Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Produksi Gas Perlu Digenjot agar RI Tidak Jadi Net Importir di 2024

Kompas.com - 23/08/2023, 20:10 WIB
Yohana Artha Uly,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menilai, Indonesia memiliki potensi menjadi net importir gas di 2042. Hal itu bisa terjadi jika pengembangan lapangan migas terus tertunda sehingga tidak ada peningkatan produksi gas.

Maka salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah mencari cadangan gas baru untuk menggenjot produksi. Dengan demikian, dapat memenuhi kebutuhan gas di dalam negeri yang meningkat seiring dengan tumbuhnya perekonomian Indonesia.

"Potensi gas harus segera diproduksikan sehingga kekhawatiran potensi menjadi net importir gas di 2042 tidak terjadi, dan produksi gas terus meningkat memenuhi kebutuhan domestik hingga mampu mendukung pencapaian target net emission zero di 2060," ujar Wakil Kepala SKK Migas, Nanang Abdul Manaf dalam medie briefing di Jakarta, Rabu (23/8/2023).

Ia menuturkan, mengacu pada BP Outlook 2021, reserves to production gas Indonesia dua kali lebih besar dibandingkan minyak bumi. Oleh sebab itu, potensi gas yang tinggi tersebut perlu dioptimalkan.

Baca juga: SKK Migas Targetkan Investasi Eksplorasi Capai Rp 45 Triliun

SKK Migas mencatat, lebih dari 50 persen sumur eksplorasi yang dibor menemukan cadangan gas baru, bahkan di tahun 2022 success ratio mencapai 81 persen dan hingga semester I-2023 success ratio mencapai 100 persen.

Sementara 70 persen dari total plan of development (PoD) yang diajukan merupakan pengembangan lapangan gas.

Dari sisi salur gas, alokasi gas untuk domestik juga terus mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir. Bahkan sejak 2012, porsi salur gas bagi sektor domestik lebih besar dibanding alokasi untuk ekspor.

Hingga Juni 2023, produksi gas nasional yang dialokasikan untuk domestik di tahun ini mencapai 3.636,82 BBTUD, sementara porsi gas yang diekspor mencapai 1.960,71 BBTUD.

"Pemerintah berkomitmen untuk terus memenuhi kebutuhan dalam negeri, di mana salur gas untuk domestik saat ini sudah mencapai 65 persen," kata Nanang.

Pada kesempatan yang sama, Country Head Indonesia Rystad Energy Sofwan Hadi mengatakan, produksi gas alam Indonesia saat ini masih memang mampu memenuhi kebutuhan domestik, bahkan bisa diekspor ke negara lain.

Baca juga: Jurus SKK Migas Tertibkan Sumur Minyak Ilegal

Namun, berdasarkan hasil riset dan analisis Rystad Energy, produksi gas alam dari lapangan-lapangan yang ada sekarang diperkirakan hanya berkontribusi 35 persen dari total produksi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam 20 tahun ke depan.

Sementara 65 persen sisanya berasal dari produksi lapangan-lapangan gas baru.

"Data ini menunjukkan peran penting kegiatan eksplorasi secara masif dan pengembangan lapangan migas baru untuk menunda beban impor,” kata Sofwan.

Sejauh ini, beberapa lapangan gas baru sedang dalam proses pengembangan, antara lain Lapangan Andaman di lepas pantai Aceh, Lapangan Mako di kawasan Natuna, IDD Fase 2 (Gendalo dan Gendang) di Kalimantan Timur, Asap Kido Merah di Papua dan Lapangan Abadi, Masela di Maluku.

Produksi gas dari lapangan-lapangan yang baru dikembangkan tersebut diproyeksikan akan memberikan kontribusi sekitar 60 persen bagi produksi gas nasional di 2030, dan naik menjadi 80 persen di 2035.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com