JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengatakan, terjadi pro dan kontra terkait kebijakan industri ramah lingkungan (green energy).
Hal tersebut lanjut Bahlil, dibuktikan tidak meratanya penyaluran investasi untuk mengubah industri menjadi ramah lingkungan atau transisi energi baru terbarukan (renewble energy).
"Ketika hari ini semua dunia berbicara tentang energi baru terbarukan, menurunkan emisi gas rumah kaca, tapi kita terjadi kontraproduktif kebijakan terhadap pemerataan aliran investasi hijau," katanya dalam sambutan B20 Summit, Minggu (13/11/2022).
"Hanya satu per lima, aliran investasi hijau kepada negara-negara berkembang. Pada saat bersamaan, global dunia ingin untuk bagaimana kita didorong percepatan net zero emission. Ini kalau bahasa kampung saya di Papua disebut tulis lain, baca lain, bertindak lain," sambung dia.
Baca juga: Ekonomi RI Terus Tumbuh Positif, Bahlil: Jangan Kita Terbuai dan Euforia
Dengan situasi tersebut, pemerintah pun mengambil kebijakan agar target bebas emisi pada 2060 atau lebih awal bisa tercapai. Tentu saja kata dia, dibutuhkan kolaborasi antara investor besar dengan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perlu didorong untuk memastikan investasi berkelanjutan menjadi investasi yang inklusif.
"Kami pemerintah bisa membuat keputusan dan peraturan yang ada, tetapi yang bisa mengimplementasikan bapak/ibu semua (tamu B20 Summit). Oleh karena itu, dari dunia usaha yang tergabung di B20 adalah instrumen terpenting untuk bagaimana bisa mewujudkan harapan menuju zero emission," ucapnya.
Baca juga: Selain Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca, Perpres 112/2022 Ditargetkan Dorong Investasi Hijau
Bahlil lebih lanjut mengungkapkan, saat pertemuan G20 tingkat Menteri Investasi beberapa waktu lalu, terjadi perdebatan yang panjang terkait harga karbon di mana Indonesia tidak setuju.
"Saya mohon maaf kepada saudara-saudara saya dari negara yang sudah maju. Harga karbon negara maju dan negara berkembang yang mempunyai sumber daya terhadap karbonisasi yang baik itu harganya berbeda. Negara maju mungkin harganya bisa sampai 100 dollar AS per ton. Negara berkembang seperti Indonesia hanya dihargai 20 dollar AS per ton, bahkan hanya sampai 17 dollar AS per ton," ucapnya.
Baca juga: Dukung Penyelenggaraan Bursa Karbon pada 2023, OJK Siapkan Infrastruktur
Menurut dia, terkait harga karbon harus dilakukan bersama demi kesejahteraan seluruh wilayah di dunia.
"Saya tidak punya keyakinan besar ketika kita memakai rumusan harga karbon mahal di sebuah negara karena membutuhkan investasi besar akibat lahan-lahan atau resources (sumber) yang sudah ada untuk mendukung investasi yang besar," kata Bahlil.
Baca juga: RI-Inggris Teken Kerja Sama Perluasan Investasi, Bahlil: Ini Langkah Awal yang Baik.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.