DANA desa mulai digelontorkan tahun 2015. Namun hingga kini, masih banyak kendala dan tantangan yang dihadapi demi lancarnya program pembangunan dari pinggiran ini.
Walaupun telah lebih dari Rp 400 triliun dana dicairkan sejak tahun 2015 hingga 2021, nyatanya masih banyak permasalahan yang menimpa program dana desa. Korupsi aparatur desa adalah salah satu contoh tidak efektifnya pengelolaan dana desa.
Ada pula masalah inefisiensi dan inefektivitas pelaksanaan kegiatan di desa, yang ujung-ujungnya hanya menjadi pemborosan anggaran semata.
Baca juga: KPK Sebut Korupsi Dana Desa Masuk 3 Kasus Terbanyak dalam Korupsi Pengelolaan Keuangan
Masalah lain yang tak kalah penting adalah adanya potensi kehilangan (loss) penerimaan negara dari pengelolaan dana desa.
Berdasarkan data dari setkab.go.id dan djpk.kemenkeu.go.id, alokasi dana desa tahun 2020 dan 2021 sebesar Rp 72 triliun untuk 74 ribu lebih desa di seluruh Indonesia. Sementara tahun 2022 ini, alokasi dana desa menurun menjadi Rp 68 triliun.
Berapa potensi penerimaan pajak yang hilang dari pengelolaan dana desa yang tidak tepat? Cukup besar.
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai potensi loss penerimaan pajak dari dana desa, kita perlu mengetahui secara umum penggunaan dana desa. Dalam Permendes PDTT Nomor 7 Tahun 2021, secara garis besar dinyatakan bahwa dana desa diprioritaskan untuk:
Khusus berkaitan dengan aspek perpajakan, dana desa dapat digunakan untuk program Karya Tunai Desa. Salah satu bentuk program itu adalah pembangunan fisik dengan mengoptimalkan sumber daya lokal desa.
Terkait aspek perpajakan dana desa dinyatakan dalam Permendagri Nomor 20 Tahun 2018, bahwa setiap pengeluaran kas desa yang menyebabkan beban atas anggaran belanja desa dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan mengenai perpajakan yang berlaku.
Artinya dapat dikatakan bahwa hampir pada setiap program dan kegiatan yang dilakukan oleh desa yang dananya bersumber dari dana desa, terdapat potensi penerimaan pajak, baik Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penghasilan (PPh – pasal 21, pasal 22, pasal 23, dan pasal 24 ayat 2), termasuk juga bea materai.
Baca juga: Ironi Korupsi Dana Desa
Dalam Permendagri itu juga diatur bahwa Kaur Keuangan Desa wajib pungut pajak, melakukan pemotongan pajak (dan penyetorannya) terhadap pengeluaran kas desa, meliputi belanja pegawai, barang/jasa, dan belanja modal.
Jika kita berasumsi bahwa penerimaan pajak dari setiap desa sekitar lima persen saja per tahun, maka terdapat setidaknya Rp 3 triliun potensi penerimaan pajak yang berasal dari pengelolaan dana desa.
Seiring dengan semakin canggihnya penggunaan teknologi informasi, aparatur desa juga sebenarnya jadi lebih mudah dalam urusan perpajakan dana desa. Namun kenyataannya berbeda.
Menurut Indonesian Cooruption Watch (ICW), masalah perpajakan yang sering terjadi di desa adalah pihak aparatur desa yang tidak atau lupa menyetorkan hasil pungutan pajak ke kas negara (Firmansyah dan Musri, 2019).
Padahal, dengan sudah adanya billing system atau Modul Penerimaan Negara (MPN) G-3, maka urusan setor-menyetor pajak ini relatif mudah. Kita bisa datang ke teller bank, ke mesin ATM, atau bahkan bisa menyetor pajak via mobile banking dan channel-channel pembayaran lain seperti minimarket dan e-commerce.