Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Hukum PKPU Masih Tinggi, UU Tentang Kepailitan Dinilai Perlu Direvisi

Kompas.com - 27/10/2023, 10:00 WIB
Kiki Safitri,
Aprillia Ika

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Para ahli menilai Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Indonesia saat ini belum mampu mengakomodir kepastian hukum bagi kreditur dan debitur dalam penyelesaian masalah utang-piutang.

Menurut Managing Partner Dwinanto Strategic Legal Consultant (DSLC), Rizky Dwinanto, UU ini seharusnya ditujukan untuk melindungi debitur yang mengalami kesulitan dalam berbisnis, namun sekarang banyak digunakan oleh kreditur untuk melakukan penagihan utang.

Dia menilai, penggunaan UU No. 37/2004 telah bergeser dari tujuan utamanya, sebagai salah satu sarana untuk penyelesaian utang-piutang yang adil, cepat, transparan dan efektif. Selain itu juga untuk melindungi debitur yang mengalami kendala dalam berusaha atau berbisnis.

“Melalui UU tersebut debitur yang mengalami kesulitan dalam berusaha sehingga terkendala dalam menunaikan kewajiban pembayaran utangnya kepada kreditur, dapat mengajukan skema PKPU,” kata Rizky dalam siaran pers, Kamis (26/10/2023).

“Atau mungkin kalau debitur yang benar-benar sudah sangat kesulitan dalam berbisnis dan membayar utangnya, dia bisa memakai mekanisme pengajuan pailit. Jadi fokusnya ke perlindungan debitur,” tambahnya.

Baca juga: Status PKPU PTPP Dicabut, Operasional Kembali Normal

Rizky menilai, saat ini UU No. 37/2004 justru dijadikan alat atau skema hukum untuk melakukan penagihan utang oleh kreditur kepada debitur. Akibatnya, mayoritas permohonan PKPU dan pailit di Indonesia justru lebih banyak datang dari kreditur.

“Kalau berangkat dari fenomena saat ini, ketika utang belum terbayar 2 bulan sudah dimohonkan PKPU, lalu utang Rp 100 juta belum terbayar sudah diajukan PKPU. Ini akhirnya jadi moral hazard. Seharusnya kita lihat dulu kondisi perusahaan debitur dan kondisi ekonomi saat ini. Supaya jangan sedikit-sedikit PKPU atau pailit,” tambahnya.

Untuk itu, dia menilai penting revisi UU No. 37/2004 agar sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi perekonomian saat ini. Dia menambahkan, hukum kepailitan yang kuat dan konsisten dapat membantu mengurangi risiko penyalahgunaan proses kepailitan.

Namun, penyelesaian dalam kasus kepailitan harus adil bagi semua pihak, baik kreditur maupun debitur. Tidak adanya kepastian dalam penyelesaian kepailitan dapat meningkatkan persepsi risiko dalam pemberian pinjaman oleh lembaga keuangan.

Baca juga: Rawan Disalahgunakan, Pengamat Awasi Tren Meningkatnya PKPU dan Kepailitan

 


Presiden Direktur AJ Capital Geoffrey D. Simms menyatakan dalam sistem ekonomi yang semakin kompleks dan terhubung (melampaui batas negara), hukum harus dapat memberikan rasa keadilan dan perlindungan yang sama, baik bagi kreditur maupun debitur.

“Kreditur, debitur, dan pengadilan semuanya harus berpartisipasi dan memiliki peran masing-masing dalam proses kepailitan dan PKPU. Pengadilan niaga tentu akan berusaha untuk menemukan penyelesaian yang adil bagi semua pihak. Pengadilan niaga juga harus berusaha untuk menjaga perusahaan [debitur] tetap beroperasi dan memberikan perlindungan kepada semua pemegang saham. Itu adalah semangat hukum modern,” ujar Simms.

Simms bilang, hukum harus digunakan sebagai sarana untuk melakukan restrukturisasi bisnis yang sehat dengan memastikan hak-hak para kreditur terlindungi sambil membantu mengatasi masalah perusahaan (debitur) yang mengalami kesulitan agar kembali sehat dan dapat menyelesaikan kewajiban yang dimilikinya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com