Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soeharto Pernah Bekukan Bea Cukai yang Jadi Sarang Pungli pada 1985

Kompas.com - Diperbarui 24/03/2023, 18:07 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Ditjen Bea Cukai yang berada di bawah Kementerian Keuangan tengah jadi bulan-bulanan kritik sejak beberapa pekan terakhir.

Sejak mencuatnya kasus di Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai ikut kena getahnya. Gaya hidup mewah para pejabat Bea Cukai dan keluarganya juga jadi sorotan publik.

Sejumlah pejabat eselon Bea Cukai juga turut dipanggil Inspektorat Kemenkeu hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan klarifikasi soal asal muasal harta kekayaannya.

Belakangan, Menko Polhukam Mahfud MD juga sempat menyatakan ada transaksi mencurigakan hingga Rp 300 triliun yang didominasi dari rekening milik pegawai Pajak dan Bea Cukai.

Terbaru, institusi Bea Cukai kembali banjir kritik usai salah seorang pegawainya yang bernama Widy Heriyanto menghujat warga pembayar pajak dengan sebutan babu dan banyak bacot di lini masa Twitter.

Baca juga: Kronologi PNS Bea Cukai Sebut Warga Babu dan Banyak Bacot

Bea Cukai dibekukan Soeharto

Dikutip dari artikel yang ditulis di laman resmi Media Keuangan (MK+) Kementerian Keuangan, institusi Bea Cukai pernah dibekukan pemerintah Orde Baru karena menjadi sarang korupsi yang sedemikian parah.

Presiden Soeharto kala itu sangat gerah dengan praktik korupsi yang sangat marak di Bea Cukai. Meski tak sampai dibubarkan, Soeharto memutuskan membekukan institusi ini.

Di era Orba, praktik korupsi, terutama pungutan liar (pungli), begitu lekat dengan pegawai Bea Cukai. Mereka melakukan kongkalikong dengan pengusaha ekspor impor.

Banyak pengusaha menyuap pegawai Bea Cukai untuk memuluskan penyelundupan. Praktik ini kerap disebut dengan "Uang Damai".

Pada 6 Juni 1968, Menteri Keuangan dijabat oleh Ali Wardhana. Kala itu, terjadi banyak penyelewengan dan korupsi di Bea dan Cukai.

Baca juga: Punya Rumah Megah di Cibubur, Berapa Gaji Kepala Bea Cukai Makassar?

Menurut jurnalis Mochtar Lubis, praktik-praktik penyelundupan dan penyelewengan di Bea Cukai terjadi karena terjalin kongkalikong antara Bea Cukai dan importir penyelundup.

“Dan kerja Bea Cukai hanya mengadakan ‘denda damai’ belaka yang memuaskan semua pihak yang bersangkutan. Menteri Keuangan patut memeriksa praktik-praktik ‘denda damai’ ini, yang kelihatan telah menjadi satu pola kerja yang teratur,” tulis Mochtar di harian Indonesia Raya, 22 Juli 1969, termuat dalam Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya.

Menurut Mochtar, pimpinan lama harus diganti dengan orang baru yang tak terlibat dalam jaring-jaring vested interest (kepentingan pribadi) yang telah berakar lama antara Bea Cukai dan importir-penyelundup.

Selain itu, perubahan bukan hanya dari sisi kelembagaan, tetapi juga personalia pelaksananya. Namun nyatanya, keadaan demikian bertahan cukup lama.

Baca juga: Ini Nominal Gaji PNS Bea Cukai dan Aneka Tunjangannya

Ketika Ali Wardhana mengunjungi kantor Bea dan Cukai di Tanjung Priok pada Mei 1971, dia melihat para petugas tengah bersantai. Dia juga mendapati kabar adanya penyelundupan ratusan ribu baterai merek terkenal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sudah Bisa Dibeli, Ini Besaran Kupon Sukuk Tabungan ST012

Sudah Bisa Dibeli, Ini Besaran Kupon Sukuk Tabungan ST012

Whats New
Revisi Target Penyaluran Kredit, BTN Antisipasi Era Suku Bunga Tinggi

Revisi Target Penyaluran Kredit, BTN Antisipasi Era Suku Bunga Tinggi

Whats New
Mampukah IHSG Bangkit Hari Ini ? Simak Anlisis dan Rekomendasi Sahamnya

Mampukah IHSG Bangkit Hari Ini ? Simak Anlisis dan Rekomendasi Sahamnya

Whats New
Kekhawatiran Inflasi Mencuat, Wall Street Berakhir di Zona Merah

Kekhawatiran Inflasi Mencuat, Wall Street Berakhir di Zona Merah

Whats New
Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km/Jam, Perjalanan Terlambat

Whats New
BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

Whats New
[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

Whats New
KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat Gara-gara Hujan Lebat

Whats New
Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Earn Smart
Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Whats New
Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Prudential Laporkan Premi Baru Tumbuh 15 Persen pada 2023

Whats New
Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Bulog Siap Pasok Kebutuhan Pangan di IKN

Whats New
Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Pintu Perkuat Ekosistem Ethereum di Infonesia

Whats New
BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Syariah Cetak Laba Bersih Rp 164,1 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Pegadaian Bukukan Laba Bersih Rp 1,4 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com