonesia semester I 2022 sekitar 611.000 barrel per hari. Kalau produksi semester dua sama besar, maka produksi minyak mentah Indonesia tahun 2022 akan mencapai 223 juta barrel (611.000 barrel x 365 hari), atau sekitar 35,5 miliar liter.

Minyak mentah tersebut diproduksi oleh mitra kontraktor minyak dengan pola bagi hasil, production sharing contract, PSC. Perhitungan bagi hasil sebelumnya berdasarkan hasil bersih setelah dikurangi seluruh biaya produksi (cost recovery).

Adapun bagi hasil sekarang berdasarkan gross split. Untuk minyak bumi, 57 persen pemerintah, 43 persen mitra kontraktor. Sementara untuk gas bumi, 52 persen pemerintah, 48 persen mitra kontraktor.

“Artinya, Indonesia akan mendapat minyak mentah sebanyak 20,3 miliar liter, yaitu 57 persen dari total produksi 35,5 miliar liter untuk tahun 2022,” ucapnya.

Lantas berapa harga produksi minyak mentah Indonesia?

Menurut Anthony, nol rupiah karena sudah dibayar dengan bagi hasil 43 persen.

Jadi, artinya, biaya produksi BBM Indonesia hanya biaya proses kilang, rata-rata 5 dollar per barrel (untuk kilang lama), atau hanya Rp 472 per liter (5 dolar x Rp15.000 : 159 liter).

Harga jual pertalite Rp 7.600 per liter, termasuk biaya distribusi, marjin keuntungan, dan pajak (PBBKB dan PPN). Anggap saja total biaya tersebut Rp 1.600 per liter. Artinya, pendapatan bersih pemerintah dari penjualan pertalite adalah Rp 6.000 per liter, dengan harga pokok produksi hanya Rp 472 per liter.

Anthony menjelaskan, minyak milik pemerintah diproses untuk pertalite dan biosolar bersubsidi, dijual dengan harga Rp 7.600 dan Rp 5.150 per liter, atau, setelah dikurangi biaya distribusi, marjin keuntungan dan pajak, tinggal Rp 6.000 dan Rp 4.000 per liter. Dikurangi biaya kilang Rp 472 per liter (dibulatkan menjadi Rp 500), maka pendapatan negara, bersih, menjadi Rp 5.500 dan Rp 3.500 per liter.

Selanjutnya, kebutuhan biosolar bersubsidi (yang sebenarnya tidak ada subsidi) sekitar 10 miliar liter (10 juta KL). Dari penjualan biosolar, diperoleh pendapatan negara, bersih senilai Rp 35 triliun (Rp 3.500 x 10 miliar liter).

Sisa minyak pemerintah, setelah dialokasikan untuk biosolar, tinggal 10,3 miliar liter, dialokasikan untuk pertalite. Pendapatan negara, bersih, dari pertalite menjadi Rp 56,65 triliun (Rp 5.500 x 10,3 miliar liter).

Sehingga total pendapatan bersih negara dari kekayaan alam Indonesia, milik rakyat Indonesia, mencapai Rp 91,65 triliun (Rp 35 triliun + Rp 56,65 triliun).

Baca juga: Sri Mulyani Ungkap Ratusan Triliun Rupiah Subsidi BBM Dinikmati Orang Kaya

Baca juga: Beda-beda Harga BBM Jika Tak Disubsidi, Versi Jokowi dan Para Menteri

Adapun kebutuhan pertalite dan biosolar domestik sangat besar, masing-masing sekitar 22 miliar liter dan 10 miliar liter. Sedangkan minyak mentah milik pemerintah hanya 20,3 miliar liter, untuk memenuhi sebagian kebutuhan pertalite, 10,3 miliar liter, dan seluruh kebutuhan biosolar 10 miliar liter (100 persen). Sehingga ada selisih 11,7 miliar liter kebutuhan pertalite yang harus dipenuhi dari impor.

Dengan tingkat harga minyak mentah yang tinggi saat ini, biaya produksi BBM (harga keekonomian) kemungkinan besar lebih tinggi dari harga jual yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp 7.600 (termasuk biaya distribusi, marjin keuntungan dan pajak). Pertamina akan rugi kalau tidak dibantu dengan subsidi oleh pemerintah.

“Kalau subsidi rata-rata Rp 5.000 per liter maka total subsidi hanya mencapai Rp 58,5 triliun (11,7 miliar liter x Rp 5.000 per liter). Sehingga, secara total, neraca keuangan minyak bumi Indonesia masih surplus Rp 33,15 triliun (Rp 91,65 triliun - Rp58,50 triliun),” jelasnya.(Arfyana Citra Rahayu)

Artikel ini telah tayang di Kntan.co.id dengan judul Begini Hitungan Pengamat Soal Harga BBM Subsidi Dibanding Nilai Keekonomiannya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cara Bayar Pajak Daerah secara Online lewat Tokopedia

Cara Bayar Pajak Daerah secara Online lewat Tokopedia

Spend Smart
Apa Itu 'Cut-Off Time' pada Investasi Reksadana?

Apa Itu "Cut-Off Time" pada Investasi Reksadana?

Earn Smart
Mengenal Apa Itu 'Skimming' dan Cara Menghindarinya

Mengenal Apa Itu "Skimming" dan Cara Menghindarinya

Earn Smart
BRI Beri Apresiasi untuk Restoran Merchant Layanan Digital

BRI Beri Apresiasi untuk Restoran Merchant Layanan Digital

Whats New
Kemenhub Tingkatkan Kualitas dan Kompetensi SDM Angkutan Penyeberangan

Kemenhub Tingkatkan Kualitas dan Kompetensi SDM Angkutan Penyeberangan

Whats New
CGAS Raup Pendapatan Rp 130,41 Miliar pada Kuartal I 2024, Didorong Permintaan Ritel dan UMKM

CGAS Raup Pendapatan Rp 130,41 Miliar pada Kuartal I 2024, Didorong Permintaan Ritel dan UMKM

Whats New
Simak Cara Menyiapkan Dana Pendidikan Anak

Simak Cara Menyiapkan Dana Pendidikan Anak

Earn Smart
HET Beras Bulog Naik, YLKI Khawatir Daya Beli Masyarakat Tergerus

HET Beras Bulog Naik, YLKI Khawatir Daya Beli Masyarakat Tergerus

Whats New
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lampaui Malaysia hingga Amerika Serikat

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lampaui Malaysia hingga Amerika Serikat

Whats New
KKP Terima 99.648 Ekor Benih Bening Lobster yang Disita TNI AL

KKP Terima 99.648 Ekor Benih Bening Lobster yang Disita TNI AL

Rilis
Di Hadapan Menko Airlangga, Wakil Kanselir Jerman Puji Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Di Hadapan Menko Airlangga, Wakil Kanselir Jerman Puji Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Whats New
Soal Rencana Kenaikan Tarif KRL, Anggota DPR: Jangan Sampai Membuat Penumpang Beralih...

Soal Rencana Kenaikan Tarif KRL, Anggota DPR: Jangan Sampai Membuat Penumpang Beralih...

Whats New
Menteri ESDM Pastikan Perpanjangan Izin Tambang Freeport Sampai 2061

Menteri ESDM Pastikan Perpanjangan Izin Tambang Freeport Sampai 2061

Whats New
Pertumbuhan Ekonomi 5,11 Persen, Sri Mulyani: Indonesia Terus Tunjukan 'Daya Tahannya'

Pertumbuhan Ekonomi 5,11 Persen, Sri Mulyani: Indonesia Terus Tunjukan "Daya Tahannya"

Whats New
“Wanti-wanti” Mendag Zulhas ke Jastiper: Ikuti Aturan, Kirim Pakai Kargo

“Wanti-wanti” Mendag Zulhas ke Jastiper: Ikuti Aturan, Kirim Pakai Kargo

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com