Gaya investasi merkantilistik adalah gaya lama, bahkan jauh-jauh hari sebelum era kolonialisme, di mana negara besar mengeksploitasi produk mentah dari negara koloni, untuk diolah menjadi barang jadi atau setengah jadi, lalu dijual kembali ke negara koloni.
Intinya, yang diincar oleh China sebenarnya adalah bahan mentahnya untuk menopang industrialisasi di negaranya.
Namun untuk menghindari risiko pelarangan ekspor barang mentah oleh Indonesia, China mendorong dunia usahanya untuk mendominasi industri pengolahan nikel di Indonesia.
Jadi, meskipun terjadi pelarangan, relasi merkantilistik tetap terjadi karena pembeli nikel mentah di dalam negeri adalah tetap pelaku industri dari China.
Dengan kata lain, saat pemerintah melarang ekspor nikel mentah, yang diuntungkan justru investor-investor dari China yang menguasai lini industrinya karena penambang mau tak mau harus menjual nikel hasil tambangnya ke pihak industri.
Otomatis, penambang yang mayoritas pengusaha lokal kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan besar dari ekspor nikel mentah, karena harus menjual nikel mentahnya ke pihak industri dengan harga jauh di bawah harga internasional.
Pemerintah, baik disadari atau tidak, nampaknya kembali kepada rezim "developmental state" yang dianut oleh negara-negara Asia Timur sebelum krisis 1997.
Pemerintah memberikan prioritas berlebihan kepada salah satu bidang, dengan segala kemudahannya, mulai dari kemudahan regulasi dan berbagai insentif fiskal, sampai kebijakan "represi fiskal", yang berujung pada kerugian besar di saat krisis datang.
Perbedaannya dengan rezim developmental state ala Korea Selatan, Jepang, atau Taiwan adalah bahwa pemerintah kita tidak memberikan prioritas pada pelaku dalam negeri, tapi pada pelaku industri asing.
Di negara-negara Asia timur, prioritas justru diberikan kepada pelaku dalam negeri, sehingga berhasil melahirkan brand yang sangat mendunia, seperti Mitsubishi, Toyota, Hyundai, Samsung, TSMC, dan sebagainya.
Negara-negara ini sangat antiasing pada mulanya. Mereka membangun industrinya dari nol, sampai menghasilkan merek-merek besar, lalu kemudian pelan-pelan membuka diri, setelah merek yang mereka bangun dianggap mampu bersaing dengan merek-merek internasional lainnya.
Sementara di Indonesia, ambisi hilirisasi dilakukan tanpa spirit nasionalisme. Yang penting terjadi hilirisasi, tanpa menghitung manfaatnya secara terukur dan teliti demi pelaku dalam negeri dan untuk pemerintah.
Padahal di lapangan, Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar, sebagaimana yang sering saya sampaikan, plus sebagaimana dinyatakan oleh hasil penelitian Celios di atas.
Naasnya, setelah berkorban luar biasa, pun pelaku dalam negeri tidak mendapatkan kenikmatan sebagaimana manfaat yang diperoleh pelaku dalam negeri di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, atau China. Di sinilah letak persoalannya.
Jika pun ada pelaku domestik yang diestimasikan akan menjadi penikmat utamanya, nampaknya sangat terbatas sifatnya, terutama bagi lingkaran elitis oligarkis, yang ikut bermain di industri tambang nikel atau industri kendaraan listrik.