Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Denon Prawiraatmadja
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perhubungan

Belajar Mengembangkan Industri Aviasi dari Negeri China

Kompas.com - 15/03/2024, 05:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

CARILAH ilmu hingga negeri China! Begitu kata pepatah lama. Mungkin dulu orang mencibir dan menganggap ilmu pengetahuan dan teknologi China masih tertinggal jauh, sehingga pepatah itu bisa dianggap sebagai olok-olokan saja.

Namun dalam beberapa dekade terakhir, China mulai menunjukkan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Tak terkecuali dalam bidang aviasi, yang membuat dunia penerbangan global terkagum-kagum.

China melalui badan usaha milik negara bernama Comercial Aircraft Corporation of China, Ltd. (COMAC) berhasil membuat dan mengembangkan pesawat jet.

Pesawat pertama adalah ARJ-21, pesawat jet berkapasitas 90-an kursi dan sekarang sudah mulai dipasarkan ke luar negeri.

Salah satunya ke maskapai Indonesia, yaitu TransNusa yang sejak awal tahun 2023 lalu mengoperasikan pesawat ini.

Pesawat kedua produksi COMAC adalah C919, pesawat jet yang lebih besar dengan kapasitas kursi sekitar 180-an.

Dalam industri penerbangan global, pesawat sekelas ini yang sudah lebih dulu eksis adalah A320 series dari pabrik Airbus Eropa dan B737 NG series dari Boeing USA.

Kabarnya COMAC sebentar lagi juga akan mengembangkan pesawat CR929 yang lebih besar, sekelas dengan Airbus A330.

Pesawat C919 sudah mulai dipasarkan dan dibawa ke beberapa negara untuk dipamerkan. Setelah diterbangkan di Hongkong, kemudian dibawa ke Singapore Airshow pada Februari 2024.

Pada 10-11 Maret lalu, dipamerkan di Indonesia bersama ARJ-21. Saya sempat melihat pameran yang diadakan di Hanggar 2 Garuda Maintenance Facility (GMF) di Kompleks Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang itu.

Saya memeriksa mulai dari kokpit, kabin penumpang, toilet hingga galley atau dapur.

Pesawat ini tidak kalah dengan pesawat sejenis dari Airbus dan Boeing. Apalagi bila ditelusuri bahwa beberapa komponen pesawat seperti mesin, avionik, landing gear dan lainnya juga memakai produk yang dipakai oleh A320 dan B737NG.

Dan dari bisik-bisik staf marketing-nya, harganya ternyata juga bersaing, tidak terlalu beda jauh. Terus terang saya kagum dengan pencapaian bidang aviasi China dan sedikit iri.

Bangsa Indonesia sebenarnya sudah lebih dulu menguasai teknologi pembuatan pesawat. Pesawat-pesawat buatan teknisi Indonesia sudah banyak dan dikagumi bangsa lain.

Bahkan sebelum Indonesia merdeka, pada tahun 1930-an, teknisi putra-putra bangsa sudah terlibat dalam pembuatan pesawat Walrafen W-2 registrasi PK-KKH yang mampu terbang sampai ke Eropa dan membuat takjub masyarakat dunia.

Pada awal-awal kemerdekaan, para teknisi Indonesia juga dapat memperbaiki dan menerbangkan kembali pesawat eks Jepang dan Belanda yang sudah menjadi rongsokan akibat perang.

Kita mengenal tokoh seperti Nurtanio, Wiweko Supono, BJ. Habibie dan lainnya yang menjadi cikal-bakal industri pembuatan pesawat Indonesia.

Melalui IPTN (cikal bakal PTDI) dan lembaga lainnya, kita sudah bisa membuat pesawat, baik masih berupa prototype maupun yang layak terbang seperti N250 dan N219. Atau pesawat hasil kerja sama dengan pabrikan lain seperti CN 235, Cassa 212 dan lainnya.

Tidak ada negara ASEAN yang mampu membuat pesawat. Di tingkat Asia, Indonesia menjadi pelopor industri ini dan sudah diakui dunia.

Namun sayangnya industri kedirgantaraan, termasuk di dalamnya industri pembuatan dan perakitan pesawat Indonesia seperti jalan di tempat. Saat ini hidup segan, mati tak mau. Begitu kata banyak orang.

Kebijakan komprehensif

Saya berandai-andai, bagaimana kalau kita belajar dari China dalam mengembangkan industri aviasinya?

Tentu kita juga bisa belajar dari Boeing atau Airbus yang sudah lebih dulu eksis. Namun tidak ada salahnya kita juga belajar dari COMAC yang saat ini sedang berkembang pesat.

Sudah saatnya kita memajukan industri penerbangan dalam negeri dengan mengembangkan kekuatan sendiri, seperti era terdahulu.

Apalagi transportasi udara sangat dibutuhkan Indonesia yang wilayahnya berbentuk kepulauan. Industri penerbangan sangat strategis dan harus kita miliki dan kembangkan.

Hal utama yang harus dilakukan adalah membuat kebijakan komprehensif, melibatkan semua pihak, baik pemerintah maupun dari sektor swasta, untuk memajukan industri penerbangan dalam negeri.

Contohnya adalah kebijakan penggunaan pesawat produk dalam negeri untuk transportasi domestik. Seperti di China, pesawat ARJ-21 dan C919 banyak dipakai oleh maskapai dalam negerinya sebelum kemudian dijual ke maskapai luar negeri.

Kita juga bisa menirunya dengan menggunakan pesawat N219, CN235 atau N212 produk PTDI untuk penerbangan komersial atau perintis di dalam negeri.

Terutama untuk bandara-bandara yang saat ini belum ada penerbangan seperti Tasikmalaya, Ngloram, Purbalingga, Jember dan bandara-bandara lain yang tersebar di pelosok Nusantara.

Pesawat N219 atau CN235 kapasitasnya lebih kecil sehingga lebih mudah untuk memenuhi kuota jumlah penumpangnya. Dengan demikian, bandara akan dapat beroperasi dan memberi manfaat bagi daerah sekitarnya.

Untuk itu proses sertifikasi pesawat N219 harus dipercepat agar bisa segera dipasarkan di dalam negeri. Dipercepat bukan berarti mengabaikan sisi keselamatan penerbangan, karena keselamatan adalah mutlak dalam operasional penerbangan.

Jika maskapai tidak berminat dengan pesawat ini, maka pemerintah bisa membuat maskapai atau menggunakan maskapai BUMN yang sudah ada untuk mengoperasikannya di rute perintis.

Dengan demikian, industri pembuatan pesawat PTDI, bandara-bandara, maskapai dan perekonomian daerah juga bisa tumbuh dan berkembang.

Metode ini sudah banyak dilakukan di negara-negara seperti Amerika, China dan lainnya untuk melindungi bisnis penerbangan dalam negerinya.

Selain itu, yang juga perlu diperhatikan adalah memperkuat finansial pabrik pesawat PTDI, maskapai penerbangan dan bandara.

Perlu dibentuk lembaga finansial khusus untuk membantu industri penerbangan, mengingat industri ini termasuk industri padat modal.

Biaya pembuatan satu pesawat bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Jika tidak ada lembaga yang memberi bantuan keuangan, tentu sulit bagi pabrik pesawat memproduksi pesawat dan maskapai penerbangan untuk membeli atau menyewa pesawatnya.

Saat ini maskapai lebih banyak membeli atau menyewa pesawat dari luar negeri karena ada skema bantuan finansial yang lebih menguntungkan.

Di atas semua itu, harus ada political will dari pemerintah untuk memajukan industri penerbangan dalam negeri.

Pemerintah harus memahami bahwa transportasi udara sangat vital untuk memperlancar pergerakan orang dan barang di Indonesia yang wilayahnya kepulauan.

Jika sektor penerbangan dalam negeri berjaya kembali, maka yakinlah bahwa perekonomian nasional juga akan tumbuh dengan pesat.

Untuk itu, kita tidak perlu sungkan untuk belajar dari banyak negara lain, termasuk dari negara China.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com