Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohamad Burhanudin
Pemerhati Kebijakan Lingkungan

Penulis lepas; Environmental Specialist Yayasan KEHATI

Kedaulatan Pangan, Mimpi yang Tak Kunjung Terwujud

Kompas.com - 17/07/2023, 17:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di samping itu, harga tinggi juga disebabkan oleh panjangnya rantai perdagangan dari petani ke penjual di pasar-pasar perkotaan (Kompas.com, 22 Desember 2023).

Tingginya harga pangan sebagian besar karena pilihan kebijakan yang dibuat secara sadar. Elite politik telah membentuk konsensus mendukung tingginya harga pangan guna membantu petani dan mengurangi impor.

Sayangnya, kebijakan tersebut tidak mencapai kedua tujuan tersebut. Mengapa? Kebanyakan masyarakat miskin adalah petani. Banyak petani kecil menjadi pembeli makanan. Itu berarti, tingginya harga pangan justru berdampak buruk terhadap petani.

Elite politik kerap menyalahkan mafia pangan sebagai penyebab harga tinggi. Namun, ‘mafia pangan’ yang sesungguhnya justru elite politik yang menggunakan pengaruh mereka untuk mendistribusikan kuota impor pangan ke partai politik, keluarga, dan pengusaha rekanan mereka.

Kuota impor memberikan mereka kekuatan untuk menarik keuntungan besar dari konsumen di pasar dalam negeri dari berbagai komoditas pangan. Di sini, kedaulatan pangan kerap berakhir sebagai slogan politik, bukan kebijakan yang koheren.

Retorika nasionalis yang menyelimutinya telah mengalihkan seluruh perhatian dari pertanyaan yang lebih penting, yaitu siapa yang mendapat keuntungan dan siapa yang menanggung beban dari kebijakan pangan berbiaya tinggi, khususnya dari kebijakan impor pangan.

Kenyataannya, petanilah yang justru menanggung beban terbesar akibat tingginya harga pangan. Kesejahteraan petani tergerus dan minat generasi muda bekerja di sektor pertanian meredup.

Baca juga: Festival Benih Leluhur di Adonara Barat NTT, Ajang Promosi Pangan Lokal

Salah satu dampak berikutnya adalah ongkos tenaga kerja pertanian menjadi semakin mahal. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 menunjukkan, komponen biaya tenaga kerja menyumbang 48 persen total biaya produksi pertanian sawah basah, jauh lebih tinggi dari komponen pupuk dan pestisida, yang masing-masing menyumbang sembilan persen dan empat persen.

Di sejumlah tempat, memang masih ada surplus tenaga kerja di bidang areal persawahan yang makin terpetak-petak kecil. Namun, jika kita perhatikan secara seksama, kita akan melihat, keuntungan utama dari sawah kecil adalah dari kapasitas petani untuk mengeksploitasi diri, buruh perempuan yang dibayar murah, dan buruh lainnya yang diupah sangat kecil.

Pendapatan petani yang kian tergerus turut mendorong kian tingginya alih fungsi lahan pertanian. Menurut data BPS (2021), alih fungsi lahan sawah nasional bervariasi antara 60.000-80.000 hektar per tahun.

Di sisi lain, ketersediaan bibit pangan berkualitas dan tahan perubahan iklim, baik padi maupun tanaman pangan lainnya, belum benar-benar menjadi perhatian. Anggaran riset pertanian dari tahun ke tahun kurang dari satu persen dari keseluruhan anggaran pertanian.

Di tengah kuatnya hegemoni beras, asa menghadirkan kedaulatan pangan berbasis keragaman hayati lokal sesungguhnya hadir dalam UU Pangan No 18 Tahun 2012, yang merivisi UU Pangan No 7 tahun 1996.

Pasal 1 UU ini menyebutkan, kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan sesuai dengan sumber daya lokal. Namun, UU Pangan dan regulasi-regulasi berikutnya yang terkait pentingnya pangan lokal dan bergizi tersebut belum diimplementasikan secara optimal dan konsisten.

Pangan Lokal

Mengandalkan pemenuhan pangan dari impor jelas sangat berisiko. Sebagian besar produksi beras dunia diproduksi di Asia. Hanya sekitar delapan persen dari total produksi beras dunia yang diperdagangkan.

Produksi beras terkonsentrasi secara geografis, sehingga rentan terdampak cuaca buruk, misalnya efek El Nino.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com