Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhidin Mohamad Said
Wakil Ketua Badan Anggaran DPR-RI

Wakil Ketua Badan Anggaran DPR-RI

Kondisi Ekonomi Tertolong Pemilu

Kompas.com - 29/01/2024, 12:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Alasan mempertahankan nilai tukar rupiah cenderung overshoot karena spread dari treasuey bond (T-Bond) saat ini masih cukup tinggi dan hal ini menjadi insentif dan daya tarik bagi masuknya investasi berbasis rupiah.

Alasan lain yang digunakan Bank Indonesia untuk mendorong suku bunga tinggi sebagai akibat adanya kekhawatiran capital outflow juga sepertinya agak berlebihan. Saat ini bond yang dipegang oleh non-resident hanya tinggal 18 persen dibanding sebelumnya yang menyentuh 40 persen.

Dalam waktu bersamaan, pengambilan keputusan Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuan juga berpotensi meningkatkan anggaran operasi moneter sehingga efisiensi kebijakan moneter bisa mengalami penurunan.

Kurang tepatnya resep yang dikeluarkan oleh otoritas kebijakan moneter dapat menambah tekanan terhadap kinerja perekonomian. Ibarat peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga.

Jangan sampai kondisi ekonomi yang saat ini agak mandek, juga harus menanggung beban inefisiensi ekonomi dalam waktu bersamaan.

Ekses negatif dari kurang tepatnya resep kebijakan moneter semakin besar seiring munculnya potensi kanibalisme dalam sumber pembiayaan belanja negara.

Instrumen Sekuritas Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) yang dikeluarkan Bank Indonesia bisa menjadi saingan bagi produk Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah.

Sebagian investor bisa saja lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di SRBI dan SVBI dibanding dengan SBN sehingga permintaan SBN turun. Dampaknya, sumber pembiayaan pemerintah untuk pembangunan menjadi berkurang.

Kita semua sepakat bahwa instrumen SRBI dan SVBI sangat penting dan memang dibutuhkan oleh sistem moneter dalam rangka mendorong pendalaman pasar keuangan di Indonesia yang masih sangat dangkal.

Namun pemilihan momentum penerbitan dua instrumen moneter tersebut menjadi variabel utama yang sangat penting dan harus benar-benar diperhatikan.

Jika kemunculan SRBI dan SVBI tidak tepat momentumnya, maka dampaknya bisa kontraproduktif dengan tujuan pembangunan ekonomi.

Jika tidak dikelola dengan baik, maka keberadaan SRBI dan SVBI berpotensi menciptakan crowding out yang berefek negatif terhadap keberlanjutan pembangunan.

Suku bunga SRBI yang lebih tinggi dari suku bunga acuan akan menjadi sinyal bahwa suku bunga di pasar keuangan sebenarnya berada di atas BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR).

Pada akhirnya, SRBI dan SVBI yang akan berlaku efektif di pasar, alih-alih suku bunga acuan.
Di samping adanya potensi crowding out, kurang tepatnya momentum release SRBI dan SVBI akan memunculkan potensi kanibalisme antara SRBI dan SVBI dengan SBN yang diterbitkan pemerintah.

Momentum release SRBI dan SVBI yang tidak tepat akan memaksa pemerintah untuk menaikkan imbal hasil SBN supaya tetap menarik di mata para investor dan lembaga keuangan.

Namun, langkah ini akan menjadikan beban biaya yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih tinggi.

Jika kondisi ini dibiarkan, maka ujung dari kebijakan ini akan bermuara pada inefisiensi pembiayaan negara. Kondisi yang tentunya sama sekali tidak menguntungkan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Daya beli turun

Efek negatif dari kurang pasnya resep kebijakan moneter dan fiskal bisa berdampak secara langsung pada pola dan perilaku belanja dan tabungan masyarakat.

Kebijakan moneter Bank Indonesia yang ketat bisa berdampak pada keringnya likuiditas dalam perekonomian yang berujung pada menurunnya daya beli masyarakat.

Suku bunga acuan yang tinggi bisa bertransmisi ke dalam kenaikan suku bunga kredit lembaga perbankan.

Tingginya suku bunga kredit menjadikan permintan kredit dari dunia usaha berkurang tajam, ekspansi usaha tidak berjalan, penciptaan lapangan pekerjaan menurun signifikan, dan pendapatan masyarakat tidak mengalami penambahan.

Berbagai indikator dalam sistem pembayaran menunjukkan bahwa fenomena turunnya daya beli mulai terjadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com