SUHU politik Tanah Air hari-hari ini nampaknya semakin menghangat, menjelang pemilu 2024. Tentunya kita mengharapkan tidak memudarkan atensi pemerintah terkait target pembangunan.
Salah satu di antaranya, yaitu target percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem.
Pemerintah harus berpacu dengan waktu guna mencapai target kemiskinan ekstrem yang ditentukan nol persen pada 2024. Praktis tinggal menyisakan waktu kurang lebih empat bulan saja dari November 2023.
Pengumpulan data lapangan untuk memotret kemiskinan ekstrem oleh BPS melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) akan dilakukan pada Maret 2024.
Berdasarkan Susenas Maret 2023, kemiskinan ekstream di Indonesia masih menyisakan 1,12 persen. Kelompok ini hidup bawah garis kemiskinan internasional yang nilainya setara dengan 1,9 dollar AS per kapita per hari.
Pemerintah memiliki perhatian serius terhadap tujuan pertama dari 17 agenda pembangunan berkelanjutan ini. Melalui Instruksi Presiden No. 4 tahun 2022 tentang percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem, pemerintah berupaya mencapai target ini melalui keterpaduan dan sinergi program serta kerja sama antarkementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.
Upaya ini kemudian digariskan melalui tiga strategi besar percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem, yaitu pengurangan beban pengeluaran masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat serta penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan seperti yang termuat dalam Keputusan Menko PMK Nomor 32 tahun 2023.
Dengan sisa waktu yang tersedia, mampukah target strategis ini tercapai?
Secara teori, kemiskinan kerap dikaitkan dengan mereka yang bekerja di sektor pertanian. Hal itu disahihkan oleh Bank Dunia untuk kemudian menjadi kunci dalam mengatasi masalah kemiskinan ekstrem.
Bank Dunia menyebutkan dengan kutipannya “Agricultural development is one of the most powerful tools to end extreme poverty, boost shared prosperity, and feed a projected 10 billion people by 2050. Growth in the agriculture sector is two to four times more effective in raising incomes among the poorest compared to other sectors”.
Meskipun pernyataan Bank Dunia tersebut merupakan pandangan dalam konteks global, namun cukup relevan dengan konteks percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem di Indonesia saat ini.
Tercatat bahwa mayoritas kepala rumah tangga miskin ekstrem di Indonesia berstatus bekerja, yang menurut hasil Susenas Maret 2022 mencapai 86,9 persen.
Catatan ini sekaligus diharapkan mampu meluruskan paradigma yang memandang bahwa kemiskinan ekstrem identik dengan mereka yang tidak bekerja atau menganggur.
Alih-alih tidak bekerja, justru mereka yang miskin ekstrem berstatus pekerja, tetapi upahnya tidak cukup untuk keluar dari kemiskinan ekstrem.
Secara empiris, masih dari Susenas Maret 2022, rumah tangga miskin ekstrem sebagian besar menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Lebih dari separuhnya atau sebesar 58,4 persen kepala rumah tangga miskin ekstrem bekerja di sektor pertanian.