Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hanif Sofyan
Wiraswasta

Pegiat literasi di walkingbook.org

Tempe Made In Amerika

Kompas.com - 01/11/2022, 19:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kekurangan itu ditutup impor, hingga 2 juta-2,5 juta ton per tahun. Dan sekitar 70 persen di antaranya dialokasikan untuk produksi tempe.

Kita bahkan telah menjadi candu impor kedelai sejak 1998. Swasembada tak pernah jadi pilihan serius dalam kebijakan pemerintah mendorong ketergantungan pada kedelai sebagai bahan baku makanan favorit Indonesia itu.

Bahkan menyebut kata "pernah swasembada" seperti mengungkit romantisme sejarah yang tidak lagi terulang. Menyakitkan!

Tantangan itu makin besar, ketika kedelai tidak melulu hanya untuk kebutuhan tempe, tapi juga untuk bahan bakar nabati. Jika ini terjadi, kita barangkali tak hanya mengimpor kedelai, bahkan tempe pun akan bermerek “Made in Amerika”.

Menurut Statistik, konsumsi kedelai per kapita Indonesia diperkirakan akan meningkat mulai 2020 hingga 2029.

Dalam Outlook Kedelai 2020, Kementerian Pertanian, potensi kenaikan itu disebabkan turunnya daya beli masyarakat dan beralih dari protein hewani. Selain itu masyarakat menengah ke atas menerapkan gaya hidup vegan.

Untuk mengatasi problem itu, para pengrajin pastilah tak berurusan dengan besaran angka-angka statistika, yang penting bagi mereka adalah ketersediaan bahan baku di pasaran secara normal.

Ketika swasembada belum menjadi prioritas, maka impor adalah sebuah pilihan akhir. Padahal kedelai lokal lebih unggul dari impor dalam hal bahan baku pembuatan tahu.

Rendemennya lebih tingi, dan risiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik. Sementara kedelai impor sebaliknya, namun dalam produktivitas kedelai impor lebih unggul.

Jadi dalam urusan modernisasi pertanian, intensifikasi atau diversifikasi, kita tertinggal jauh. Mau tidak mau kita terpaksa memilih jenis transgenik yang sebenarnya tidak lebih sehat dari kedelai alami. Tapi mau bagaimana lagi.

Petani juga tak mau repot dan berpikir pragmatis rasional. Jika pemerintah tidak sanggup mendukung intervensi produktivitas kedelai lokal skala besar, tidak didukung industri perbenihan, dari pada menanam kedelai, ya lebih baik menanam beras dan jagung.

Dampak dari tingginya ketergantungan bahan baku impor dapat menyebabkan harga tempe dan tahu tak stabil, karena terpengaruh fluktuasi nilai tukar.

Jika bahan baku mahal, maka pilihan para pedagang adalah menaikkan harga atau mengecilkan volume tempe dan tahu yang mereka produksi.

Sejauh ini susah rasanya mencari makanan substitusi yang bentuk dan cita rasanya seperti tempe. Jika kita mau tetap bertahan terus mengonsumsi, satu-satunya jalan membuat tempe setipis ATM, minimal kripik tempe, apa boleh buat daripada tidak ada sama sekali.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com