Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Denon Prawiraatmadja
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perhubungan

Mengubah Tantangan Jadi Peluang Usaha

Kompas.com - 12/04/2023, 13:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA acara rapat koordinasi yang diadakan oleh INACA pada Maret 2023, Ketua Air Power Club Indonesia yang sekaligus Dewan Pakar INACA, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim mengatakan bahwa saat ini terjadi sifting (perpindahan) global economic growth dari Atlantic ke Indian Pacific Ocean.

Trend global economic growth sekarang adalah Asian Century atau bisa dikatakan bahwa Asia akan menjadi pemimpin pertumbuhan ekonomi dunia.

Beliau mengatakan, salah satu sektor yang akan menjadi penentu adalah penerbangan. Indonesia dengan posisi strategisnya merupakan aktor penting dalam penerbangan di Asia Pasifik.

Untuk itulah penerbangan nasional harus terus ditingkatkan dan dikembangkan agar benar-benar menjadi aktor penentu dalam mengembangkan perekonomian nasional pada Asian Century tersebut.

Saya sependapat dengan apa yang dikatakan beliau. Salah satunya bahwa kita semua di stakeholder penerbangan nasional, baik itu pemerintah sebagai regulator, para operator bidang penerbangan dan masyarakat harus bersatu.

Perlu dibuat working group yang beranggotakan para stakeholder tersebut untuk menginventarisasi masalah utama di penerbangan nasional dan mencari solusinya secara komprehensif.

Solusinya diharapkan bukan hanya berhenti pada seminar, FGD atau acara-acara sejenis, dan setelah acara selesai, hasilnya dilupakan. Namun hasil seminar, FGD dan semacamnya itu juga harus dilaksanakan dan dievaluasi secara ketat.

Working group harus berjalan secara berkelanjutan sehingga masalah-masalah yang ada di penerbangan nasional benar-benar dapat diatasi.

Hal senada juga disampaikan oleh Dewan Pakar INACA lainnya, Prof. Wihana Kirana Jaya yang menyoroti perlunya kolaborasi antarstakeholder.

Bukan hanya stakeholder penerbangan, tapi diperluas dalam kerangka Indonesia Incorporated. Pasalnya, permasalahan di dunia penerbangan nasional pada kenyataannya juga berkaitan dengan pihak lain.

Permasalahan-permasalahan tersebut, misalnya, terkait dengan bahan bakar (avtur), pengadaan pesawat dan sparepart-nya, operasional penerbangan.

Tak kalah pentingnya adalah terkait kebijakan fiskal nasional yang kemudian memengaruhi nilai tukar mata uang Indonesia terhadap mata uang asing, terutama dollar AS yang selama ini menjadi acuan dalam perdagangan internasional.

Industri penerbangan tidak bisa terlepas dari perdagangan Internasional karena industrinya bersifat global. Pabrik pesawat dan sparepart-nya sebagian besar dari luar negeri. Demikian juga pasar penumpang penerbangan juga sebagian berasal dari luar negeri.

Kendala Avtur

Isu utama dalam penerbangan nasional tidak bisa dilepaskan dari isu bahan bakar avtur. Maskapai menganggap harga avtur di dalam negeri masih lebih mahal dibanding di luar negeri, walaupun penjualannya sudah mengikuti mekanisme pasar secara internasional.

Avtur ini sangat krusial karena mempengaruhi 30-40 persen dari total biaya operasional penerbangan.

Artinya kalau harga avtur mahal, maka akan langsung berpengaruh pada biaya operasional dan ujungnya akan berpengaruh pada harga tiket yang dijual maskapai.

Dengan demikian, diperlukan harga avtur yang murah kalau ingin tiket pesawat lebih murah sehingga jumlah penumpang pesawat juga akan bertambah.

Namun membuat harga avtur murah juga bukan perkara mudah. Pertamina sebagai pemasok avtur di penerbangan nasional mempunyai hitung-hitungan tersendiri untuk menentukan harga avtur.

Isu avtur ini selalu mengemuka setiap kita membicarakan permasalahan penerbangan nasional. Dan pembicaraannya hanya seputar itu-itu saja, yaitu bagaimana membuat harga avtur menjadi lebih murah.

Namun sayangnya hingga saat ini tidak ada terobosan yang berarti untuk memecahkan masalah tersebut.

Untuk itu, menarik disimak apa yang disampaikan oleh Dewan Pakar INACA, yaitu Soerjanto Tjahjono dan Ilham Akbar Habibie.

Soerjanto Tjahjono memberikan masukan terkait fuel conservation dan cost index untuk dapat menyeimbangkan aspek operasional dan komersial, terutama dari sisi avtur dan tarif.

Fuel conservation dan cost index ini terkait dengan bahan bakar dan operasional penerbangan.

Secara garis besar, penggunaan bahan bakar dalam operasional penerbangan harus mempertimbangkan sisi komersial, namun tetap mengacu pada aturan-aturan keselamatan penerbangan.

Contoh penerapan fuel conservation, misalnya, adalah pengaturan center of gravity pada saat pesawat akan beroperasi.

Sedangkan cost index dapat dilakukan dengan mengutamakan aspek komersial secara keseluruhan terhadap operasional pesawat.

Dalam suatu operasional pesawat, bisa saja dianggap boros dalam penggunaan bahan bakar, namun di sisi lain keuntungan secara komersialnya lebih besar karena utilisisasi pesawat dapat dilakukan secara maksimal.

Dengan demikian, keuntungannya dapat menutupi biaya penggunaan bahan bakarnya.

Jika fuel conservation dan cost index ini diterapkan, maskapai bisa lebih efisien dan menghemat biaya 1-3 persen dalam setiap penerbangan.

Namun tentu saja untuk dapat melakukan dua hal itu, maskapai harus melakukan training bagi karyawannya agar memahami dan dapat menerapkannya secara konsisten.

Sementara itu, Ilham Akbar Habibie memberikan masukan secara lebih lanjut terkait penggunaan bahan bakar untuk pesawat.

Menurut beliau, avtur yang merupakan bahan bakar fosil pasti akan habis karena dipakai terus-menerus. Dengan demikian, harganya akan cenderung naik.

Perlu dipikirkan lebih lanjut untuk menggantikan avtur dengan bahan bakar non-fosil yang dapat diperbarui atau sustainable aviation fuel (SAF) seperti misalnya penggunaan energi listrik yang dihasilkan dari bahan bakar non-fosil seperti dari tenaga matahari, angin, angin dan sebagainya.

Penggunaan SAF selain dapat mengefisienkan operasional pesawat juga dapat memperpanjang umur mesin pesawat sehingga lebih menguntungkan.

Penggunaan SAF memang tidak bisa serta-merta, namun ada beberapa tahapan yang harus dijalani. Langkah pertama tentu melakukan berbagai penelitian keterkaitan SAF dengan operasional pesawat.

Untuk itu diperlukan kerjasama dengan para pabrikan pesawat seperti Boeing, Airbus bahkan dengan PTDI Indonesia.

Kemudian untuk mulai operasionalnya, juga tidak bisa langsung menggunakan SAF secara penuh. Harus dilakukan bertahap secara hybrida atau campuran dulu dengan avtur.

Misalnya saat proses taxiing dan cruising dapat menggunakan full electric, sedangkan untuk fase-fase krusial seperti take off dan climbing (mendarat) masih dengan avtur. Nanti jika dirasa sudah mantap teknologinya, baru dapat dilakukan secara full dengan SAF.

Saat ini SAF secara hybrid sudah mulai digunakan untuk pesawat jenis baling-baling seperti Cessna Caravan. Bukan tidak mungkin dalam waktu dekat juga akan digunakan oleh pesawat mesin jet.

Oleh karena itu, ada baiknya penerbangan Indonesia juga mulai mengantisipasinya dengan ikut berpartisipasi dalam pengembangan pesawat bermesin listrik ini.

Bersamaan dengan penggunaan SAF, beliau mengatakan bahwa perlu dilakukan digitalisasi dengan menggunakan kecerdasan artifisial (artificial intelligent/AI) untuk membuat operasionalisasi dari pesawat menjadi efisien.

AI dapat digunakan, misalnya, untuk mengoperasikan flight pad, perawatan pesawat dan sebagainya.

Sparepart

Hal lain yang menjadi kendala dalam penerbangan nasional, yaitu terkait pengadaan sparepart pesawat. Seperti diketahui, pesawat-pesawat yang digunakan maskapai Indonesia saat ini hampir semuanya diproduksi pabrik luar negeri.

Tentu saja sparepart-nya juga sebagian besar diproduksi oleh pabrik luar negeri sehingga maskapai harus melakukan proses impor untuk mendapatkan suku cadang pesawat.

Terkait importasi sparepart sebenarnya tidak menjadi persoalan jika prosesnya dapat berjalan dengan cepat dengan biaya yang murah. Permasalahan timbul karena Indonesia memberlakukan kebijakan peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN).

Dengan kebijakan ini, secara garis besar, industri-industri di Indonesia diharuskan menggunakan produk termasuk suku cadangnya dari produksi dalam negeri.

Dengan P3DN diharapkan dapat mendorong pertumbuhan industri, penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Terdapat peraturan terkait larangan terbatas (Lartas) importasi bagi barang-barang yang dapat diproduksi di dalam negeri.

Artinya pihak industri dalam negeri tidak dapat mengimpor barang-barang yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Kalau pun tetap akan impor, maka prosesnya panjang dan dikenakan bea masuk yang besar.

Di dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) tercatat sebanyak 10.829 Kode HS (Harmonized System), dan sekitar 5.299 (49 persen) di antaranya adalah merupakan barang larangan terbatas (Lartas).

Sparepart pesawat dikaitkan dengan 312 Kode HS, di mana 117 Kode HS yang terdiri dari 11.667 part numbers, diklasifikasikan bea masuk 0 persen atau tidak dikenakan bea.

Namun demikian, sebanyak 195 Kode HS yang terdiri dari 22.349 part numbers, atau sebagian besar sparepart masih dikenakan bea masuk.

Hal ini tentu sangat menyulitkan bagi industri penerbangan tanah air. Misalnya, untuk impor baut atau kaca kokpit, akan dikenakan bea masuk karena barang-barang tersebut dianggap dapat diproduksi di Indonesia. Dengan demikian barang-barang tersebut dianggap sebagai barang Lartas.

Padahal baut dan kaca kokpit pesawat itu bukan produk yang sembarangan karena terkait dengan keselamatan operasional pesawat tersebut.

Untuk itu baut dan kaca kokpit harus melalui tahap sertifikasi dari pabrik pesawat sebelum bisa dijual bebas.

Industri di Indonesia memang sudah bisa memproduksi barang-barang sejenis baut dan barang-barang dari kaca. Namun permasalahannya baut dan kaca itu belum tersertifikasi oleh pabrik pesawat atau lembaga yang ditunjuk resmi.

Dengan demikian, barang-barang tersebut tidak bisa bahkan dilarang dipasang di pesawat karena belum terjamin keselamatannya.

Tidak hanya itu, jika tetap dipasang, maka pihak asuransi tidak akan mau mengganti rugi bila terjadi kejadian kecelakaan karena maskapai dianggap secara sengaja tidak mematuhi unsur keselamatan penerbangan.

Hal ini yang menyebabkan maskapai tetap harus mengimpor sparepart-nya walaupun terkena dalam ketentuan Lartas. Tentu saja prosesnya akan lama dan biayanya mahal sehingga menambah biaya dan tidak menguntungkan bagi maskapai penerbangan.

Peluang usaha

Masih banyak permasalahan-permasalahan di dalam industri penerbangan nasional, termasuk dalam pengaturan bisnis operasional, pelayanan pada penumpang dan lain sebagainya.

Permasalahan-permasalahan tersebut, sedikit banyak akan memengaruhi laju perkembangan industri penerbangan nasional.

Namun kita seharusnya tidak perlu berkecil hati dengan permaslahan-permasalahan itu. Bahkan jika kita cerdik, teliti dan berpikir terbuka, kita dapat menangkap bahwa di balik permasalahan-permasalahan tersebut terdapat banyak peluang yang dapat kita ambil.

Misalnya, terkait penggunaan energi listrik bagi pesawat dan industri penerbangan. Kita dapat berpartisipasi dengan mengembangkan industri baterai listrik yang akan digunakan. Hal ini karena Indonesia merupakan produsen Nikel terbesar di dunia.

Nikel adalah bahan baku utama dari baterai yang selama ini banyak digunakan oleh berbagai produk mulai dari telepon seluler, mobil listrik dan tentu saja nantinya pesawat terbang.

Pemerintah saat ini sudah mengeluarkan kebijakan untuk tidak mengekpor Nikel sebagai bahan mentah, tetapi harus diolah lebih dahulu. Tentunya ini peluang bagi kita untuk mengolah Nikel menjadi baterai pesawat dan kemudian mengekspornya.

Begitu juga terkait sparepart pesawat. Kita bisa mendorong industri nasional untuk dapat memproduksi suku cadang pesawat. Dan agar dapat dipakai untuk industri aviasi, maka kita dapat bekerjasama dengan pabrik pesawat dalam hal sertifikasi sparepart tersebut.

Kesempatan ini terbuka lebar mengingat Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dunia aviasi. Pabrik pesawat Boeing memprediski pada 2039, pasar penerbangan Indonesia akan menjadi yang terbesar keempat di dunia, di bawah China, Amerika Serikat, dan India.

Tentu saja ini merupakan kesempatan untuk dapat lebih membangun dan mengembangkan industri aviasi kita.

Bahkan kita juga dapat mendorong industri pesawat terbang nasional, yaitu PT. Dirgantara Indonesia (PTDI) untuk aktif memproduksi pesawat yang dibutuhkan industri penerbangan.

Sehingga untuk masalah sparepart dan sertifikasinya, dapat kita produksi sendiri, tidak perlu impor.

Untuk itu, seperti yang dikatakan oleh Dewan Pakar INACA Chappy Hakin dan Prof Wihana Kirana Jaya, semua stakeholder penerbangan nasional terlebih dahulu harus bersatu dalam Indonesia Incorporated.

Jangan terlalu larut dalam permasalahan yang ada saat ini, namun harus selalu menatap ke depan, mencari solusi.

Perlu dibuat roadmap dan working group penerbangan nasional yang beranggotakan berbagai unsur dari regulator, operator dan masyarakat yang dapat bekerja secara komprehensif dan berkesinambungan.

Dengan demikian kita dapat mengubah permasalahan dan tantangan dalam penerbangan nasional itu menjadi peluang usaha untuk lebih memajukan dan mengembangkan penerbangan nasional dalam rangka menyambut Indonesia Emas 2045.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Capai 12,5 Persen, Pertumbuhan Ekonomi Dua Wilayah Ini Tertinggi di Indonesia

Capai 12,5 Persen, Pertumbuhan Ekonomi Dua Wilayah Ini Tertinggi di Indonesia

Whats New
Per Februari 2024, Jumlah Pengangguran RI Turun Jadi 7,20 Juta Orang

Per Februari 2024, Jumlah Pengangguran RI Turun Jadi 7,20 Juta Orang

Whats New
Pembangunan Infrastruktur di Australia Jadi Peluang untuk Produsen Baja Lapis RI

Pembangunan Infrastruktur di Australia Jadi Peluang untuk Produsen Baja Lapis RI

Whats New
KAI Ubah Pola Operasi, 21 Kereta Berhenti di Stasiun Jatinegara

KAI Ubah Pola Operasi, 21 Kereta Berhenti di Stasiun Jatinegara

Whats New
Kejar Target 1 Juta Barrel Minyak, Industri Hulu Migas Hadapi Keterbatasan Rig

Kejar Target 1 Juta Barrel Minyak, Industri Hulu Migas Hadapi Keterbatasan Rig

Whats New
PGN Suplai Gas Bumi untuk Smelter Tembaga Freeport

PGN Suplai Gas Bumi untuk Smelter Tembaga Freeport

Whats New
KKP Kembangkan Jejaring Perbenihan Nasional Ikan Nila

KKP Kembangkan Jejaring Perbenihan Nasional Ikan Nila

Whats New
Kemenhub Evaluasi Pola Pengasuhan di STIP Jakarta

Kemenhub Evaluasi Pola Pengasuhan di STIP Jakarta

Whats New
Konsumsi Rumah Tangga Kembali Jadi Penopang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada Kuartal I-2024

Konsumsi Rumah Tangga Kembali Jadi Penopang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada Kuartal I-2024

Whats New
Frekuensi Perjalanan LRT Jabodebek Ditambah, Waktu Tunggu Lebih Cepat

Frekuensi Perjalanan LRT Jabodebek Ditambah, Waktu Tunggu Lebih Cepat

Whats New
Kepala Bappenas Sebut Pembangunan IKN Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas Sebut Pembangunan IKN Capai 80,82 Persen

Whats New
Simak Kurs Rupiah Hari Ini di BCA hingga BNI

Simak Kurs Rupiah Hari Ini di BCA hingga BNI

Spend Smart
Pabrik Sepatu Bata di Purwakarta Tutup, Bagaimana Prospek Sahamnya?

Pabrik Sepatu Bata di Purwakarta Tutup, Bagaimana Prospek Sahamnya?

Earn Smart
Ada Regulasi Ketransmigrasian Baru, Kemendes Sebut Sebagai Modal Pengembangan Transmigrasi Modern

Ada Regulasi Ketransmigrasian Baru, Kemendes Sebut Sebagai Modal Pengembangan Transmigrasi Modern

Whats New
Bagaimana Rekomendasi IHSG Pekan Ini? Simak Aneka Sentimen yang Memengaruhinya

Bagaimana Rekomendasi IHSG Pekan Ini? Simak Aneka Sentimen yang Memengaruhinya

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com