Sedangkan cost index dapat dilakukan dengan mengutamakan aspek komersial secara keseluruhan terhadap operasional pesawat.
Dalam suatu operasional pesawat, bisa saja dianggap boros dalam penggunaan bahan bakar, namun di sisi lain keuntungan secara komersialnya lebih besar karena utilisisasi pesawat dapat dilakukan secara maksimal.
Dengan demikian, keuntungannya dapat menutupi biaya penggunaan bahan bakarnya.
Jika fuel conservation dan cost index ini diterapkan, maskapai bisa lebih efisien dan menghemat biaya 1-3 persen dalam setiap penerbangan.
Namun tentu saja untuk dapat melakukan dua hal itu, maskapai harus melakukan training bagi karyawannya agar memahami dan dapat menerapkannya secara konsisten.
Sementara itu, Ilham Akbar Habibie memberikan masukan secara lebih lanjut terkait penggunaan bahan bakar untuk pesawat.
Menurut beliau, avtur yang merupakan bahan bakar fosil pasti akan habis karena dipakai terus-menerus. Dengan demikian, harganya akan cenderung naik.
Perlu dipikirkan lebih lanjut untuk menggantikan avtur dengan bahan bakar non-fosil yang dapat diperbarui atau sustainable aviation fuel (SAF) seperti misalnya penggunaan energi listrik yang dihasilkan dari bahan bakar non-fosil seperti dari tenaga matahari, angin, angin dan sebagainya.
Penggunaan SAF selain dapat mengefisienkan operasional pesawat juga dapat memperpanjang umur mesin pesawat sehingga lebih menguntungkan.
Penggunaan SAF memang tidak bisa serta-merta, namun ada beberapa tahapan yang harus dijalani. Langkah pertama tentu melakukan berbagai penelitian keterkaitan SAF dengan operasional pesawat.
Untuk itu diperlukan kerjasama dengan para pabrikan pesawat seperti Boeing, Airbus bahkan dengan PTDI Indonesia.
Kemudian untuk mulai operasionalnya, juga tidak bisa langsung menggunakan SAF secara penuh. Harus dilakukan bertahap secara hybrida atau campuran dulu dengan avtur.
Misalnya saat proses taxiing dan cruising dapat menggunakan full electric, sedangkan untuk fase-fase krusial seperti take off dan climbing (mendarat) masih dengan avtur. Nanti jika dirasa sudah mantap teknologinya, baru dapat dilakukan secara full dengan SAF.
Saat ini SAF secara hybrid sudah mulai digunakan untuk pesawat jenis baling-baling seperti Cessna Caravan. Bukan tidak mungkin dalam waktu dekat juga akan digunakan oleh pesawat mesin jet.
Oleh karena itu, ada baiknya penerbangan Indonesia juga mulai mengantisipasinya dengan ikut berpartisipasi dalam pengembangan pesawat bermesin listrik ini.
Bersamaan dengan penggunaan SAF, beliau mengatakan bahwa perlu dilakukan digitalisasi dengan menggunakan kecerdasan artifisial (artificial intelligent/AI) untuk membuat operasionalisasi dari pesawat menjadi efisien.
AI dapat digunakan, misalnya, untuk mengoperasikan flight pad, perawatan pesawat dan sebagainya.
Hal lain yang menjadi kendala dalam penerbangan nasional, yaitu terkait pengadaan sparepart pesawat. Seperti diketahui, pesawat-pesawat yang digunakan maskapai Indonesia saat ini hampir semuanya diproduksi pabrik luar negeri.
Tentu saja sparepart-nya juga sebagian besar diproduksi oleh pabrik luar negeri sehingga maskapai harus melakukan proses impor untuk mendapatkan suku cadang pesawat.
Terkait importasi sparepart sebenarnya tidak menjadi persoalan jika prosesnya dapat berjalan dengan cepat dengan biaya yang murah. Permasalahan timbul karena Indonesia memberlakukan kebijakan peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN).
Dengan kebijakan ini, secara garis besar, industri-industri di Indonesia diharuskan menggunakan produk termasuk suku cadangnya dari produksi dalam negeri.
Dengan P3DN diharapkan dapat mendorong pertumbuhan industri, penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Terdapat peraturan terkait larangan terbatas (Lartas) importasi bagi barang-barang yang dapat diproduksi di dalam negeri.
Artinya pihak industri dalam negeri tidak dapat mengimpor barang-barang yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Kalau pun tetap akan impor, maka prosesnya panjang dan dikenakan bea masuk yang besar.
Di dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) tercatat sebanyak 10.829 Kode HS (Harmonized System), dan sekitar 5.299 (49 persen) di antaranya adalah merupakan barang larangan terbatas (Lartas).