Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sumarjo Gatot Irianto
Analis Kebijakan Utama Kementan

Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian/Presiden Komisaris PT Berdikari (Persero)

Indonesia Memasuki Perangkap Pangan?

Kompas.com - 03/04/2024, 09:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Poin pentingnya adalah saran untuk RI 1 yang baru terpilih pada pilpres Februari lalu bahwa memilih dan mendudukkan Menteri Pertanian tidak sepatutnya dilakukan dengan hanya mengandalkan partai tanpa profesionalitas. Karena ini taruhan masa depan pangan kita.

Untunglah Menteri pengganti Dr. Amran Sulaiman dengan lugas dan cepat dapat melihat situasi pangan kita dengan lebih jernih tanpa dibebani oleh hal-hal lain sehingga mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk menambah subsidi pupuk.

Mungkin sudah sangat terlambat karena yang terjadi di lapangan adalah jumlah pupuk yang digunakan tidak sesuai rekomendasi, bahkan mungkin hanya cukup untuk sekali tanam.

Sementara bantuan program terbatas pada benih padi sehingga pertambahan luas areal tanam juga menjadi dilemma bagi petani.

Perangkap pangan (food trap)

Rusaknya jaringan irigasi di beberapa wilayah irigasi menyebabkan petani harus membayar biaya listrik untuk pompa yang besarnya dapat membebani biaya produksi.

Hasil kunjungan ke petani di Ngawi menguak cerita tambahan yang semakin menjadi beban tambahan biaya produksi.

Mereka mengaku pengeluaran biaya pestisida makin meningkat, karena penyemprotan dilakukan minimal 10 hari sekali sampai panen. Beberapa petani bahkan melakukan penyemprotan tiap minggu sekali sampai panen.

Situasi tersebut menyebabkan harga beras kita terus naik dan stabil tinggi karena tidak efisien dan efektifnya produksi pangan. Indikasinya adalah harga padi kita 20-30 persen di atas harga internasional. Kepala Bulog menyampaikan bahwa ongkos produksi beras kita Rp 4.000/kg.

Sementara itu terjadinya laju alih fungsi lahan yang dahsyat. Pembangunan jalan tol trans Jawa menyebabkan luas lahan sawah subur menurun dan memperparah situasi produksi pangan kita .

Dari kondisi tersebut telah muncul wacana untuk memenuhi kelangkaan pasokan beras melalui impor dengan besaran impor mulai 2,5 juta ton, menjadi 5 juta ton, bahkan jika kondisinya tidak menguntungkan impor bisa menembus 10 juta ton beras.

Lantas, kalau impor beras 10 juta ton dengan kebutuhan sekitan 33 juta ton, masih pantaskan Indonesia mengklaim sebagai negara yang berswasembada beras?

Pertanyaan selanjutnya akan makin sulit dijawab jika dikaitkan juga dengan meningkatnya importasi gandum, gaplek, dan bahan makanan lainnya.

Bukankah kondisi demikian menunjukkan bahwa ada tanda-tanda kuat bahwa Indonesia telah memasuki perangkap pangan (food trap)? Apa yang harus segera dilakukan agar kedaulatan negara dan rakyat atas pangannya tidak semakin terjerumus ke jurang yang lebih dalam?

Situasi ini mudah-mudahan tidak menyebabkan kita terjerambab ke situasi yang lebih dalam, yaitu ‘fail state’ seperti yang dialami oleh Srilanka pada 2021.

Pembelajaran krisis pangan di Srilanka

Belum lama kita dengar berita tentang terjadinya krisis di Sri Lanka pada tahun 2021 yang menjadi ‘fail state”. Awalnya adalah krisis pangan yang kemudian diikuti oleh krisis lainnya.

Apa yang terjadi di Sri Lanka harusnya sebagai “wake up call” bahwa kebijakan pangan harus dihitung dengan cermat.

Sejak tahun lalu (2021), pemerintah Sri Lanka kolaps akibat krisis pangan: inflasi tidak terkendali lebih dari 50 persen dengan harga pangan meroket 80 persen dan biaya transportasi naik 128 persen.

Pemerintah Sri Lanka (Rajapaksa) menyatakan ‘state of emergency’ untuk mencegah situasi yang tidak terkendali akibat kemarahan rakyatnya.

Banyak spekulasi terkait penyebab hal ini. Namun yang jelas, pencabutan subsidi dan pelarangan impor pupuk menyebabkan tidak tersedianya pupuk bagi petani Sri Lanka. Hal ini merupakan faktor utama dan pertama penyebab krisis yang terjadi di Sri Lanka.

Chelsea Follett dan Malcolm Cochran menuliskannya pada 15 Juli 2022 di Human Progress dengan judul The country's economic collapse is a grim preview of what can result from distorting markets in the name of utopian priorities: Sri Lanka Is a Wake-Up Call for Eco-Utopians

Pertanian merupakan tulang punggung ekonomi Sri Lanka. Untuk mendukung industri vital itu, negara menghabiskan ratusan juta dolar per tahun untuk mengimpor pupuk sintetis, sebagai bagian dari kebijakan subsidi pupuk yang diterapkan di Srilanka sejak 1962. Sri Lanka tidak memiliki industri pupuk kimia seperti halnya Indonesia.

Selama kampanye pemilihannya pada tahun 2019, Rajapaksa berjanji untuk ‘phase-out “ dari subsidi pupuk yang telah berjalan hampir 60 tahun, dengan transisi sepuluh tahun, yaitu tahun 2030 ke pertanian organik.

Dia mempercepat rencananya pada April 2021, dengan larangan impor mendadak untuk pupuk dan pestisida sintetis.

Dia begitu percaya diri dengan kebijakannya, sehingga menyatakan dalam artikel untuk World Economic Forum pada tahun 2018, "Beginilah cara saya akan membuat negara saya kaya lagi pada tahun 2025."

Lebih dari 90 persen petani Sri Lanka terbiasa menggunakan pupuk kimia sebelum dihapuskan subsidi dan ditiadakan penggunaannya oleh pemerintah.

Dampaknya luar biasa: 85 persen penurunan terhadap hasil tanaman. Produksi padi turun 20 persen, sehingga mendorong harga padi meningkat 50 persen hanya dalam 6 bulan.

Sri Lanka harus mengimpor 450 juta dollar AS setara beras, padahal beberapa bulan sebelumnya Sri Lanka adalah negara dengan swasembada beras.

Harga wortel dan tomat naik lima kali lipat, sementara ekspor teh yang menjadi andalan negara dan rakyat Sri Lanka menukik mencapai angka terendahnya sejak dua dekade lalu, yaitu turun 18 persen (antara November 2021-Februari 2022).

Indonesia tidak sampai mencabut subsidi pupuk, meskipun tuntutan pencabutan terus dikumandangkan oleh berbagai pihak. Entah ada agenda apa di belakang keinginan usulan pencabutan subsidi pupuk.

Pengurangan subsidi yang dimulai tahun 2018 saja sudah membawa dampak penyusutan produksi beras kita mulai 2019-2023 seperti pada Tabel 1 di atas.

Meskipun bukan faktor utama, tetapi subsidi pupuk merupakan salah satu instrumen yang memberikan kontribusi berarti terhadap produksi beras kita.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com