Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Risiko Tersembunyi Hilirisasi Nikel

Kompas.com - 22/06/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Gaya investasi merkantilistik adalah gaya lama, bahkan jauh-jauh hari sebelum era kolonialisme, di mana negara besar mengeksploitasi produk mentah dari negara koloni, untuk diolah menjadi barang jadi atau setengah jadi, lalu dijual kembali ke negara koloni.

Intinya, yang diincar oleh China sebenarnya adalah bahan mentahnya untuk menopang industrialisasi di negaranya.

Namun untuk menghindari risiko pelarangan ekspor barang mentah oleh Indonesia, China mendorong dunia usahanya untuk mendominasi industri pengolahan nikel di Indonesia.

Jadi, meskipun terjadi pelarangan, relasi merkantilistik tetap terjadi karena pembeli nikel mentah di dalam negeri adalah tetap pelaku industri dari China.

Dengan kata lain, saat pemerintah melarang ekspor nikel mentah, yang diuntungkan justru investor-investor dari China yang menguasai lini industrinya karena penambang mau tak mau harus menjual nikel hasil tambangnya ke pihak industri.

Otomatis, penambang yang mayoritas pengusaha lokal kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan besar dari ekspor nikel mentah, karena harus menjual nikel mentahnya ke pihak industri dengan harga jauh di bawah harga internasional.

Pemerintah, baik disadari atau tidak, nampaknya kembali kepada rezim "developmental state" yang dianut oleh negara-negara Asia Timur sebelum krisis 1997.

Pemerintah memberikan prioritas berlebihan kepada salah satu bidang, dengan segala kemudahannya, mulai dari kemudahan regulasi dan berbagai insentif fiskal, sampai kebijakan "represi fiskal", yang berujung pada kerugian besar di saat krisis datang.

Perbedaannya dengan rezim developmental state ala Korea Selatan, Jepang, atau Taiwan adalah bahwa pemerintah kita tidak memberikan prioritas pada pelaku dalam negeri, tapi pada pelaku industri asing.

Di negara-negara Asia timur, prioritas justru diberikan kepada pelaku dalam negeri, sehingga berhasil melahirkan brand yang sangat mendunia, seperti Mitsubishi, Toyota, Hyundai, Samsung, TSMC, dan sebagainya.

Negara-negara ini sangat antiasing pada mulanya. Mereka membangun industrinya dari nol, sampai menghasilkan merek-merek besar, lalu kemudian pelan-pelan membuka diri, setelah merek yang mereka bangun dianggap mampu bersaing dengan merek-merek internasional lainnya.

Sementara di Indonesia, ambisi hilirisasi dilakukan tanpa spirit nasionalisme. Yang penting terjadi hilirisasi, tanpa menghitung manfaatnya secara terukur dan teliti demi pelaku dalam negeri dan untuk pemerintah.

Padahal di lapangan, Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar, sebagaimana yang sering saya sampaikan, plus sebagaimana dinyatakan oleh hasil penelitian Celios di atas.

Naasnya, setelah berkorban luar biasa, pun pelaku dalam negeri tidak mendapatkan kenikmatan sebagaimana manfaat yang diperoleh pelaku dalam negeri di Jepang, Korea Selatan, Taiwan, atau China. Di sinilah letak persoalannya.

Jika pun ada pelaku domestik yang diestimasikan akan menjadi penikmat utamanya, nampaknya sangat terbatas sifatnya, terutama bagi lingkaran elitis oligarkis, yang ikut bermain di industri tambang nikel atau industri kendaraan listrik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Libur Kenaikan Yesus Kristus, 328.563 Kendaraan Tinggalkan Jakarta

Libur Kenaikan Yesus Kristus, 328.563 Kendaraan Tinggalkan Jakarta

Whats New
OCBC Singapura Ajukan Tawaran Rp 16 Triliun untuk Akuisisi Great Eastern Holdings

OCBC Singapura Ajukan Tawaran Rp 16 Triliun untuk Akuisisi Great Eastern Holdings

Whats New
Inggris Keluar dari Jurang Resesi Ekonomi

Inggris Keluar dari Jurang Resesi Ekonomi

Whats New
Minta Penjualan Elpiji di Warung Madura Diperketat, Ini Penjelasan Peritel

Minta Penjualan Elpiji di Warung Madura Diperketat, Ini Penjelasan Peritel

Whats New
Intervensi Bank Sentral Kesetabilan Rupiah dan Cadangan Devisa

Intervensi Bank Sentral Kesetabilan Rupiah dan Cadangan Devisa

Whats New
Bank Muamalat Buka Lowongan Kerja hingga 31 Mei 2024, Cek Posisi dan Syaratnya

Bank Muamalat Buka Lowongan Kerja hingga 31 Mei 2024, Cek Posisi dan Syaratnya

Work Smart
Viral Video Youtuber Korsel Diajak Mampir ke Hotel, Ini Tanggapan Kemenhub

Viral Video Youtuber Korsel Diajak Mampir ke Hotel, Ini Tanggapan Kemenhub

Whats New
Finaccel Digital Indonesia Berubah Nama jadi KrediFazz Digital Indonesia

Finaccel Digital Indonesia Berubah Nama jadi KrediFazz Digital Indonesia

Whats New
Dampak Fluktuasi Harga Pangan Awal 2024

Dampak Fluktuasi Harga Pangan Awal 2024

Whats New
Mengenal 2 Fitur Utama dalam Asuransi Kendaraan

Mengenal 2 Fitur Utama dalam Asuransi Kendaraan

Earn Smart
Penggunaan Gas Domestik Didominasi Industri, Paling Banyak Industri Pupuk

Penggunaan Gas Domestik Didominasi Industri, Paling Banyak Industri Pupuk

Whats New
Libur Panjang, Angkasa Pura II Proyeksikan Penumpang Capai 1 Juta Orang

Libur Panjang, Angkasa Pura II Proyeksikan Penumpang Capai 1 Juta Orang

Whats New
Percepat Peluncuran Produk untuk Perusahaan Teknologi, XpandEast Terapkan Strategi Pengurangan Time-to-Market

Percepat Peluncuran Produk untuk Perusahaan Teknologi, XpandEast Terapkan Strategi Pengurangan Time-to-Market

Whats New
Pasar Kripto Berpotensi 'Rebound', Simak Prospek Jangka Panjangnya

Pasar Kripto Berpotensi "Rebound", Simak Prospek Jangka Panjangnya

Earn Smart
Asosiasi 'Fintech Lending' Buka Suara Soal Pencabutan Izin Usaha TaniFund

Asosiasi "Fintech Lending" Buka Suara Soal Pencabutan Izin Usaha TaniFund

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com