Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Mengapa Pembangunan Ekonomi Harus Ramah Lingkungan?

Kompas.com - 11/04/2023, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Mengapa? Karena pemerintahan negara bagian New York punya kebijakan prokonservasi yang layak diacungi jempol. Salah satunya dengan menjadikan Governor Island (Pulau Gubernur) sebagai pusat pembibitan dan pelestarian tiram.

Setiap tahun, jutaan tiram dilepas ke lautan. Hewan ini menjadi hewan pembersih lautan dan instrumen pelestarian biota lautan New York di satu sisi, tapi juga menjadi awal dari sumber penghidupan para nelayan di lautan Negara Bagian New York di sisi lain.

Mengapa? Sederhana saja, di mana ada tiram, di situlah ikan-ikan nyaman untuk tinggal dan berkembang biak karena ekosistemnya sangat bersahabat.

Selain soal Tiram, Amerika Serikat juga punya kebijakan prokonservasi lain yang juga sangat layak diacungi jempol, yakni pembatasan penangkapan Ikan Tuna Sirip Biru karena populasinya yang sudah mulai sedikit.

Dengan kebijakan itu, supply dan demand Tuna disesuaikan, tidak boleh menangkap lebih dari kuota nasional yang ditetapkan setiap tahunnya.

Akibatnya, secara teknis, para nelayan tuna hanya boleh menangkap satu ekor ikan tuna (sirip biru) dalam sehari.

Edukasi dan sosialisasi berlangsung secara baik dan konsisten sampai menjadi konsensus publik bahwa populasi Tuna Sirip Biru memang harus dikendalikan secara baik.

Bahkan nelayan Amerika Serikat sangat mendukung karena sekalipun hidup mereka tergantung pada tangkapan Tuna Sirip Biru, tapi sustainability dan regenerasi ikan tuna sirip biru dianggap jauh lebih signifikan ketimbang pertimbangan teknis ekonomi semata.

Akhirnya, keputusan teknis nelayan adalah bahwa setiap hari mereka harus mendapatkan satu ikan tuna dengan ukuran yang cukup besar, kisaran 200-500 pon (1 pon harganya kisaran 10-20 dollar AS, tergantung kondisi daging dan lemak, diuji langsung di pelabuhan), agar tetap bisa bertahan di lautan untuk hari-hari selanjutnya di satu sisi dan bisa mendapatkan penghasilan yang lebih dari cukup di sisi lain.

Hasilnya untuk biaya BBM kapal agar tetap bisa melaut lagi dan untuk pendapatan pemilik kapal dan kru, setiap hari.

Otomatis, untuk mendapat tangkapan ukuran kakap, kapalnya harus modern, dilengkapi dengan teknologi radar ikan dan alat pancing yang mumpuni.

Artinya, pemerintah harus mendukung dan mendorong lahirnya inovasi teknologi kelautan yang ramah lingkungan, inovasi pembiayaan untuk nelayan agar bisa mendapatkan kapal-kapal modern tersebut, dan inovasi supply dan demand agar pembatasan tangkapan Tuna Sirip Biru tetap layak secara ekonomi bagi kehidupan nelayan.

Dengan asumsi sehari dapat satu ekor dengan berat median 250 pon dan harga median 15 dollar AS, maka hasil yang akan didapat bisa sekitar 3750 dollar AS (dengan rate Rp 15000 per dollar AS, hasilnya sekitar Rp 56 jutaan).

Di negara yang taraf hidup dan pendapatan perkapita tinggi seperti Amerika, angka tersebut terbilang cukup baik, yang berarti kehidupan nelayan di sana juga sangat baik.

Begitulah kompromi antara konservasi dan kepentingan ekonomi terjadi. Dan karena itu, kita sebagai negara yang mengidam-idamkan kemajuan harus mulai banyak belajar dari negara lain yang telah berhasil berdamai dengan alam, tapi tetap bisa menjadi negara maju.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com