Selain itu, masyarakat juga bisa dirugikan karena bisa saja ada pelaku usaha yang memberi penawaran lebih menguntungkan kepada masyarakat, tetapi karena pelaku usaha tersebut tidak mendapat cadangan dari pihak berwenang, maka mereka gagal mendapatkan proyek tersebut.
Bentuk perilaku perburuan rente kedua yang sering dijalankan oleh pejabat publik di Indonesia adalah menerbitkan izin usaha kepada pelaku bisnis di sektor-sektor strategis seperti izin impor, ekspor, atau izin usaha lainnya.
Melalui penerbitan izin tersebut, pejabat publik menyediakan keistimewaan berusaha bagi pelaku tertentu.
Sebagai imbalannya si pejabat publik akan mendapatkan fee atau komisi dari perusahaan yang telah menerima ‘karpet merah’ melalui izin tertentu itu.
Ketiga, perilaku perburuan rente juga tampak adalah proses mekanisme tender proyek. Dalam hal ini para pihak yang berkepentingan melobi para pejabat pengambil keputusan agar memuluskan dan menguntungkan pihak tertentu.
Tentu saja praktik-pratik seperti itu sangat merugikan masyarakat. Sebab, pada umumnya kesepakatan antara elite eksekutif berimplikasi pada pelaksanaan proyek.
Pratik perburuan rente berdampat negatif bagi pertumbuhan ekonomi, karena baik secara langsung maupun tidak langsung dengan meningkatkan biaya produksi dan menghasilkan inefisiensi sosial (Ugur, 2014).
Bukan hanya di Indonesia, di banyak negara lain gelora perilaku perburuan sangatlah sulit dipadamkan. Sebab, ibarat api di dalam sekam, pada umumnya aktivitas perburuan rente dilakukan dengan strategi ‘senyap’.
Walau dampaknya nyata dirasakan publik, tetapi sulit dibuktikan siapa pelaku utamanya.
Selain itu para ‘aktor’ umumnya adalah elite yang tak jarang terafiliasi dengan oknum-oknum penegak hukum. Sehingga tak jarang kasus perburuan rente tidak ditangani pihak penegak hukum secara tuntas.
Seringkali pula penegakan hukum tampak ‘loyo’ di hadapan para aktor perburuan rente yang terbukti melanggar hukum. Mereka kemudian memberikan saksi hukum yang tidak menimbulkan efek jera.
Tak jarang pula desakan publik, kritik dan himbauan moral terhadap para pelaku perburuan rente, tidak mendapat respons yang wajar, bahkan dianggap seperti angin lalu.
Bahkan, seringkali dari balik jeruji penjara, pemburu rente masih leluasa membangun jejaringan untuk terus melanjutkan aksi perburuan rente dengan modus baru.
Meski demikian, bangsa ini, terutama para penegak hukum, tak boleh berputus asa dalam upaya memberangus perilaku perburuan rente.
Warga bangsa ini harus tetap memompa energi baru agar para penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan pendekatan holistik untuk mencegah dan memberantas aktivitas perburuan rente.