Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch S. Hendrowijono
Pengamat Telekomunikasi

Mantan wartawan Kompas yang mengikuti perkembangan dunia transportasi dan telekomunikasi.

Teknologi Kereta Api, Ubah Perilaku Masyarakat

Kompas.com - 12/02/2024, 13:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KA “bendera” kelas Argo, maksimal baru bisa melaju hingga 120 km/jam dengan rata-rata 90 km/jam. Kecepatan tinggi KA bukan hanya ditentukan kuatnya lokomotif, namun juga jenis bogie (perangkai roda) yang digunakan dan rel yang mulus.

Rel untuk kecepatan tinggi haruslah yang tebal dan berat, halus sambungannya. Sambungan rel benjol – walau setebal kuku – akibat pengelasan kurang cermat dapat mengguncangkan KA ke kanan-kiri.

Indonesia sudah mulai menggunakan teknologi penyambungan rel flashbutt welding, menyambungkan dua rel dengan cara dilas listrik ujung-ujungnya, menjadikannya tampak seolah tanpa sambungan.

Beda dengan cara thermite welding yang dilakukan manual dengan membakar kedua ujung rel dan disambungkan sambil ditekan ketika keduanya sudah membara merah.

Untuk KA yang berteknologi maju seperti Whoosh, rel disambung-sambung di pabrik sampai 600-an meter, baru dibawa ke lapangan untuk dipasang.

Bagi rel-rel yang sudah dioperasikan, penyambungan dilakukan di tempat, dan untuk itu tersedia mesin penyambung rel.

Rel yang akan disambung tadi ditempelkan dengan akurasi tinggi, ditekan dari kedua ujungnya lalu dialiri listrik berkekuatan 600 ampere yang menghasilkan panas sekitar 800 sampai 900 derajat celcius.

Ujung-ujung rel membara, meleleh, dan menyatu, kemudian digerinda untuk menghaluskannya, dan itu hanya memakan waktu 10 sampai 30 menit.

Menuju 160 km/jam

Sebenarnya KA konvensional kita bisa melaju hingga 120 km/jam. Kendala sosial berupa banyaknya persilangan sebidang liar tanpa penjaga yang membuat masinis terpaksa menahan kecepatan KA.

Orang banyak tidak paham, rangkaian kereta bermassa besar dan berat – ratusan kali berat mobil pribadi – tidak bisa segera berhenti begitu tuas rem ditarik. KA berkecepatan 90 km/jam perlu jarak 400 meter untuk berhenti.

Jumlah persilangan liar pun terus bertambah sesuai perkembangan permukiman sekitarnya dengan risiko makin banyak kecelakaan maut.

Ditjen KA merencanakan, kecepatan maksimal KA akan ditingkatkan dari 120 km/jam menjadi 160 km/jam. Syaratnya, kondisi rel harus mulus, dilakukan penggantian bogie (perangkai roda kereta), dan tiadanya perlintasan liar atau perlintasan sebidang.

Jika itu pun terlaksana, masih jauh dari kecepatan puncak KA Whoosh yang jadi tonggak kemajuan teknologi di perkeretaapian kita.

Whoosh akan diperpanjang dari Bandung hingga Yogyakarta, kemudian Surabaya dengan masa perjalanan sekitar 4 jam. Entah berapa biayanya.

Di China, layanan KA kecepatan tinggi sudah merata, panjangnya sekitar 40.000 km. Kecepatan KA mereka malah akan ditingkatkan menjadi 600 km/jam dan tidak sampai pindah dekade ini, kecepatan puncak akan menjadi sekitar 1.000 km/jam. Lebih cepat dari pesawat jet penumpang yang rata-rata 880 km/jam.

Pembangunan Whoosh kita, yang semula dirancang “hanya” Rp 86,67 triliun, membengkak menjadi Rp 112 triliun akibat adanya tambahan-tambahan biaya selama pembangunan (overrun).

Panjang jaringan Whoosh 144,1 km dengan 13 terowongan dari Stasiun Halim Jakarta Timur hingga Tegalluar, Bandung timur.

Sementara Bandung – Surabaya (lewat Yogyakarta) jaraknya sekitar 725 km.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com