DALAM acara webinar Pertamina Online Learning and Sharing (POLS) dengan topik “Dampak dan Peran Pekerja dalam Menghadapi Ancaman Resesi” minggu lalu, saya banyak mendapat pertanyaan bagaimana sikap pekerja perusahaan, seperti Pertamina dan sebagai rumah tangga menghadapi krisis 2023.
Acara secara online yang dihadiri lebih dari 600 pekerja Pertamina seluruh Indonesia berjalan dalam lebih dari 2 jam dan sekitar 25 pekerja sangat antusias bertanya.
Dalam webinar tersebut, saya mulai dari cerita apa penyebab resesi global. Secara umum, penyebabnya adalah pertama, dampak berkelanjutan dari pendemi Covid-19 yang menyebabkan belum pulihnya distribusi pasokan supply secara global.
Kedua, perang Rusia-Ukraina yang berdampak pada gangguan pasokan gas ke Eropa. Beberapa negara Eropa mengalami krisis dampak perang berkepanjangan ini.
Ketiga, keterlambatan pertumbuan ekonomi China karena kebijakan zero Covid-19.
Keempat, kebijakan suku bunga tinggi di hampir semua negara sebagai respons dari inflasi global.
Kelima, adanya krisis pangan dan climate change.
Secara makro, Indonesia telah melakukan antisipasi yang cukup awal menghadapi krisis resesi global, di antaranya:
Pertama, menjaga stabilitas makro ekonomi (inflasi, suku bunga, dan nilai tukar), sektor keuangan dan keberlanjutan kebijakan fiskal.
Kedua, melanjutkan momentum pertumbuhan ekonomi dengan basis ekonomi yang kuat melalui digitalisasi, nilai tambah, dan UKM.
Ketiga, memperkuat kelembagaan pencegahan dan penanganan risiko (kesehatan, bencana, ekonomi, keuangan, investasi, dan ketahanan sosial)
Keempat, melanjutkan kerjasama internasional melalui forum ASEAN, APEC, dan G20.
Kita juga sudah punya modal pencapaian ekonomi yang memuaskan tahun 2022, yakni proses pemulihan ekonomi yang kuat tahun 2022, tekanan inflasi 2023 lebih rendah.
Selain itu, pelaksanaan UU P2SK untuk memperkuat ketahanan sektor keuangan dan tersediaanya surplus pembiayan anggaran atau Bantalan SILPA pada realisasi APBN 2022.
Di samping itu, Indonesia tetap memiliki pengelolaan utang pemerintah yang pruden. Debt Carrying Capacity dikategorikan kuat. Indonesia dinilai memiliki kinerja dan kebijakan ekonomi makro yang mampu mengelola akumulasi utang yang lebih besar.