Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sumarjo Gatot Irianto
Analis Kebijakan Utama Kementan

Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian/Presiden Komisaris PT Berdikari (Persero)

Impor Beras: Mengapa Terus Terjadi?

Kompas.com - 29/08/2023, 12:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Gatot Irianto dan Maranatha Simbolon*

IMPORTASI pangan periode pemerintahan Presiden Joko Widodo sangat mencengangkan, berbeda dengan janji politiknya mewujudkan kedaulatan pangan (food soverignity). Impor beras, kedelai, daging sapi, bawah putih, buah-buahan, dan sayuran terus meningkat.

Data BPS (2022) menunjukkan bahwa impor beras Indonesia naik hampir 10 persen dibandingkan 2021.

Pada 2023, periode Januari-Juli, impor beras medium sudah mencapai 1,17 juta ton senilai 627,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 9,6 triliun.

Modusnya “menggoreng dan merujak” stok beras bulog tipis, harga beras di pasaran melambung, terjadinya el nino kuat serta antisipasi pengamanan stok pangan jelang pemilu.

Sudah bisa ditebak, pemerintah dan DPR setuju. Celakanya, media, mahasiwa, dan NGO yang biasanya kritis, diam seribu bahasa, seakan tak berdaya menghadapi “tirani mayoritas penguasa”.

Padahal, menurut data BPS, produksi beras nasional sejak 2016-2023 melampaui kebutuhan domestik. Masalahnya, Bulog sejak lama tidak bersungguh-sungguh menyerap beras petani saat panen raya pertama dan kedua.

Pengalaman 2015-2019, produksi padi nasional mencapai kondisi maksimal melalui Upaya khusus (UPSUS) yang didukung penuh TNI AD, pemerintah provinsi dan kabupaten se Indonesia, dan Kementerian Pertanian turun tangan membantu menyerap gabah petani saat panen raya melalui Serap Gabah Petani (SERGAP).

Ironisnya, Bulog tetap juga mengimpor beras 2,25 juta ton pada 2018. Pertanyaan fundamentalnya, mengapa impor beras terus terjadi dan apa faktor determinannya?

Impor beras akan terus terjadi?

Banyak faktor penyebab impor beras terus terjadi dan berulang dalam jangka 20 tahun terakhir. Penyebabnya bukan pasokan dalam negeri yang tidak mencukupi, tetapi karena margin keuntungan yang dahsyat karena disparitas harga beras dalam negeri yang tinggi.

Data Bank dunia, pada Juni 2023, harga beras melonjak mencapai 514 dollar AS per Ton (setara Rp 7.710. 000) naik 15,8 persen dibandingkan tahun 2021.

Sementara harga beras premium di pasar domestik mencapai Rp 13.500 per kg (ada selisih harga Rp 5. 750 per kg).

Kalau impor beras 2 juta ton, maka paling tidak ada selisih Rp 11,5 triliun. Angka yang sangat menggiurkan, bahkan untuk pembiayaan tahun politik 2024.

Itulah sebabnya, sampai kapanpun impor beras bakal terus dilakukan. Semakin besar importasi, maka semakin besar margin yang diperoleh.

Masalah kedua, stok beras lebih banyak dikuasai oligarki pedagang beras besar, sehingga pasokan dan harga beras mudah digoreng dan dipermainkan kapan saja untuk membentuk opini publik.

Diperburuk lagi dengan penguasaan media oleh oligarki/pemilik modal untuk menggiring opini publik tentang stok beras Bulog menipis, kemampuan serapan Bulog rendah, inflasi yang tinggi.

Rente yang sangat besar ini sangat menggiurkan penguasa, pengusaha, spekulan, dan pemburu rente.

Mengapa disparitas harga beras domestik dan internasional semakin besar? Jawaban fundamentalnya, karena pertanian Indonesia small size, tradisional, biaya tenaga kerja terus melambung, peningkatan upah minimum regional (UMR) setiap tahun, sehingga biaya produksi padi terus meningkat.

Dipastikan, Harga Pokok Produksi (HPP) padi Indonesia terus meningkat, sementara harga beras di pasar internasional “relatif tetap”.

Importasi pangan terus menerus telah mendistruksi sistem produksi pangan dan mendistorsi harga beras domestik.

Komoditas korbannya antara lain, kedelai konsumsi 90 persen diimpor, bawang putih hampir 95 persen impor.

Saat ini distruksi sistem produksi sedang mendera beras. Sejak 2019, investasi pemerintah dalam peningkatan produksi padi tidak mampu me-”leverage” peningkatan produktivitas padi nasional.

Kesimpulan ini didasarkan pada hasil analisis data produksi padi 1960-2022 menggunakan artificial neuron network.

Bukti bahwa keuntungan usaha tani padi semakin terus tergerus, bahkan untuk small scale sudah lama merugi.

Dampaknya, petani tidak melakukan inovasi teknologi produksi padi nasional, kecuali ada bantuan pemerintah dalam bentuk bansos. Setelah bansos diberhentikan, petani kembali ke pola lama.

Oleh karena terus merugi, petani memilih menjual sawahnya untuk dikonversi, dan saat itulah dimulai pemiskinan absolut secara massal dan masif.

Fenomena ini diakselerasi dengan masifnya pembangunan jalan tol yang membelah lahan subur di Jawa dan Sumatera.

Cepat dan pasti dalam jangka menengah sawah subur akan terkonversi jadi beton menjulang. Importasi beras berkelanjutan menjadi keniscayaan.

Pemerintahan harus menghentikan fenomena tersebut dengan menurunkan biaya produksi at all cost melalui disrupsi teknologi sektor pertanian.

Jika teknologi produksi padi dapat didisrupsi secara masif, cepat dan murah, maka dipastikan akan ada lompatan produksi dan keuntungan usaha padi nasional, bahkan bisa mencapai kedaulatan pangan dan ekspor.

Pertanyaannya, bagaimana mendisrupsi sektor pertanian?

Disrupsi teknologi sektor pertanian

Disrupsi sektor pertanian dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yakni penurunan biaya produksi minimum 50 persen, produktivitas naik 100 persen, pendapatan hilirisasi naik 100 persen.

Secara praktikal, penurunan biaya produksi padi melalui tanpa olah tanah (minimum/zero tillage), tanam sebar (broadcast), pemupukan, penggendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) menggunakan drone, sehingga cepat, luas, homogen dan murah biayanya.

Pengujian di lahan rawa Banyuasin mampu menurunkan biaya produksi 50 persen dengan produktivitas 11-12 ton/ha gabah kering panen.

Tanam benih padi 90 kg disebar sehingga populasi tanaman padi 300 persen lebih tinggi tanpa penyiangan.

Jika pemupukan dan pengendalian OPT menggunakan drone, maka akan lebih cepat, merata dan harganya murah. Pendekatan tersebut dapat menghasilkan B/C rasio lebih dari 2,25.

Jika industri beras dikembangkan lebih lanjut dengan memproduksi rice bran oil, maka dengan rendemen 10 persen dari bekatul 1 ton bekatul, maka rice bran oil yang dihasilkan mencapai 100 liter.

Jika harga rice bran oil Rp 70 000 per liter, maka ada tambahan pendapatan petani Rp 7 juta. Lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh dari beras.

Pemerintah perlu memfasilitasi dua hal untuk akselerasi mendisrupsi sektor pertanian: kredit murah untuk alat produksi rice bran oil dan membantu pemasaran dengan menghubungkan ke sektor farmasi, kesehatan untuk keperluan antiaging dan kosmetik.

Jika industri rice bran oil berkembang luas, maka gairah budidaya padi bergerak cepat dan investasi sektor pertanian lebih bergairah.

Hanya melalui pendekatan disruptive ini masalah importasi beras dapat dipatahkan, bahkan diputar menjadi ekspor beras. Sekarang saatnya pemerintah bersama rakyatnya berbuat atau tidak sama sekali.

*Advisory Board IFRI/ANJAK Utama dan Peneliti IFRI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com