Bagi Indonesia resolusi PBB itu hadir pada momen yang tepat. Pertama, adanya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang baru, periode 2025-2029. Kedua, RPJMN dijalankan oleh Presiden dengan kabinet pemerintahan yang baru.
Ketiga, kita sedang menyongsong UU Perkoperasian yang baru. Sehingga maklumat itu seyogyanya mempertebal affirmative action bagi koperasi pada berbagai kebijakan serta program pemerintahan periode mendatang.
Dari maklumat di atas, ada beberapa isu yang sinkron dengan kerangka RPJMN bidang koperasi.
Pertama, arah kebijakan pengembangan ke depan fokus pada koperasi produksi khususnya pertanian dan agribisnis. Afirmasi itu dilakukan guna memperkuat peran koperasi sebagai soko guru ekonomi nasional. Sebab kontribusi PDB sektor pertanian dan pengolahan (makanan-minuman) sangat dominan di Indonesia.
Dengan pendekatan industrialisasi dan hilirisasi, anggota serta masyarakat dapat memperoleh nilai tambah yang tinggi.
Keterlibatan koperasi dalam rantai pasok dapat meningkatkan efisiensi produksi, pengolahan dan tata niaga industri pertanian dan agribisnis. Skema kepemilikan serta redistribusi ala koperasi dapat membagi risiko dan hasil lebih adil bagi para pelaku pada sisi hulu dan hilir.
Hilirisasi pertanian menjanjikan nilai yang sangat besar. Mulai dari palawija, holtikultura, tanaman obat, perkebunan, perikanan, peternakan dan sebagainya.
Praktik hilirisasi seperti pembangunan pabrik Minyak Makan Merah berbasis koperasi, yang diresmikan Presiden Joko Widodo di Deli Serdang (15 Maret 2024), perlu diperluas ke komoditas lainnya di masa mendatang.
Ada beberapa pilar kunci sukses prakarsa itu seperti kewirausahaan, inovasi dan teknologi. Sehingga maklumat PBB terkait strengthening the entrepreneurial ecosystem for cooperatives sangat relevan dalam konteks itu.
Resolusi PBB tersebut perlu menjadi perhatian para pembantu Presiden mendatang, tak hanya Menteri Koperasi dan UKM, namun juga Menteri Pertanian, Menteri Perikanan dan Kelautan, Menteri Perdagangan serta Kementerian/ Lembaga lain yang terkait.
Terbukti, dulu pada 1984, Indonesia pernah swasembada pangan. Hal itu tercapai salah satunya berkat koperasi yang efektif terlibat dalam budidaya, input pasokan dan juga distribusi. Faktor lain karena kerjasama yang apik lintas kementerian/departemen pada masa itu.
Kedua, pengembangan regulasi yang mendukung pertumbuhan koperasi melalui revisi UU Perkoperasian.
Beberapa isu juga selaras dengan maklumat PBB seperti bagaimana meningkatkan akses permodalan koperasi serta daya saing.
Seperti diketahui bahwa revisi UU Perkoperasian mendatang salah satunya mengubah ketentuan permodalan koperasi. Di mana karakteristik modal yang baru sangat potensial mengungkit pertumbuhan usaha koperasi.
Dengan ketentuan baru itu, struktur permodalan menjadi lebih stabil dan akseleratif. Pada sisi lain partisipasi anggota dapat meningkat dan aman, sebab kepemilikan modal anggota dapat dialihkan kepada sesama anggota koperasi.
Selain itu berbagai pembaruan dilakukan pada postur kelembagaan sehingga koperasi akan lebih tangkas dan berdaya saing dengan tetap memperhatikan identitas dan otonominya.
Amanat penting lainnya dalam revisi UU tersebut adalah Pemerintah Pusat dan Daerah dapat menetapkan sektor prioritas untuk kemudian diberikan fasilitasi dan insentif.
Insentif tersebut mencakup perpajakan, fiskal dan non fiskal. Termasuk penetapan pencadangan serta pelindungan usaha bagi koperasi.
Ketiga, penyempurnaan ketersediaan dan pemanfaatan data koperasi. Pada RPJMN mendatang terjadi perubahan indikator kinerja pembangunan koperasi. Yakni dari kontribusi ekonomi koperasi terhadap PDB, menjadi rasio volume usaha koperasi terhadap PDB, sebagaimana pada Global Census on Cooperative (PBB, 2014). Agar dapat mengukur capaian dengan baik tentu dibutuhkan basis data yang kredibel.
Ketersediaan dan pemanfaatan data akan meningkatkan kualitas kebijakan Pemerintah. Juga menjadi titik tolok bagi berkembangnya sains koperasi.