Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Quo Vadis Penerimaan Negara Sektor Kehutanan

Kompas.com - 18/08/2023, 07:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Padahal, meski kecil, menurut Sri Mulyani, sektor ini tumbuh rata-rata 5-6 persen per tahun. Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan yang terlampau kecil ini pertanda ada yang salah dalam pengelolaan hutan Indonesia.

Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), luas hutan Indonesia 125,2 juta hektare. Sementara menurut pemerintah tinggal 120 juta hektare hingga 2020. Luas hutan Indonesia ini belum terkonversi menopang pertumbuhan ekonomi.

Pada era Orde Baru, pemasukan negara sektor kehutanan pernah mencapai puncaknya sebesar 16 miliar dollar AS atau kini setara dengan Rp 240 triliuan (dengan nilai kurs Rp 15.000/dollar AS).

Menteri Keuangan memprediksi sebenarnya dominasi PNBP dari basis kayu masih sangat tinggi. PNBP kehutanan sangat kecil karena kurangnya pengawasan, penegakan hukum, banyaknya aset menganggur (idle).

Pungutan sektor kehutanan

Sebagaimana pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang PNBP, jenis pendapatan ini adalah penghasilan negara dari obyek bukan pajak seperti pemanfaatan sumber daya alam dan pelayanan negara yang dipungut dari orang per orang atau badan hukum yang telah memperoleh manfaat langsung atau tidak langsung.

Kini, setelah Undang-Undang Cipta Kerja terbit, PNBP dari pemanfaatan dan pemakaian kawasan hutan mengacu pada pasal 35 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan.

PNBP yang diatur sebelumnya, pemanfaatan hutan alam menyetor provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR).

Adapun pemanfaatan hutan tanaman hanya dikenakan PSDH, termasuk hasil hutan dari Perhutani.

Selain itu, pemerintah juga menarik PNBP dari pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk tambang dan selain tambang, dari izin pemanfaatan jasa lingkungan serta dari pemanfaatan tanaman dan satwa liar.

Kini PNBP dari pemanfaatan hutan diatur dalam PP No. 23/2021 dan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. 8/2021 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi.

Dalam bab VIII tentang PNBP pemanfaatan hutan pasal 306 disebutkan bahwa jenis PNBP pemanfaatan hutan meliputi IPBPH (Iuran Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan), PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan), DR (Dana Reboisasi), DPEH (Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan), dana hasil usaha penjualan tegakan yang berasal dari hutan tanaman hasil rehabilitasi.

Kemudian penerimaan dari pelayanan dokumen angkutan hasil hutan; penerimaan dari pelayanan dokumen Penjaminan Legalitas Hasil Hutan; Ganti Rugi Tegakan; dan denda administratif terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang terbangun di dalam Kawasan Hutan yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan akibat tidak menyelesaikan persyaratan perizinan di bidang kehutanan.

Akar masalah PNBP kecil

Aset menggangur yang disinyalir oleh Menteri Keunagan ada benarnya. Hutan produksi yang disiapkan untuk memproduksi hasil hutan kayu dan hasil hutan lainnya 50 persennya belum dimanfaatkan.

Dalam data di buku The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020 yang yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Desember 2020, disebutkan bahwa dari luas hutan produksi 68,80 juta hektar, yang dibebani hak (perizinan) baru seluas 34,18 juta hektare.

Jika hutan produksi yang belum berizin segera dimanfaatkan dan dioptimalkan untuk kegiatan ekonomi, maka penerimaan negara dari sektor kehutanan niscaya akan meningkat jumlahnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com