Kolom Biz
Dradjad H Wibowo
Ekonom

Ekonom, Lektor Kepala Perbanas Institute, Ketua Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI), Ketua Pendiri IFCC, dan Ketua Dewan Pakar PAN.

Hilirisasi Digital Bukan Semata Digitalisasi: Belajar dari Kesalahan Hilirisasi Migas

Kompas.com - 29/12/2023, 20:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HILIRISASI digital adalah sebuah istilah baru yang diperkenalkan oleh calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka dalam Debat Cawapres Pemilu 2024 pada 22 Desember 2023. 

Istilah ini kemudian menjadi salah satu topik yang cukup banyak didiskusikan publik. Karena masih baru, wajar jika publik memperdebatkan apa yang dimaksud dengan hilirisasi digital itu, termasuk menyoal konsep yang mendasarinya.

Wajar juga jika kemudian muncul pro-kontra. Melalui tulisan ini saya akan menjelaskan konsep tersebut, memakai pendekatan perubahan struktural dalam Ekonomi Pembangunan dan Analisis Input-Output (AIO).

Yang pasti, hilirisasi digital bukan semata digitalisasi.

Hilirisasi

Model perubahan struktural pertama kali diusulkan oleh pemenang Nobel Sir William Arthur Lewis pada 1954 melalui karya seminal berjudul Economic Development with Unlimited Supplies of Labour.

Dengan model dua-sektor, Sir William menjelaskan cara sebuah perekonomian bertransformasi struktural dari pertanian subsisten (swasembada) ke industri maju dan modern.

Ringkasnya, reinvestasi keuntungan menghasilkan akumulasi kapital dan ekspansi sektor industri. Dengan asumsi upah tenaga kerja tetap, ekspansi ini menggeser surplus tenaga kerja dari pertanian ke industri. Sir William kemudian dikenal sebagai pionir Ekonomi Pembangunan.

Dengan pengertian di atas, hilirisasi merupakan sebuah proses perubahan struktural dari perekonomian berbasis bahan baku menjadi menjadi berbasis industri hilir dengan nilai tambah yang jauh lebih tinggi.

Bahan bakunya bisa berasal dari ekstraksi sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi (migas), batu bara dan mineral, baik logam maupun non-logam. Bisa juga bahan baku berasal dari hasil primer pertanian dalam arti luas, seperti biji-bijian, hasil hutan kayu dan non-kayu, serta hasil perkebunan, perikanan, peternakan dan hortikultura.

Bahan baku bukan hanya barang berwujud (tangible), melainkan bisa juga barang tidak berwujud (non-tangible) atau bahkan jasa-jasa. Sumber bahan baku bisa domestik, tapi juga bisa impor.

Selain itu, tidak jarang output dari sebuah hilirasi menjadi bahan baku atau bahan antara untuk hilirisasi berikutnya.

Hilirisasi migas

Agar lebih konkret, saya mengambil contoh migas.

Sesuai UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, kegiatan usaha hulu migas bertumpukan pada kegiatan usaha ekplorasi dan eksploitasi, dengan produk berupa minyak bumi dan gas alam setelah dipisahkan dan dimurnikan di lapangan.

Sementara itu, kegiatan hilir usaha migas bertumpu pada pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan atau niaga. Produknya bermacam-macam.

Jika mengacu pada PP Nomor 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Migas, produk tersebut dapat berupa bensin, solar, minyak tanah, avgas, avtur, LNG, LPG, aspal, dan berbagai hasil olahan seperti naphta, kecuali pelumas dan produk petrokimia.

Karena itu, hilirisasi migas dapat dikatakan mempunyai tiga segmen.

Pertama, pembangunan industri dari pengilangan hingga penghasil produk-produk di atas. Kedua, pembangunan industri petrokimia hulu yang memproses naphta dan/atau kondensat menjadi olefin, aromatik, dan parafin.

Ketiga, pembangunan industri petrokimia antara dan hilir, dengan produk akhir seperti plastik, serat sintetis, karet sintetis, pestisida, detergen, pelarut, pupuk, berbagai jenis obat (termasuk aspirin) dan vitamin.

Pengalaman buruk hilirisasi migas

Sektor hulu migas Indonesia pernah berjaya pada periode 1972-1997. Pada 1977 lifting minyak Indonesia di atas 1,6 juta barrel per hari (bph), lalu menjadi sekitar 1,5 juta bph hingga 1997/98. Setelah itu cenderung turun, hingga hanya 612,3 ribu bph pada 2022.

Yang sangat disayangkan, pada masa jaya tersebut Indonesia tidak maksimal membangun ketiga segmen hilirisasi di atas. Akibatnya antara lain, industri pengilangan kita tertinggal jauh dari Singapura yang tidak punya migas. Ironis, kan?

Konsekuensi yang lebih serius, banyak kesempatan ekonomi menjadi hilang. Misalkan, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT). Pelaku TPT saat ini kedodoran menghadapi gempuran TPT impor yang jauh lebih murah, termasuk yang ilegal.

Ilustrasi lokasi produksi minyak dan gas (migas).SHUTTERSTOCK/IURII Ilustrasi lokasi produksi minyak dan gas (migas).

Andai saja sekarang kita punya industri polyethylene terephthalate (PET) yang berdaya saing tinggi, industri serat sintetis dan TPT Indonesia akan lebih mampu bersaing. Bukan hanya mereka, industri plastik dan kemasan juga bakal lebih kompetitif.

Efek selanjutnya, berapa juta UMKM garmen, pedagang ritel, makanan, minuman dan sebagainya yang akan lebih murah biaya usahanya?

Poin saya, memang sebagian besar hilirisasi itu padat modal. Tapi keberhasilannya akan menolong banyak UMKM.

Bukti yang paling nyata adalah hilirisasi gandum berupa industri mi instan. Meski bahan bakunya impor, industri mi instan terbukti menciptakan peluang usaha bagi banyak UMKM.

Itulah kesempatan ekonomi yang hilang ketika kita gagal berhilirisasi.

Ekonomi digital

Istilah ekonomi digital (digital economy) pertama kali dimunculkan pada akhir dekade 1990-an, antara lain oleh Dan Tapscott (1996) dalam artikelnya The Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence.

Setelah itu, berbagai definisi diusulkan oleh berbagai pihak, menimbulkan ketidakbakuan pengukuran ekonomi digital.

Melalui publikasi pada 2008, International Standard Industrial Classification of All Economic Activities, Rev. 4, PBB membakukan industri apa saja yang termasuk dalam ekonomi digital, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.

Daftar Industri dalam Ekonomi Digital- Daftar Industri dalam Ekonomi Digital

Bank Pembangunan Asia (ADB) pada 2021 kemudian merinci produk apa saja yang dikategorikan sebagai produk ekonomi digital (Tabel 2).

Daftar Produk Inti dari Ekonomi Digital- Daftar Produk Inti dari Ekonomi Digital

Berdasarkan AIO, ADB mengukur kontribusi ekonomi digital terhadap pendapatan domestik bruto (PDB).

Mereka juga mengukur kontribusi dari industri yang memungkinkan adanya ekonomi digital (digitally enabling industries atau DEI), seperti industri semikonduktor. Kontribusi dari industri yang dimungkinkan oleh ekonomi digital (digitally enabled industries atau DEdI) diukur pula.

Dalam bahasa AIO, DEI ini disebut sebagai keterkaitan ke belakang (backward linkage), sementara DEdI keterkaitan ke depan (forward linkage). Adapun dalam bahasa industrialisasi, DEI adalah sektor hulu dan DEdI merupakan sektor hilir dari ekonomi digital.

Hilirisasi digital

Dengan penjelasan tentang hilirisasi dan ekonomi digital di atas, kita dapat mendefinisikan hilirisasi digital sebagai “sebuah perubahan struktural berupa pembangunan sektor hilir di mana produk ekonomi digital menjadi bahan baku/antara sehingga didapat nilai tambah yang jauh lebih tinggi”.

Melalui hilirisasi digital, kita membangun keterkaitan ke depan dari ekonomi digital, yaitu DEdI.

Sebagian pihak menganggap hilirisasi digital adalah digitalisasi. Pandangan ini keliru.

Karena, digitalisasi adalah transformasi dari analog/non-digital menjadi digital, yang dapat dilakukan baik pada sektor hulu dan hilir maupun pada ekonomi digital itu sendiri.

Sebagai contoh, pemanfaatan teknologi digital dalam produksi semikonduktor (sektor hulu). Itu adalah digitalisasi, tapi bukan hilirisasi digital.

Contoh lain, perbankan merupakan salah satu DEdI. Perbankan banyak memakai produk ekonomi digital sebagai bahan baku/antara.

Ketika sebuah bank mengembangkan mobile banking, itu adalah digitalisasi. Namun, ketika bank itu mempekerjakan ilmuwan data yang menambang, mengolah, dan menganalisis data dari mobile banking, itu hilirisasi digital.

Produk hilirisasi digital di sektor perbankan tersebut dapat berupa input strategis bagi direksi, dapat juga berupa produk perbankan baru.

Produk baru ini bisa menjadi bahan baku (baca: pembiayaan) bagi semua sektor maupun konsumen. Terjadilah penciptaan nilai tambah yang sangat tinggi.

Itu baru dari perbankan. Belum lagi DEdI lainnya seperti industri mobil pintar, telepon pintar dan sebagainya.

Contoh di sektor publik, e-government seperti pelayanan pajak adalah digitalisasi.

Namun, ketika Ditjen Pajak menambang data dari dua produk saja, misalnya dari kode ISIC 843 dan 8434 sebagaimana tertera di Tabel 2, terjadilah hilirisasi digital yang menghasilkan sumber penerimaan baru. Dananya masuk APBN, sehingga tercipta nilai tambah berlipat melalui belanja negara.

Contoh lain sangat banyak. Digitalisasi pada sektor pendidikan, kesehatan, pariwisata, pertanian, perdagangan, dan keuangan akan menghasilkan produk ekonomi digital yang sangat bisa dihilirisasi.

Ibu Kota Nusantara (IKN) yang didesain sebagai kota hijau, pintar, dan terdigitalisasi adalah kesempatan hilirisasi digital yang sangat besar.

Karena, banyak sekali produk ekonomi digital yang bisa dinaikkan nilai tambahnya di IKN, seperti misalnya produk berkode induk ISIC 831 (lihat Tabel 2).

Penutup

Bagi orang awam, data yang dihasilkan dari digitalisasi, seperti data mobile banking, hanyalah kode biner bernilai 0 atau 1 tanpa nilai tambah. Hanya barang tidak berwujud.

Tapi tidak demikian bagi pemimpin publik/korporasi, praktisi, dan ilmuwan yang visioner.

Data adalah bahan baku atau bahan antara bagi penciptaan nilai tambah yang jauh lebih tinggi di sektor hilir ekonomi digital. Demikian juga dengan produk lain ekonomi digital, seperti jasa-jasa.

Tapi memang, kita perlu sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif. Yang mampu melihat dan mengolah potensi nilai tambah dari produk ekonomi digital tersebut.

Selain tentunya, kita pun perlu infrastruktur dan ekosistem yang kokoh dan kondusif bagi majunya digitalisasi, ekonomi digital, dan hilirisasi digital.

Jangan sampai kita mengulang pengalaman pahit sektor migas.

 

*Penulis juga adalah Dewan Pakar Prabowo-Gibran

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com