Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Quo Vadis Penerimaan Negara Sektor Kehutanan

Kompas.com - 18/08/2023, 07:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Selama ini hutan hanya dilihat dari manfaatnya secara langsung, yakni kayu. Dalam satu hektare hutan alam tropis Indonesia hanya ada 8-10 pohon jenis Dipterocarpaceae dengan volume rata-rata 50 m3 saja.

Padahal keragaman jenis kayu yang ada dalam hutan alam tropika Indonesia sangat tinggi. Masalahnya, sistem silvikultur untuk jenis kayu Shorea yang menyelingi jenis Dipterocarpaceae belum dikuasai oleh para ahli kehutanan Indonesia, sehingga panen kayu Shorea mengandalkan kayu yang tumbuh secara alami.

Soal lain, jika hanya mengandalkan kayu, maka nilai hutan memang kecil. Hanya Rp 400 per meter persegi per tahun.

Nilai kecil ini selalu jadi alasan konversi hutan menjadi perkebunan, perumahan, atau lahan pertanian. Padahal, dalam ekosistem hutan ada simpanan karbon, ada air, ada jasa lingkungan yang tak ternilai.

Untuk meningkatkan kontribusi sektor kehutanan perlu beberapa cara:

Pertama, mengoptimalkan kawasan hutan produksi. Luas hutan produksi 68,8 juta hektare dengan luas yang dikelola 18,75 hektare oleh 257 perusahaan, hutan tanaman industri 11,19 juta hektare oleh 292 perusahaan, dan usaha restorasi 0,62 juta hektare.

Hutan produksi menganggur (idle) seluas 34,62 juta hektare telah dicadangkan untuk hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) 10,04 juta hektare, moratorium hutan primer (PIPPIB), 9,88 juta hektare, KPH dengan perencanaan jangka panjang 7,69 juta hektare, perhutanan sosial 3,55 juta hektare, dan konsesi 3,46 juta hektare.

Kedua, kurangnya pengawasan. Jumlah aparat jagawana (polisi kehutanan) seluruh Indonesia pusat dan daerah sekitar 7.000 orang. Jumlah itu tidak sebanding dengan luas kawasan hutan 120 juta hektare.

Idealnya, tiap jagawana mengawasi 500-1.000 hektare sehingga butuh 125.000 jagawana.

Ketiga, penegakan hukum lemah. Dalam kasus-kasus penjarahan hutan, pemerintah acap kalah di pengadilan.

Kawasan hutan yang jadi kebun kelapa sawit kini seluas 3,3 juta hektare yang belum tuntas penanganannya.

Padahal, menurut Menteri LHK Siti Nurbaya, apabila sawit ilegal yang masuk dalam kawasan hutan dikenakan denda administratif menggunakan PP No 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, maka negara akan diuntungkan dari denda ini sebesar lebih dari Rp 50 triliun.

Keempat, struktur PNBP sektor kehutanan sudah kedaluwarsa karena provisi sumber daya hutan (PSDH) menggunakan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P. 64/2017. Demikian pula dengan tarif dana reboisasi yang perlu ditinjau lagi.

Kelima, penerapan pajak karbon. Pajak karbon kehutanan layak segera diberlakukan karena sektor kehutanan menyumbang emisi karbon paling besar, yakni 48,5 persen emisi nasional pada 2010.

Selain penerimaan negara, pajak karbon bisa jadi instrumen mitigasi krisis iklim. Bisnis perdagangan karbon yang menjadi isu hangat dunia bisa menjadi ladang baru bagi bisnis di sektor kehutanan.

Bahana Sekuritas memperkirakan pendapatan pajak karbon sebesar Rp 26 triliun - Rp 53 triliun atau 0,2-0,3 persen PDB dengan asumsi tarif pajak sekitar 5-10 dollar AS per ton CO2 yang mencakup 60 persen emisi energi.

Jika hampir separuh emisi disumbang sektor kehutanan, pajak karbon setidaknya akan menyumbang Rp 14 triliun - Rp 26 triliun per tahun. Perkiraan angka pajak ini bisa mencerminkan nilai PNBP kehutanan yang lumayan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com