Meski demikian, BoJ tetap akan akomodatif dalam menjaga suku bunga jangka panjangnya walau menghilangkan kebijakan Yield Curve Control (YCC), dengan tetap mempertahankan jumlah pembelian Japanese Government Bond (JGB) dan akan menambah jumlah pembelian jika yield dirasa naik terlalu tinggi.
Sementara itu, bank sentral AS Federal Reserve atau The Fed pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) terakhir justru merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi dan inflasi inti Amerika Serikat untuk tahun ini. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat masih relatif solid dan resilient.
Perkembangan kondisi ekonomi Amerika Serikat terkini pun menunjukkan bawah pasar tenaga kerja masih relatif ketat dan proses disinflasi mulai menunjukkan perlambatan. Walau begitu, the Fed tetap memberikan sinyal bahwa pemotongan suku bunga acuan tetap terbuka pada tahun ini meski menyatakan tidak akan terburu-buru dalam melakukannya.
Baca juga: Viral Uang Rupiah Pecahan 1.0, BI: Hoax
The Fed kembali menegaskan bahwa keputusan moneternya ke depan akan tetap berdasarkan perkembangan indikator ekonomi terkini.
Menurut Josua, perkembangan kondisi suku bunga global yang cenderung divergent tersebut membuat sentimen risk-off di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali meningkat.
"Hal ini terlihat terutama pada pasar obligasi Indonesia yang sudah mencatatkan net outflow secara year to date. Banyak investor dan traders cenderung kembali memindahkan portofolionya ke safe-haven assets sehingga memicu capital outflow dari pasar keuangan negara berkembang dan mendorong pelemahan mata uang Asia termasuk rupiah," papar Josua.
Di sisi lain, Indonesia juga harus dihadapkan dengan risiko kembalinya twin deficit atau kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.
Baca juga: Waspada Uang Palsu Jelang Lebaran, Simak Cara Cek Keaslian Uang Rupiah