SIKAP blak-blakan Presiden Joko Widodo saat membuka Rakornas Pengendalian Inflasi 2023 di Istana Negara Jakarta, Kamis (31/08), menuai banyak atensi publik. Dalam sambutannya, ia membocorkan resep sukses pengendalian inflasi di Indonesia.
Di tengah risiko ketidakpastian global yang masih tinggi, tingkat inflasi nasional relatif lebih terjaga ketimbang negara-negara lain di dunia.
Angka inflasi Agustus 2023 tercatat sebesar 3,27 persen (year-on-year), tetap terjaga dalam kisaran sasaran 3,0±1 persen.
Capaian yang baik itu, menurut Presiden, mampu diraih berkat bauran kebijakan pengendalian inflasi. Tidak seperti di negara lain, ikhtiar pengendalian inflasi di Indonesia bukan hanya diletakkan di pundak Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter.
Di sisi pemerintah, kebijakan fiskal juga diarahkan untuk mencapai stabilitas harga-harga barang dan jasa. Misalnya, anggaran ketahanan pangan.
Pada APBN 2023, alokasi anggaran ketahanan pangan mencapai Rp 100,9 triliun dan akan naik 7,8 persen pada 2024 menjadi Rp 108,8 triliun.
Lewat pos ini, bantuan benih, bibit, alsintan, dan pembangunan jalan pertanian dikucurkan untuk menjamin ketersediaan pasokan pangan.
Di samping itu, koordinasi erat antarpemangku kepentingan di daerah yang tergabung dalam Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) juga berkontribusi besar dalam menjaga kestabilan harga-harga. Sebab seringkali faktor pendorong inflasi justru bermuara dari daerah.
Mulai dari musim panen bergeser karena cuaca, persoalan distribusi barang, hingga kualitas infrastruktur yang belum memadai. Di sinilah muncul peran TPID untuk memecahkan masalah atau mengekskalasinya ke tingkat pusat.
Oleh karena itu, tidak heran jika Presiden Jokowi mewanti-wanti para kepala daerah untuk selalu mengecek harga-harga di lapangan. Supaya akar permasalahan inflasi bisa segera terdeteksi, dan cepat-cepat dimitigasi lewat kewenangan di tingkat daerah.
Dalam konteks itu pula, Presiden memutuskan menaikkan Dana Insentif Daerah (DID) pada tahun depan agar memacu daerah terus bekerja secara detail, teliti, dan antisipatif.
Khususnya untuk memitigasi risiko El Nino dan disrupsi rantai pasok lainnya yang berpotensi mengerek angka inflasi.
Harus diakui, dalam beberapa tahun terakhir, upaya pengendalian inflasi nasional memang lebih banyak diwarnai dengan langkah non-konvensional.
Inflasi Indonesia bukan lagi didorong oleh suplai uang yang berlebih, seperti teori Adam Smith atau era hiperinflasi nasional tahun 1960-an.
Pada masa itu, Pemerintah banyak mencetak uang untuk mendanai proyek infratruktur, pembangunan, dan membayar hutang negara. Akibatnya, suplai uang jadi berlebih dan justru menurunkan nilai riil dari uang.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.