Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggito Abimanyu
Dosen UGM

Dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketua Departemen Ekonomi dan Bisnis, Sekolah Vokasi UGM. Ketua Bidang Organisasi, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

Rupiah Terpuruk, Mengapa dan Bagaimana?

Kompas.com - 09/10/2023, 05:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MINGGU yang lalu, rupiah ditutup di tingkat Rp 15.605 per dollar AS. Rupiah konsisten terdepresiasi lima bulan berturut-turut di atas 6 persen.

Bahkan, rupiah telah terkoreksi 19 minggu cukup dalam, pernah menguat selama 3 minggu, secara konsisten melemah sejak Mei 2023.

Di samping melemah rupiah juga mengalami volatilitas cukup tinggi pada 2023. Pergerakan rupiah tahun ini berada di rentang Rp 14.665-15.630 per dollar AS. Mengapa?

Faktor global menjadi penyebab utama. Inflasi global yang belum mereda menyebabkan Fed masih belum turun, bahkan menaik. Sehingga selisih suku bunga dengan rupiah tetap melebar, investasi portofolio terus mengalir ke AS.

Inflasi global dan di AS dianggap masih terlalu tinggi, dan sepertinya kenaikkan suku bunga the Fed lebih lanjut dan mempertahankan pada tingkat yang ketat untuk beberapa waktu.

Bank Indonesia pernah agresif meningkatkan suku bunga tahun lalu, namun tahun ini menjadi relatif lebih netral dengan mempertahankan suku bunga Bank Indonesia (7DRR) di tingkat 5,75 persen.

Bank Sentral AS, the Fed, lebih hawkish dengan kebijakan beberapa kali masih menaikkan suku bunganya tahun ini. Tentunya, kebijakan tersebut menjadikan selisih antara suku bunga Indonesia dan AS semakin lebar.

Hal ini menyebabkan terjadinya dana asing keluar untuk mengamankan dari ketidakpastian mata uang serta mencari tempat berinvestasi yang relatif lebih menguntungkan.

Pelemahan Rupiah 2023

Tahun 2022, cadangan devisa Indonesia menurun dalam tujuh bulan beruntun sebelum naik pada November 2022.

Hal ini sudah bisa memberikan gambaran tipisnya pasokan valas di dalam negeri. Padahal seharusnya bisa meningkat sebab neraca perdagangan terus mencetak surplus.

Tampaknya masih terjadi para eksportir menempatkan dollar AS mereka di Singapura. Pasalnya, suku bunga deposito valas di Singapura lebih tinggi ketimbang di Indonesia.

BI merespons dengan kebijakan Devisa Hasil Ekspor yang lebih ketat untuk para eksportir agar menempatkan beberapa saat di bank di Indonesia.

Rupiah juga mengalami pelemahan pada Maret, akibat investasi asing yang kabur dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 3 triliun pada awal Maret 2023. Selain itu, outflow di pasar SBN dipengaruhi oleh sentimen kenaikan suku bunga the Fed.

Di sisi lain, terjadi capital outflow dari pasar keuangan domestik yang mengakibatkan nilai tukar rupiah tertekan. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan investor asing masih meninggalkan pasar keuangan Indonesia sehingga terjadi capital outflow.

Dari data transaksi Bank Indonesia (BI) pada akhir September 2023, investor asing melakukan aksi jual neto hampir Rp 8 triliun sebagian besar di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan juga di pasar saham.

Isu utang Amerika Serikat juga menjadi salah satu penekan dollar AS. Kementerian Keuangan AS menunjukkan per 31 Maret utang AS menembus lebih dari 30 triliun dollar AS. Kondisi ini diperparah dengan ancaman anggaran belanja AS yang menipis.

Respons Bank Indonesia

Melihat kondisi ini, Bank Indonesia diyakini telah melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk mengelola pasokan dan permintaan dollar AS.

Meskipun genting, pejabat Bank Indonesia meyakini arus keluar modal dari negara masih terkendali, dan apabila harganya jatuh, Bank Indonesia siap menstabilkan dengan membeli obligasi untuk mengelola imbal hasil.

Bank Indonesia tampaknya terus bersiap di pasar untuk memastikan keseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing sehingga membangun kepercayaan pasar.

Rupiah melanjutkan depresiasinya pada hari Selasa, mencapai level terlemahnya sejak awal Januari sebesar 15.610 per dolar. Sementara imbal hasil obligasi acuan sepuluh tahun naik hingga di atas 7 persen, tertinggi sejak Maret 2023.

Pergerakan tersebut terkait dengan sentimen terhadap aset-aset berisiko akibat kebijakan moneter AS yang hawkish. Kita yakin BI akan terus memonitor pergerakan imbal hasil T-bill AS.

Menarik untuk mengantisipasi pertemuan kebijakan moneter Bank Indonesia selama dua hari pada 18-19 Oktober.

Pemerintah menaikkan suku bunga sebesar 225 basis poin antara Agustus 2022 hingga Januari tahun ini, untuk melawan inflasi dalam negeri. Namun sejak itu tetap bertahan dalam setiap tinjauan kebijakan bulanannya karena inflasi telah kembali ke target.

Kali saatnya Bank Indonesia untuk cermat mengambil kebijakan suku bunganya. Kenaikan suku bunga 25 bps bisa menjadi shock terapi yang pas untuk memukul balik para spekulan. Kita tunggu keputusannya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com