Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch N Kurniawan
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi Swiss German University | Praktisi Kehumasan | Mantan Jurnalis Energi, Lingkungan, Olahraga

Migas RI dalam Dunia yang Terus Bergejolak

Kompas.com - 14/07/2023, 08:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun hal ini baru mampu memikat beberapa perusahaan nasional, satu perusahaan multinasional kelas menengah, dan satu perusahan multinasional besar dalam lelang WK Mgas 2021-2022.

Promosi gencar juga dilakukan pemerintah di antaranya Menteri ESDM melakukan roadshow ke berbagai negara besar untuk mengajak langsung para perusahaan migas dunia berinvestasi kembali di Indonesia.

Upaya lainnya, yakni mengumumkan lelang WK Migas, sesi penjelasan tentang WK yang dilelang hingga pemenang lelang WK Migas dalam acara terbesar tahunan migas, yakni Indonesian Petroleum Association Convention and Exhibition (IPA Convex), dan International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas (IOG).

Namun sepertinya memang minat dari mayoritas perusahaan besar migas dunia untuk berinvestasi ke Indonesia belum kembali seperti dulu, meskipun mulai ada sedikit harapan ketimbang beberapa tahun silam.

Memang tidak mudah bagi Indonesia, tapi tidak ada jalan lain bahwa terobosan harus terus dilakukan untuk menarik investor migas datang, berinvestasi, dan mengeksplorasi WK Migas.

Targetnya tentu agar produksi migas kembali naik, sehingga bisa mengurangi jumlah impor terutama minyak dalam upaya menjaga ketahanan energi Indonesia.

Hulu Migas transisi kemana?

Kini situasi di industri hulu migas semakin kompleks menyusul munculnya pandemi Covid-19, perang Rusia - Ukraina sejak 2022, perlambatan hingga resesi ekonomi 2023, serta munculnya transisi energi yang mengikuti kesepakatan dunia untuk mencapai emisi karbon nol bersih tahun 2050.

Beberapa dampak terbesarnya adalah tingginya volatilitas harga minyak dan gas, demikian juga naik turunnya penerimaan negara dari migas dan besaran subsidi negara untuk BBM mengingat sebagian minyak mentah dan BBM Indonesia harus diimpor.

Selain itu, naik turunnya pendapatan perusahaan migas, serta penyesuaian kebijakan dan portofolio perusahaan migas untuk turut mencapai target emisi karbon nol bersih.

Langkah-langkah strategis yang ditempuh perusahaan migas menuju emisi karbon nol bersih berkisar pada penggunaan teknologi carbon capture and storage (CCS) atau penangkapan dan penyimpanan karbon, dan carbon capture, utilization, and storage (CCUS) atau penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon untuk operasi migas dan potensi penggunaannya di industri lain yang terbelit dengan emisi karbon, diversifikasi ke EBT - surya, air, angin, panas bumi, bioenergi, hidrogen -, masuk ke bisnis pertambangan, pengolahan mineral kritikal untuk baterai kendaraan listrik, hingga pembuatan dan pendirian tempat charging kendaraan listrik.

BP, misalnya, dalam proyek LNG Tangguh dari Lapangan Vorwata telah berhasil mendapatkan persetujuan dari SKK Migas untuk menggunakan teknologi CCUS, yakni menginjeksikan tangkapan 25 juta ton CO2 dari operasi LNG-nya ke reservoir untuk menurunkan emisi karbon LNG Tangguh hampir 50 persen sekaligus menghasilkan tambahan produksi gas melalui enhanced gas recovery (EGR).

Hal ini juga diikuti perusahaan lain yang sedang mengembangkan proyek CCUS di lapangannya seperti Pertamina di Lapangan Gundih Cepu, dan Sukowati Bojonegoro.

Beberapa kerjasama pengkajian dan pengembangan CCS ataupun CCUS juga dilakukan. Misalnya, kerjasama terpisah antara Pertamina dengan ExxonMobil dan Chevron (CCS/CCUS) untuk penurunan emisi karbon di lapangan migas, serta Medco Energi dengan Kansai Electrik (CCS dan co-firing biomass) untuk dekarbonisasi di pembangkit listrik tenaga uap (batubara).

Prinsip CCS adalah menangkap emisi karbon dengan teknologi, ditransportasikan ke tempat penyimpanan, lalu disimpan di lokasi yang aman, yakni di bawah permukaan tanah atau di laut dalam dengan kedalaman tertentu agar terisolasi.

Sedangkan CCUS adalah menangkap emisi karbon dengan teknologi, lalu diinjeksikan kembali ke reservoir migas untuk mengoptimalkan produksi migas.

Tantangan terbesar dari penggunaan teknologi CCS maupun CCUS ini adalah pertama, biayanya yang sering disebut mahal. Kedua, apakah hasil tangkapan emisi karbon di lapangan migas - dengan CCS/CCUS - ataupun di industri lain dengan CCS benar-benar sesuai dengan yang dijanjikan oleh teknologi tersebut.

Adalah tugas perusahaan migas untuk terus berinovasi agar teknologi CCS/CCUS yang ditawarkan semakin murah biayanya dan efektivitas hasilnya tinggi, sehingga memudahkan bagi calon penggunanya untuk memilih.

Terlepas dari tantangan tersebut, tulisan International Energy Agency (IEA, 2023), How new business models are boosting momentum on CCUS menyebutkan bahwa pada 2022, ada lebih dari 140 proyek CCUS baru diumumkan.

Kemudian, kapasitas penyimpanan dan tangkapan karbon masing-masing direncanakan naik 80 persen dan 30 persen.

Selain itu, 15 Keputusan Akhir Investasi (Final Investment Decision atau FID) telah diambil lintas sektor industri pada 2022, naik dari 8 FID pada tahun sebelumnya.

Hingga tahun 2022, sebanyak 45 negara telah berencana mengembangkan CCUS. Ini adalah bentuk kepercayaan pada CCUS dari industri di tingkat global, dan Indonesia juga telah memanfaatkan momentum ini untuk membuat regulasi tentang pengimplementasian CCS/CCUS di industri hulu migas.

Saat ini, regulasi pemerintah untuk perluasan implementasi CCS/CCUS ke sektor industri lain serta hub CCS/CCUS masih ditunggu.

Perkembangan ini menunjukkan setidaknya sektor hulu migas di Indonesia kini mulai masuk dalam peran barunya di energi transisi, yakni menghijaukan dirinya dan industri lain, sambil secara bertahap menjadi perusahaan energi nonmigas dalam jangka panjang dan mengalihkan migas menjadi sumber bahan baku industri turunan ketimbang sebagai sumber energi.

Berbagai langkah Indonesia dalam mengelola migas pada masa transisi energi sejauh ini terlihat lebih realistis, tetap serius dan bergerak maju.

Kelanjutannya, apakah itu semua nanti cukup untuk menghadapi goncangan-goncangan ke depan di tingkat global yang sulit diduga, maupun meningkatnya kompleksitas isu di tingkat nasional ataupun lokal? Kita lihat bersama ke depan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com