Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

Mengapa Pesawat China Datang (Lagi) ke Indonesia?

Kompas.com - 29/12/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEMINGGU yang lalu, 21 Desember 2022 sekitar pukul 15.00 WIB, satu pesawat produksi dari Commercial Aircraft Corporation of China Ltd (COMAC) mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Banten, setelah menempuh perjalanan sekitar 6 jam dari Chengdu, China.

Pesawat jenis ARJ 21-700 tersebut dikirim untuk maskapai Indonesia, TransNusa. Pesawat sudah diberi nomor registrasi PK-TJA, artinya pesawat tersebut sudah terdaftar di Indonesia melalui Kementerian Perhubungan sebagai regulator penerbangan nasional.

Kedatangan pesawat ini membuat heboh, karena sangat jarang pesawat produksi China yang dibeli atau disewa maskapai Indonesia.

Pesawat yang banyak dioperasikan maskapai nasional Indonesia adalah produksi pabrik Boeing dari Amerika Serikat dan Airbus dari Uni Eropa.

Beberapa pesawat keluaran pabrik Embraer dari Brasil atau Bombardier dari Kanada. Di luar itu, hampir tidak ada, termasuk dari China.

Memang China selama ini belum dianggap sebagai produsen pesawat kelas wahid, kalah dengan nama-nama besar seperti Amerika, Perancis, Inggris, Spanyol, Rusia, Kanada, Brasil dan bahkan Indonesia.

Karena itulah, tidak sedikit masyarakat yang bertanya-tanya, kenapa pesawat dari pabrikan China datang dan akan dioperasionalkan maskapai Indonesia?

Banyak yang khawatir, terutama soal keselamatannya. Mengingat selama ini di benak masyarakat sudah tertanam bahwa barang-barang produksi China tidak awet atau mudah rusak.

Selain itu, pesawat ini juga lebih kecil dibanding pesawat-pesawat jet yang selama ini dioperasionalkan maskapai kita seperti, misalnya, Boeing seri 737 NG atau Airbus seri 320. Apakah nyaman terbang dengan pesawat ini?

Pesawat China rasa dunia

Pesawat ARJ 21 memang produksi COMAC. Tapi sesungguhnya, 85 persen komponennya tidak diproduksi oleh pabrikan dari China itu, tapi diproduksi oleh pabrik-pabrik lain yang tersebar di seluruh dunia.

Dan pabrik-pabrik tersebut juga memasok komponen ke pabrik-pabrik pesawat seperti Boeing, Airbus dan lainnya.

Memang sampai saat ini tidak ada satu pun pabrik pesawat yang membuat sendiri semua komponennya dari A sampai Z.

Alasannya sederhana, lebih pada hitung-hitungan bisnis. Karena dalam satu pesawat itu komponen-komponennya hanya butuh 1 set yang dipakai dan beberapa untuk suku cadang.

Jadi boleh dikatakan sebenarnya yang disebut pabrik pesawat itu cuma asembly atau perakit saja. Walaupun, tentu saja, konsep desain pesawat memang dibuat oleh pabrik pesawat tersebut.

Jika memproduksi komponen sendiri, tentu biayanya akan mahal dan tidak efektif efisien. Lebih murah kalau beli langsung ke pabrik yang khusus memproduksi mesin atau komponen.

Pabrik itu bisa memproduksi banyak komponen sekaligus karena bisa dijual dan dipakai untuk beberapa jenis pesawat sehingga proses produksinya lebih efektif efisien.

Pabrik komponen pesawat tersebar di seluruh dunia, termasuk di antaranya PTDI Indonesia. Walaupun tersebar, kualitas komponennya sama, karena harus sesuai dengan konsep desain yang dikembangkan oleh pabrik “asembly” pesawat itu.

Sebelum pabrik komponen dikontrak, akan diaudit dulu oleh pabrik pesawat sehingga nanti produksinya sesuai dengan yang dibutuhkan.

Setelah pesawat selesai dirakit, harus menjalani tes keselamatan dan kelaikudaraan (laik terbang) oleh otoritas penerbangan asal pabriknya dan kemudian mendapat sertifikasi sehingga dapat dijual ke seluruh dunia.

Saat maskapai di suatu negara ingin membeli pesawat ini, maka pesawatnya juga harus diuji sertifikasi dulu oleh negara asal maskapai tersebut.

Misalnya TransNusa yang membeli, maka pesawat itu harus diuji dulu oleh Direktorat Kelaikudaran dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Kementerian Perhubungan Indonesia.

Semua itu untuk memastikan bahwa pesawat tersebut laik untuk terbang dengan selamat dan nyaman.

Kembali ke pesawat ARJ 21, mesinnya pakai GE CF34-10A produksi General Electric dan perangkat tenaga cadangan (auxiliary power unit /APU) memakai APS2600A produksi Pratt & Whitney, keduanya pabrik dari Amerika. Begitupun sistem avioniknya dari pabrikan Rockwell Collins, Amerika.

Sedangkan sistem roda pendarat (landing gear) dari Liebherr, Swiss. Kokpit pesawat memakai filosofi dark cockpit, yaitu dalam keadaan normal, tidak ada lampu yang menyala. Filosofi ini dikembangkan oleh Airbus, pabrikan dari Eropa.

Desain ARJ 21 sebenarnya juga pengembangan dari pesawat produksi pabrikan McDonell Douglas dari AS, yaitu seri MD 80 – 90 yang dibeli lisensinya oleh COMAC. Jadi boleh dikata, ini pesawat China tapi rasa dunia.

Mesin pencetak uang

Mungkin banyak yang bertanya, mengapa TransNusa akan memakai pesawat yang terbilang mungil, karena kapasitasnya hanya 100-an kursi, jika dibanding dengan Boeing 737 NG atau Airbus A320 yang kapasitasnya 180-200 kursi dan selama ini banyak dipakai masakapai Indonesia?

Jawaban pastinya tentu hanya manajemen TransNusa yang tahu. Namun saya bisa menganalisanya begini.

Walaupun mungil, pesawat jet ini ternyata bisa dikatakan sebagai mesin pencetak uang bagi maskapai penerbangan.

Hal ini karena sejak awal kapasitasnya dibuat kecil dan biaya operasionalnya disesuaikan dengan kapasitasnya, tapi tetap mempunyai daya jelajah yang jauh karena memakai mesin jet, bukan propeller atau baling-baling.

Maka pesawat ini akan efisien terutama untuk menerbangi rute dengan pasar yang tidak terlalu besar. Begitu juga akan efisien untuk mengangkut penumpang yang tidak bisa dilayani oleh maskapai yang memakai pesawat lebih besar.

Gambarannya begini. Pesawat ini mempunyai daya jelajah hingga sekitar 3.000 km. Maka dia bisa terbang langsung dari Jakarta menuju Banda Aceh, Jakarta ke Kupang, atau Jakarta ke Tarakan. Rute-rute itu pasarnya tidak terlalu besar.

Jika diterbangi dengan B737 NG atau A320, tingkat keterisian penumpang (load factor) mungkin hanya 40-50 persen. Tapi kalau memakai kelas ARJ 21, load factor-nya mungkin saja bisa menjadi 80-90 persen.

Begitu juga untuk ke rute-rute padat seperti Jakarta- Surabaya atau Jakarta – Medan, misalnya saja pasarnya 700 penumpang.

Dia akan efisien jika diterbangi dengan 3 -4 kali pesawat B7373NG atau A320. Akan tersisa 70-100 penumpang yang tidak akan terangkut karena load factor-nya hanya akan mencapai 50 persen.

Namun jumlah penumpang ini akan dapat diangkut secara efisien oleh kelas ARJ 21 karena kapasitasnya pas sehingga load factor-nya bisa mencapai 80-100 persen dan menguntungkan.

Semakin tinggi load factor, semakin menguntungkan bagi maskapai. Load factor yang tinggi dengan biaya operasional yang lebih rendah, bisa memengaruhi kebijakan maskapai untuk menurunkan harga tiket.

Itulah alasan secara teori, kenapa pesawat sekelas ARJ 21 ternyata juga diperhitungkan dan bahkan banyak pabrik pesawat besar yang memproduksinya.

Boeing pernah memproduksi B737-500 yang sampai sekarang masih dioperasikan, salah satunya oleh Sriwijaya Air Group.

Airbus punya pesawat kelas A220. Rusia memproduksi Sukhoi Super Jet 100. Indonesia melalui PTDI juga pernah menggagas pembuatan pesawat N2130.

Bagaimana masa depannya?

Terkait ARJ 21, sebenarnya TransNusa bukan maskapai pertama di Indonesia yang mengincar untuk mengoperasikannya.

Pada tahun 2012, maskapai Merpati Nusantara sebenarnya sudah menandatangani MoU untuk mendatangkan 40 pesawat ini. Sayangnya Merpati keburu bangkrut.

TransNusa rencananya akan mendatangkan 30 pesawat ini secara bertahap. Setelah satu pesawat yang sampai kemarin, satu pesawat lagi saat ini sudah siap untuk dikirim ke Indonesia.

Menurut salah satu pemilik TransNusa Leo Budiman, saat ini sudah dipikirkan untuk membuat bengkel perawatan (MRO) dan sekolah pilot untuk pesawat jenis ini sambil menunggu semua pesawat sudah terkirim. Jika demikian, maka akan menambah semarak bisnis penerbangan di tanah air.

Tentu saja semua itu juga perlu dukungan dari semua stakeholder penerbangan nasional. Misalnya terkait slot penerbangan, inspeksi kelaikudaraan dan sebagainya.

Mengingat saat ini jumlah pesawat di Indonesia berkurang dampak pandemi Covid-19, sementara jumlah permintaan penumpang pesawat semakin tinggi.

Sebaiknya semua proses tersebut bisa dipercepat, namun tentu saja tetap tidak boleh melanggar aturan yang berlaku.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com