Beberapa pihak di antaranya justru juga menjabat sebagai pejabat negara, yang mengaburkan relasi pemerintah dan dunia usaha karena batas antara regulator dan pelaku usaha menjadi sangat tipis.
Risiko lanjutan dari ambigunya relasi tersebut adalah bahwa kekuasaan pemerintah dipakai untuk memuluskan kepentingan bisnis kelompok ini.
Pasalnya, lingkaran elite ini berhasil mendorong negara untuk menunjukkan keberpihakan berlebihan kepada mereka dengan melahirkan kebijakan pemberian subsidi pada kendaraan listrik, yang belakangan sangat kontroversial itu.
Jadi, ekosistem hilirisasi nikel yang didorong oleh pemerintah telah menciptakan ketidakadilan yang cukup sistematis.
Tidak saja kerugian yang dialami negara, penambang lokal, plus kerusakan lingkungan, tapi di sisi lain kerugian tersebut justru bermakna keuntungan bagi beberapa pihak, baik pelaku industri dari China maupun mitra domestiknya yang notabene adalah elite-elite ekonomi politik negeri ini.
Jadi yang terjadi sesungguhnya pada hilirisasi nikel adalah praktik kapitalisme berkedok merkantilisme, yang dilakukan oleh investor asing bekerja sama dengan segelintir pihak domestik yang memiliki kekuasaan.
Jenis kapitalisme apakah itu? "What is called 'capitalism' is basically a system of corporate mercantilism, with huge and largely unaccountable private tyrannies exercising vast control over the economy, political systems, and social and cultural life, operating in close cooperation with powerful states that intervene massively in the domestic economy and international society", begitu menurut Avram Noam Chomsky.
Makna lain kalimat Profesor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) itu adalah perusahaan-perusahaan tidak saja menguasai kue ekonomi, tapi juga ikut mengendalikan proses pengambilan kebijakan, proses politik, dan dinamika sosial budaya yang justru sangat sepihak menguntungkan mereka, sembari membangun hubungan yang sangat erat dengan segelintir elite-elite yang sedang menguasai pemerintahan di kedua negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.