Menurut hukum ekonomi pasar, harga agregat akan meningkat, yang secara luas dikenal sebagai inflasi.
Paparan di atas tampaknya mendekati kenyataan. Biro Statistik Tenaga Kerja AS mengumumkan bahwa inflasi di negara itu telah melonjak lagi, sebesar 9,1 persen pada Juli. Angka ini menumbangkan rekor pada Mei 1981, menjadikannya rekor tertinggi.
Adapun inflasi AS pada Agustus sebesar 8,3 persen.
Oleh karena itu, The Fed menggunakan kenaikan suku bunga kebijakan untuk mengelola permintaan agregat.
Kenaikan suku bunga mendorong masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank guna memperoleh imbal hasil yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Oleh karena itu, peningkatan permintaan dapat dikendalikan.
Sementara itu, fenomena inflasi di Indonesia disebabkan oleh gangguan rantai pasok. Pasokan agregat menurun karena perubahan cuaca, distribusi, dan tingginya harga barang impor.
Akibatnya, kenaikan suku bunga kebijakan diklaim tidak akan banyak berdampak pada pengendalian inflasi.
Perbedaan karakter di atas mengingatkan kita pada perdebatan panjang antara paradigma Keynesian dan aliran klasik.
Aliran Keynesian menganggap kebijakan suku bunga akan memengaruhi aktivitas ekonomi sektor riil.
Aliran klasik, di sisi lain, berpendapat bahwa ada dikotomi antara sektor riil dan sektor moneter.
Kekhawatiran akan dikotomi tersebut mendasari pergeseran dari BI rate ke 7-day reverse-repo rate sebagai policy rate.
Ketika BI rate diterapkan, terjadi ketidaksinkronan antara pergerakan suku bunga kebijakan dan inflasi. Mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil menjadi sulit.
Jadi, kenaikan suku bunga kebijakan akan terus berdampak pada pengendalian inflasi jika dibarengi dengan stabilitas nilai tukar. Nilai tukar yang stabil akan meminimalkan dampak inflasi impor.
Dalam situasi ini, BI harus berhati-hati dalam optimalisasi bauran kebijakan melalui operasi moneternya.
Pembagian beban dengan pemerintah berdampak pada kelebihan BI dalam memegang Surat Berharga Negara (SBN).