Situasi semakin sulit seiring laju perubahan iklim yang turut berpengaruh terhadap produksi beras. Berdasarkan penelitian terbaru dari Peking University, China, dan tim di jurnal Nature Food awal Mei 2023, tanaman padi termasuk yang paling terdampak perubahan iklim dengan proyeksi penurunan produksi mencapai 8,1 persen pada 2100 (Kompas, 9 Mei 2023).
Dengan demikian, mengandalkan impor dan bergantung pada beras bukan pilihan strategis bagi masa depan pangan. Menghentikan ketergantungan pada beras berarti perlu mengembangkan produk pangan lokal yang beragam secara jenis dan gizi.
Kita sangat berpeluang untuk mengupayakan hal tersebut. Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang- kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu.
Salah satu jenis pangan lokal ada sorgum. Gerakan kembali sorgum awalnya dirintis Maria Loretha dan suaminya, Jeremias D Letor, sejak 10 tahun lalu di Pulau Adonara, Flores Timur. Mereka kemudian mendapatkan dukungan dari Yaspensel Keuskupan Larantuka dan dukungan dari Yayasan KEHATI dan beberapa pihak lain seperti Litbang Kementerian Pertanian.
Kini, selain di Pulau Adonara, tanaman sorgum telah dikembangkan sekitar 200 ha di wilayah di Pulau Flores, Pulau Solor, hingga Pulau Lembata. Pengembangan itu bisa terjadi terkait dengan kecocokan dengan agroklimat dan perubahan iklim yang menyebabkan cuaca semakin kering dan panas, persoalan ekonomi karena tingginya input pertanian untuk budidaya padi, hingga ikatan budaya dan peluangnya untuk pengembangan wisata.
Sorgum telah membawa perubahan signifikan di kelompok-kelompok ini. Salah satu contoh nyatanya dialami masyarakat Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur yang mulai mengembangkan sorgum pada 2014. Masyarakat yang sebelumnya dililit kemiskinan dan tergantung beras subsidi, kini berdaulat pangan dengan sorgum dan berencana menolak bantuan beras dari pemerintah.
Tahun 2020, Yayasan KEHATI merilis kajian tentang pangan yang merekomendasikan sejumlah langkah pengembangan pangan lokal. Pertama-tama, pemerintah perlu mengarusutamakan pangan lokal dalam kebijakan pangan nasional, dengan memperhatikan ragam jenis pangan lokal dan jenis gizinya, sesuai kondisi lingkungan dan budaya setempat.
Hal tersebut harus ditindaklanjuti dengan kebijakan anggaran memadai, riset pertanian komprehensif, serta dibarengi dengan kebijakan tata niaga yang memungkinkan pangan lokal mudah diakses konsumen.
Di samping itu, perlu pengintegrasian kebijakan pangan dengan kesehatan, keberagaman hayati, dan perubahan iklim, dengan pengembangan model pertanian berkelanjutan melalui pendekatan agroekologi yang berbasiskan empat pilar: layak secara ekonomi, teknologi adaptif, tidak merusak lingkungan, dan secara sosial-budaya diterima warga.
Dengan langkah-langkah tersebut kita berpeluang mewujudkan mimpi kedaulatan pangan berbasis keragaman pangan yang ditegaskan lebih dari setengah abad silam oleh Presiden Soekarno. Memang, tak ada jalan yang mudah dan instan. Tapi, seperti kata Gardner, “It means we have a good chance”. Kita masih punya kesempatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.