Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Beras Langka dan Mahal, Ini Aneka Macam Alasan Pemerintah

Kompas.com - 15/02/2024, 09:00 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Beras premium langka di sejumlah toko ritel modern bahkan pedagang pasar ikut menjerit lantaran harga beras terus meroket.

Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) pertama kali bersuara terkait stok beras di sejumlah ritel menipis.

Menurut Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey kelangkaan beras terjadi lantaran sebagian pengusaha ritel yang memilih untuk berhenti memesan beras dari produsen beras, sebab, harga beras yang semakin tinggi jauh di atas harga eceren tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Baca juga: Penyebab Beras Langka, Mendag: Gara-gara Lambat Panen dan Pedagang Malas Jual Beras Bulog

Roy menyebutkan, harga beras premium sudah dibanderol Rp 16.000, sedangkan HET beras premium Rp 13.900. Di sisi lain, para produsen beras mengeluhkan stok beras yang diolah mulai berkurang.

“Sudah sepekan ini beras itu berangsur kurang. Kemudian kita purchasing order (PO) atau kita pesan ke produsen, eh malah harganya tinggi,” ujar Roy saat dihubungi, Sabtu (10/2/2024).

“Sementara kalau peritel membeli harga tinggi dan harus melepas sesuai HET ke konsumen, peritel rugi kan, siapa yang mau nombok. Jadi memang ada yang memilih untuk menyetop pembelian atau pemesan beras dari produsen beras sehingga suplai di ritel memang sedikit atau kosong,” sambungnya.

Biang kerok kondisi perberasan dalam negeri tersebut langsung direspons pemerintah pusat dengan berbagai penjelasan dan upaya mengatasinya.

Baca juga: Masa Panen Mundur, Pemerintah Putuskan Impor 1,6 Juta Ton Beras

 

Berikut ini biang kerok beras langka dan mahal versi pemerintah:

Masa panen mundur

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengatakan, kelangkaan beras disebabkan salah satunya oleh masa panen beras di dalam negeri yang lambat.

Karenanya, kata dia, pemerintah harus memasok beras impor ke pasaran agar kebutuhan masyarakat terpenuhi.

"Beras itu memang kita lambat kan panennya. Nanamnya lambat, panennya lambat. Tetapi kan kita (pemerintah) sudah isi dengan impor yang banyak," ujarnya saat ditemui di TPS 179, Cipinang Muara, Jakarta, Rabu (14/2/2024).

Zulkifli mengatakan, pemerintah berupaya menggelontorkan beras impor ke masyarakat untuk mengantisipasi kelangkaan dan stabilitas harga beras.

Baca juga: Airlangga Bantah Bansos Pangan Sebabkan Beras Langka dan Mahal

 


Meski demikian, pemerintah juga memastikan impor beras ini tidak merugikan petani lokal.

"Sekarang di petani harga beras itu kan dibeli Rp 11.000-an, gabah itu Rp 8.000 jadi tinggi sekali. Nah untuk mengatasi harga mahal itu, pemerintah, Bulog suplai ke pasar-pasar dari 100.000 sampai 200.000 ton per bulan, sekarang ditingkatin 250.000 ton," ucapnya.

Senanda dengan Zulhas, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan,menipisnya stok beras dilihat dari musim panen yang mundur sehingga produksi beras dalam negeri ikut mundur dari Maret-April menjadi April Mei, dan Juni.

"Sehingga kemarin pemerintah memutuskan untuk impor. Dan sekarang realisasinya masih ada sekitar 1,6 juta (ton beras) lagi untuk masuk," kata Airlangga di TPS 05 Melawai, SMK Negeri 6 Kebayoran Baru, Jl Prof. Joko Sutono Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu.

Airlangga mengatakan, untuk mengatasi kelangkaan beras dan menjaga stabilitas harga, beras SPHP yang masuk ke pasar ditingkatkan dari 150.000-200.000 ton per bulan menjadi 250.000 ton per bulan.

Kemudian, kata dia, distribusi beras tersebut dipermudah.

"Di lapangan diberi kesempatan untuk dilakukan repackaging, katakanlah dari ukuran 20kg, 50 kg, ke 5kg. Dan ongkosnya diganti. Itu kemaren solusi yang diberikan," ucap dia.

Baca juga: Ini Penyebab Kelangkaan Beras Menurut Mendag

 

Keuntungan pedagang beras sedikit

Zulkifli mengungkapkan, selain masa panen, biang kerok elangkaan beras di pasaran disebabkan oleh para pedagang yang enggan menjual beras dari Perum Bulog.

Pasalnya, beras Bulog hanya menghasilkan keuntungan yang sedikit bagi mereka.

Sebagai informasi, beras Stabilitas Pasokan Harga Pangan (SPHP) dibanderol Rp 10.900 per kilogram (kg) sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan.

"Rupanya kemarin di pasar itu pedagang pasar agak malas jual beras Bulog yang berasnya bagus tapi harganya murah karena disubsidi karena untungnya sedikit cuma Rp 200," ungkap Zulhas.

Oleh karenanya, pemerintah mensubsidi beras Bulog tersebut agar keuntungan bagi para pedagang lebih besar yakni menjadi Rp 500 sehingga menarik mereka untuk menjual beras lebih banyak ke masyarakat.

Bahkan, kata Zulhas, pedagang bisa mendapatkan untung lebih besar lagi jika menjual beras dengan ukuran eceran selama pengemasan beras ukuran kecil itu dilakukan sendiri.

"Kalau dikirim karungan ke pasar-pasar, pasar bisa packing sendiri dapat upah lagi Rp 210. Kita mau untung Rp 500, jadi bisa Rp 710, menarik gitu. Mudah-mudahan ini pedagang pasar akan tertarik untuk membantu masyarakat yang kesulitan karena harga beras naik, ada beras Bulog yang bagus, harganya murah karena disubsidi," kata dia.

El Nino Vs Tingginya "demand" beras

Sementara itu, Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi mengatakan, penyebab harga beras tinggi saat ini adalah ketidaksesuaian antara permintaan dengan ketersediaan alias suplai dan demand.

Bayu mengatakan, ketersediaan sejak tahun lalu saja beras Indonesia mengalami penurunan produksi di sentra-sentra produksi sampai 2,05 persen, dari sebelumnya 31,54 juta ton di tahun 2022 menjadi 30,90 juta persen.

Hal itu lantaran adanya efek kemarau panjang alias El Nino.

"BPS telah mengatakan memang produksi kita turun, sehingga suplai dan demandnya tidak seimbang. Ini yang membuat harga beras tinggi, yang bisa bikin harga beras turun adalah produksi dalam negeri,” ujarnya dalam diskusi media di Jakarta, Selasa (13/2/2024).

Bayu mengungkapkan, baik harga gabah dan beras premium saat ini di sentra-sentra produksi atau penghasil beras, cenderung tinggi bahkan sudah melebihi Harga Eceren Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ia mencontohkan, per 12 Februari 2024 kemarin di Indramayu harga gabah sudah Rp 7.350 per kilogram sementara beras medium mencapai Rp 15.475 per kilogram.

"Kemudian di wilayah Karawang harga gabah mencapai Rp 7.350 per kilogram dan beras premium mencapai Rp 14.333 per kilogram," ucap dia.

Bantah beras langka gara-gara bansos

Sebelumnya, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi buka suara soal beras langka. Ia menegaskan, bantuan sosial (bansos) pangan beras yang disalurkan Presiden Joko Widodo tidak ada kaitannya dengan kelangkaan dan naiknya harga beras yang terjadi saat ini.

Ia mengatakan, bantuan pangan tersebut merupakan bukti negara hadir pada masyarakat yang membutuhkan.

"Kalau bansos itu enggak ada kaitannya sama harga, tapi ini memang negara hadir. (Bantuan pangan) itu bukan bansos, tapi bantuan pangan, saya koreksi ya," saat ditemui media di Pusat Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (12/2/2024).

Adapun bantuan pangan beras merupakan program pemerintah berupa penyaluran beras, bersumber dari stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di gudang Bulog.

Program ini adalah salah satu pemanfaatan CBP sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Cadangan Pangan Pemerintah.

Untuk menghormati proses Pemilu, kata Arief, pemerintah akan menyetop sementara penyaluran bantuan pangan beras selama 8-14 Februari 2024.

"Bantuan pangan beras pemerintah itu memang ditiadakan selama 8-14 Februari untuk penghormatan kepada Pemilu yang dijalankan saat ini. Kalau bansos pangan itu tidak mempengaruhi itu (harga beras di pasar)," jelasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com