Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/01/2024, 11:37 WIB
Rully R. Ramli,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

"Semula (pajak hiburan) 35 persen tarif tertingginya, (sekarang) pemerintah patok enggak boleh tinggi-tinggi, maksimal 10 persen," tutur Lydia.

Poin kedua yang dijelaskan Lydia ialah, tarif pajak hiburan yang berbeda terhadap jasa hiburan tertentu bukan lah suatu hal yang baru. Pungutan pajak hiburan maksimal sebesar 75 persen untuk jasa diskotek hingga spa sebelumnya juga sudah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Yang membedakan, dalam aturan lama pemerintah tidak menetapkan batas bawah tarif pajak hiburan dan hanya mengenakan batas atas. Kini, pemerintah menetapkan batas bawah sebesar 40 persen, dengan pertimbangan agar pemerintah daerah tidak berlomba-lomba untuk menetapkan tarif pajak hiburan yang rendah terhadap jasa-jasa tergolong hiburan khusus.

"Guna mencegah terjadinya penetapan tarif yang race to bottom," katanya.

Pemerintah membedakan tarif pajak hiburan untuk jasa hiburan umum dan jasa hiburan tertentu dengan pertimbangan, tidak semua masyarakat menikmati jasa hiburan tertentu. Dengan kata lain, jasa hiburan tertentu dianggap sebagai kemewahan.

"Untuk mempertimbangkan rasa keadilan dalam upaya mengendalikan, dipandang perlu untuk menetapkan tarif batas bawahnya," ujar Lydia.

Baca juga: Diteken Jokowi, Ini Aturan yang Bikin Pajak Hiburan Jadi 40-75 Persen

Dipertanyakan alasannya

Terkait dengan adanya pembedaan tarif tersebut, Pengamat pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar mempertanyakan alasan pemerintah menggolongkan karaoke hingga spa ke dalam jasa hiburan khusus. Apalagi, jika pertimbangan pemerintah ialah jasa hiburan khusus hanya dinikmati masyarakat tertentu.

"Objek PBJT (pajak barang dan jasa tertentu) yang tidak dikonsumsi oleh setiap orang tak cuma hiburan 'khusus' bahkan objek PBJT lain yang lebih ekslusif seperti pagelaran busana, kontes kecantikan, vila, hotal, dan yang lainnya," tutur dia.

"Kenapa kok pelaku hiburan 'khusus' ini yang dikenakan tarif tinggi?," sambungnya.

Menurutnya, pemerintah seharusnya perlu menjelaskan alasan pengenaan tarif pajak hiburan yang lebih tinggi terhadap jasa karaoke hingga spa dalam UU HKPD. Pada saat bersamaan, pemerintah juga harus berkoordinasi dengan pelaku usaha.

"Seharusnya dibicarakan terlebih dahulu dengan para pelaku usaha mengingat perbedaan tarifnya yang signifikan," katanya.

Pertanyaan tidak jauh berbeda juga dilontarkan oleh pelaku usaha spa yang tergabung dalam Indonesia Wellness Spa Professional Association (IWSPA). Ketua Umum IWSPA Yulia Himawati mengatakan, spa merupakan kegiatan usaha yang memiliki unsur kesehatan dengan mengembangkan budaya dan kearifan lokal.

"Kalau dibalikin lagi ke Kemenkeu sebagai jenis hiburan, ini sangat kami sesalkan dan asosiasi kami tentu tidak menghendaki hal itu, karena terapis kami profesional yang bersertifikat dan pelatihannya tidak mudah," kata Yulia dalam konferensi pers terkait Kenaikan Pajak Hiburan 40-75 persen di Jakarta.

Yulia mengatakan, berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 11 Tahun 2023 tentang Standar Usaha SPA disebutkan bahwa usaha spa merupakan usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com