Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Noveri Maulana
Konsultan Bisnis dan Dosen di Sekolah Tinggi Manajemen PPM

Noveri dikenal sebagai Dosen Ilmu Manajemen dan Konsultan Bisnis Stratejik pada berbagai korporasi nasional.

"Great Resignation" dan Kegagalan "Employer Branding" Korporasi

Kompas.com - 29/04/2023, 13:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PASCAPANDEMI Covid-19, fenomena great resignation atau pengunduran diri besar-besaran mulai banyak terjadi di beberapa korporasi dunia.

Bahkan, fenomena ini jadi perbincangan hangat di berbagai media di Amerika, hingga merembet ke belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia.

Setidaknya berdasarkan pantauan artikel berita di media massa, topik great resignation mulai muncul kembali pada kwartal ketiga tahun 2022, tak lama setelah topik quiet quitting viral kembali di berbagai kanal media sosial pada pertengahan tahun yang sama.

Bahkan, Kompas juga pernah membahas fenomena ini pada September 2022. Dalam ulasan artikel itu, Kompas menyoroti perubahan perilaku para pekerja yang sebelumnya menerapkan work from home (WFH) namun harus kembali work from office (WFO) dan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk perjalanan pulang pergi ke tempat kerja.

Hal ini disinyalir sebagai salah satu alasan yang bisa memicu great resignation di kalangan pekerja. Persoalan kesehatan mental dan stres berat menjadi pemicu untuk melakukan pengunduran diri berjamaah.

Tak dapat dipungkiri bahwa situasi bisnis selepas pandemi memang mengalami goncangan dahsyat. Wabah Covid-19 tidak hanya menyerang sektor kesehatan, tetapi juga sektor ekonomi dan turunannya.

Minat pasar jadi terganggu sehingga memaksa banyak korporasi untuk mengatur strategi kembali. Alhasil, beberapa program efisiensi harus diterapkan. Karyawan seringkali menjadi korban atas efisiensi yang dilakukan.

Tak hanya pemotongan gaji dan imbal jasa, kehilangan berbagai benefit dan fasilitas perusahaan juga menjadi alasan tingkat stres karyawan semakin menekan.

Apakah di Indonesia juga terjadi badai great resignation? Belum ada data signifikan yang mengindikasikan adanya great resignation terjadi secara masif di Indonesia.

Namun, tak dapat dipungkiri, pengunduran diri dan pemutusan hubungan kerja memang banyak terjadi selepas pandemi. Lantas, apakah fenomena ini harus disikapi secara serius oleh perusahaan?

Bagaimana pun, pengunduran diri karyawan akan berdampak pada kinerja organisasi bisnis secara tidak langsung.

Persoalan utamanya ialah terkait knowledge management yang belum baik sehingga ada aset pengetahuan yang melekat pada individu dan berdampak pada proses bisnis di perusahaan.

Skill karyawan yang resign bisa saja belum tergantikan secara cepat dengan merekrut karyawan baru, sehingga hal ini tentunya akan berdampak pada performa organisasi.

Selain itu, karyawan yang resign tentunya juga akan memberikan dampak demotivasi secara tidak langsung kepada karyawan lainnya, apalagi karyawan tersebut memiliki informal power di dalam tim kerja.

Bahkan, efek domino pengunduran diri karyawan yang bisa menjadi cikal bakal great resignation pada korporasi. Bagaimana pun, di organisasi bisnis yang baik, pengunduran diri seorang karyawan perlu mendapat perhatian serius oleh manajemen puncak, karena karyawan adalah modal penting perusahaan, bukan sekadar sumber daya yang bisa dimanfaatkan.

Employer branding

Pengunduran diri karyawan dan pemutusan hubungan kerja memang adalah praktik yang umum di dunia kerja. Apalagi, proses pelaksanaannya sudah dilakukan sesuai dengan aturan dan regulasi yang berlaku.

Tentunya, pemutusan hubungan kerja secara sukarela atau oleh salah satu pihak menjadi solusi yang bisa ditempuh korporasi dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

Namun, apa jadinya jika pengunduran diri atau pemutusan kerja dilakukan secara bersamaan dan dalam waktu singkat? Tentu hal ini adalah anomali yang perlu perhatian serius dari pemangku kepentingan.

Inilah yang menjadi fokus pembahasan pada fenomena great resignation yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini.

Terjadinya pengunduran diri secara berjamaah dalam waktu yang hampir bersamaan mengindikasikan persoalan serius di dalam perusahaan.

Apakah tidak ada upaya retensi yang dilakukan? Apakah keterikatan dengan karyawan sudah pernah dikaji ulang? Apakah pamor korporasi semakin terkikis di mata karyawan?

Pertanyaan demi pertanyaan harusnya menjadi topik serius di meja para direksi dan pimpinan perusahaan.

Keterikatan perusahaan dengan karyawan bisa dibangun dengan menghadirkan rasa bangga atas pengakuan sosial terhadap korporasi.

Inilah yang menjadi esensi penting employer branding, upaya membangun pamor perusahaan sebagai tempat yang nyaman untuk bekerja dan membangun karir jangka panjang.

Sejatinya, employer branding tidak hanya digembar-gemborkan ketika akan merekrut calon karyawan, namun harusnya dilakukan sepanjang tahun untuk dua tujuan, yaitu rekrutmen dan retensi karyawan.

Employer branding dibangun dengan menghadirkan value atau nilai yang diyakini secara bersama antara karyawan dan perusahaan.

Keyakinan pada nilai bersama inilah yang akan membentuk budaya kerja atau corporate culture yang baik. Bukan sekadar deretan do & don’t’s semata, tapi budaya kerja adalah seperangkat norma yang diyakini dan dijalankan bersama secara sukarela.

Jika budaya kerja sudah terbangun, maka karyawan akan merasa memiliki pengalaman bekerja yang berkesan, sehingga tercipta keterikatan sosial yang baik antara karyawan dengan perusahaan.

Proses employer branding akan berjalan baik jika manajemen memahami hubungan sebab akibat ini. Karyawan tidak akan nyaman jika perusahaan menghilangkan value yang membuat mereka bertahan.

Karyawan pun bergidik karena kenyamanannya terusik, pengalaman kerja tak lagi berkesan, namun cenderung menjadi rutinitas yang melelahkan. Lantas, apalagi alasan bagi karyawan untuk bertahan?

Karena itu, great resignation bisa saja diantisipasi jika program employer branding dijalankan dengan baik oleh perusahaan.

Pamor perusahaan harus dibangun di mata publik, tapi lebih penting lagi harus terbangun di mata karyawan dengan baik.

Jika nilai bersama sudah mulai tergerus akibat krisis selama pandemi, maka berkomunikasilah untuk menciptakan pengalaman kerja baru yang berkesan.

Niscaya, dengan komunikasi yang baik, berbagai persoalan bisa diatasi bersama dan ancaman great resignation jadi bahan obrolan semata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com