Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch N Kurniawan
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi Swiss German University | Praktisi Kehumasan | Mantan Jurnalis Energi, Lingkungan, Olahraga

Migas RI dalam Dunia yang Terus Bergejolak

Kompas.com - 14/07/2023, 08:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sementara pada 2050, bauran energi menjadi 58 persen EBT, 22 persen batubara, 12 persen gas, dan 8 persen minyak bumi.

Perlu dicatat, sebagai acuan, RUEN tahun 2015-2050 mengamanatkan bauran energi tahun 2025, persentase EBT paling sedikit 23 persen, gas bumi minimal 22 persen, minyak bumi maksimal 25 persen, dan selebihnya dipasok batubara.

Sedangkan bauran energi tahun 2050, persentase EBT paling sedikit 31 persen, gas bumi minimal 24 persen, minyak bumi maksimal 20 persen, dan batubara memenuhi sisanya.

Terlihat bahwa hingga 2022, dominasi minyak dan gas bumi dalam bauran energi primer masih kuat, mencapai total 45,3 persen, kemudian akan menurun menjadi 39 persen pada skenario Pembangunan Berkelanjutan dan 20 persen pada skenario Rendah Karbon tahun 2050.

Walau persentase turun, namun secara absolut, diperkirakan penyediaan minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan energi akan mencapai 127,1 Juta Ton Setara Minyak Bumi (MTOE) untuk skenario PB dan 106,4 MTOE untuk skenario RK di tahun 2050, jauh di atas 54.8 MTOE di tahun 2018.

Sedangkan penyediaan gas tahun 2050 akan mencapai 154,2 MTOE untuk skenario PB dan 140,3 MTOE untuk skenario RK, hampir tiga kali lipat dari 2018.

Ini menunjukkan dua hal, yakni pada masa lalu, saat ini hingga masa depan, secara realistis minyak dan gas bumi mempunyai arti penting mendorong Indonesia untuk tetap tumbuh seperti sekarang.

Kedua adalah suatu keniscayaan bahwa transisi energi akan terus menggelinding dalam upaya mencapai target emisi karbon nol bersih, sehingga minyak dan gas bumi akan berperan dalam menciptakan/menggunakan teknologi untuk menghijaukan dirinya sendiri ataupun industri lain.

Dimensi kontribusi hingga kompleksitas

Sektor hulu migas tidak bisa dibantah sangat berkontribusi dalam pembangunan Indonesia. Cukup banyak kota-kota di Indonesia tumbuh berbasis industri hulu migas beserta industri turunannya di antaranya Balikpapan dan Bontang (Kalimantan Timur), Cepu (Jawa Tengah), Sorong (Papua Barat), Dumai (Riau), Prabumulih (Sumatra Selatan), dan Tarakan (Kalimantan Utara).

Tumbuhnya kota-kota tersebut juga mencerminkan keberadaan tenaga kerja yang terserap dengan munculnya industri hulu migas beserta industri penunjangnya.

Manfaat keberadaan kota-kota yang dijadikan contoh tersebut masih dirasakan penduduknya hingga sekarang.

Kontribusi lain dari hulu migas adalah penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak (PNBP). Kontribusi penerimaan dari sektor migas kepada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) juga pernah mencapai 50-60 persen total APBN.

Kini mungkin berkisar 5-10 persen, selain karena penurunan alami produksi terutama minyak, juga karena penerimaan negara dari sektor lain sudah melonjak.

Sebagai contoh saat penerimaan pajak migas dan PNBP migas tahun 2021 mencapai Rp 149,4 triliun, penerimaan negara dari sektor lain tahun 2021 sudah mencapai Rp 1.861,9 triliun, membuat total penerimaan negara menjadi Rp 2.011.3 triliun atau hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun 2007 sebesar Rp 706,1 triliun (bps.go.id).

Memang harus diakui saat mulai terjadi penurunan alami produksi minyak di pertengahan dasawarsa 1990-an, kegiatan eksplorasi tidak digenjot dalam upaya menemukan cadangan minyak baru yang potensial diproduksi.

Sedangkan proses tahapan eksplorasi hingga tahapan produksi minyak - dan juga gas - memakan waktu bertahun-tahun, bahkan bisa mencapai 10-15 tahun.

Hal ini dikarenakan berbagai kendala mulai dari teknis lapangan, keekonomian lapangan migas yang kurang kompetitif, skema bagi hasil yang kurang atraktif, perubahan kebijakan, rumitnya perizinan, persoalan politik, hingga gejolak dunia.

Otomatis, produksi minyak menurun terus. Di saat bersamaan, konsumsi minyak mentah Indonesia terus meningkat.

Singkatnya, hal tersebut membuat Indonesia menjadi net importer minyak mentah sejak 2003, di mana produksi minyak Indonesia hanya 1.183 ribu barel per hari, sementara konsumi minyak domestik mencapai 1.218 ribu barel per hari, menurut BP Statistical Review 2010.

Kompleksitas isu baik di tingkat nasional maupun lokal yang dihadapi industri migas hingga kini masih belum terpecahkan.

Tahun 2021, misalnya, Kementrian ESDM menyebut Indonesia mengimpor minyak mentah sebesar 286.000 barel per hari (belum termasuk impor bahan bakar minyak), karena produksi minyak dalam negeri hanya sebesar 658.520 barel per hari tidak mencukupi memenuhi konsumsi minyak mentah domestik.

Sedangkan untuk konsumsi gas domestik, saat ini masih di bawah produksi total gas, sehingga ekspor masih bisa dilakukan.

Di sisi lain, lamanya proses tahapan eksplorasi hingga produksi migas, misalnya Proyek IDD, Masela, hingga Blok Kasuri juga membuat frustrasi berbagai kalangan baik perusahaan migas, pemerintah dan tentunya masyarakat setempat yang mengidam-idamkan akselerasi perbaikan ekonomi dari sektor migas.

Hal lain yang juga mengkhawatirkan adalah sejumlah perusahaan yang masuk 10 besar perusahaan migas dunia praktis tidak beroperasi di WK Migas di Indonesia, yakni ConocoPhillips, Chevron, dan Total. Yang tersisa adalah ExxonMobil, BP, dan Petrochina.

Padahal kehadiran mereka di suatu negara diperlukan karena mengindikasikan bahwa iklim investasi migas negara tersebut lebih menarik dan kompetitif dibandingkan dengan negara lain, di samping kekuatan finansial mereka yang besar serta teknologi mereka yang mumpuni sangat dibutuhkan untuk eksplorasi dan produksi migas terutama di lapangan yang baru.

Pemerintah tentu berusaha melakukan perbaikan dari berbagai sisi agar situasi migas membaik. Misalnya, memberikan fleksibilitas bagi investor memilih skema cost recovery atau gross split, kemudahan berpindah skema dari cost recovery ke gross split dan sebaliknya, perbaikan profit split, perbaikan FTP (first trance petroleum), hingga kemudahan akses data saat lelang Wilayah Kerja (WK) Migas.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com