Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sumarjo Gatot Irianto
Analis Kebijakan Utama Kementan

Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian/Presiden Komisaris PT Berdikari (Persero)

Indonesia Memasuki Perangkap Pangan?

Kompas.com - 03/04/2024, 09:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Gatot Irianto dan Muhrizal Sarwani*

TAHUN 2023, Indonesia mengalami badai gorila El Nino yang berdampak terjadinya kemarau panjang dengan tingkat kekeringan sangat ekstrem.

Bulan Oktober-Februari biasanya curah hujannya sangat tinggi. Namun pada 2023, hampir di sebagian besar wilayah sentra padi di Jawa, Lampung, dan Sulawesi Selatan mengalami kekeringan.

Kemarau praktis terjadi sepanjang tahun mulai Maret 2023 sampai Maret 2024 yang tercermin antara lain dari luas hamparan sawah bera (tanpa tanaman) yang masih sangat luas. Bahkan berdasarkan wawancara dengan beberapa petani dan pengamatan lapangan menunjukkan persemaian petani mengalami kegagalan.

Artinya hujan yang diharapkan sudah turun Oktober 2023 ternyata tidak terjadi. Demikian halnya di bulan November, Desember 2023, Januari dan Februari 2024.

Saat itu hampir semua waduk beroperasi kering, bahkan ada yang tidak ada airnya, sehingga tidak mampu mengairi lahan sawah.

Hasil pemantauan citra satelit Sentinel melalui SiScrop (Sistem informasi Standing Crop) oleh BSIP Sumber Daya Lahan Pertanian, Kemetan, menunjukkan bahwa pada Februari 2024 baru ada 1,269 juta hektare yang masih tahap penggenangan dan 568.000 hektare masih bera dari total lahan sawah di Jawa 3,4 Juta hektare.

Bulan Februari biasanya merupakan puncak musim tanam, tetapi pada tahun 2024 terdapat sawah masih belum tanam seluas 1,269 juta hektare ditambah 568.000 hektare, maka dipastikan produksi padi nasional akan menglami pergeseran waktu puncak panen, penurunan besaran puncak panen dan peningkatan risiko gagal panen, karena Maret sudah ditandai dengan menurunnya curah hujan secara signifikan.

Carut marutnya masa tanam dan puncak tanam padi ini diperburuk lagi dengan kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi yang dilakukan Kementerian PUPR setiap musim kemarau.

Lahan sawah di wilayah Patok Beusi, Subang banyak yang gagal panen/puso akibat tidak ada hujan dan pasokan irigasi dari Jatiluhur tidak dapat dilakukan akibat adanya rehabilitasi jaringan sekunder oleh Balai Besar Wilayah Sungai.

Miskoordinasi antara Kementerian Pertanian dan Kementerian PUPR terjadi sejak lama, tidak pernah terselesaikan.

Petani butuh air di musim kemarau untuk memproduksi padi gadu, yang produktivitasnya tinggi, gangguan organisme pengganggu tanaman minimum, biaya produksi murah, mutu gabah bagus dan harga jual sangat bagus, tetapi kegiatan O & P jaringan irigasi wajib dilakukan dengan menutup akses irigasi bagi petani.

Sinyal memburuknya kemampuan produksi beras nasional sesungguhnya bisa dicermati dari data series yang disajikan oleh BPS mulai Tahun 2019-2023 (Tabel 1).

Tabel 1 memperlihatkan bahwa sejak 2019-2023, produksi beras nasional cenderung turun, dibandingkan kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat 1,22 persen, 1,17 persen, 1,13 persen berturut turut tahun 2021, 2022 dan 2023.

Jawa Timur menjadi provinsi penghasil beras terbesar pada 2022, dengan capaian produksi 5,5 juta ton atau 17,44 persen dari total produksi nasional.

Produsen beras terbesar berikutnya adalah Jawa Barat 5,44 juta ton, Jawa Tengah 5,38 juta ton, dan Sulawesi Selatan 3,07 juta ton.

Data produksi berasGatot Irianto dan Muhrizal Sarwani Data produksi beras

Pengurangan dana subsidi pupuk

Pertanyaan fundamentalnya adalah mengapa produksi terus menurun? Apa penyebab utamanya?

Jawabannya bisa jadi kebijakan atau program yang dilakukan pada periode 2019-2023 tersebut tidak ada terobosan baru yang hanya mengandalkan dan hanya bertumpu pada peningkatan produktivitas dan luas tanam seperti halnya program sebelumnya.

Padahal dukungan utama untuk peningkatan produktivitas sangat dibatasi, khususnya pupuk subsidi yang dalam jangkauan harga untuk petani dan belum ada terobosan dalam teknologi varietas baru dengan produksi > 10 ton/ha.

Meskipun dengan menggunakan varietas yang ada, jika tidak didukung pemupukan dalam jumlah yang memadai, maka produktivitas juga tidak akan naik.

Rule of thumb-nya adalah setiap 100 kg urea akan menaikkan 1 ton/ha dengan base-nya 4-4,5 t/ha pada lahan-lahan irigasi.

Dengan kata lain jika ingin rata-rata produktivitas 6-6,5 t/ha maka harus disiapkan 200 kg urea setiap ha.

Bayangkan saja dari data BPS bahwa penggunaan Urea pada sawah-sawah kita hanya rata-rata 80-90 kg/ha, sehingga rata-rata produktivitas hanya 5-5,5 t/ha seperti halnya pada saat ini yang dicatat oleh BPS.

Yang lebih celaka lagi adalah dana subsidi pupuk mulai tahun 2019 dipotong lumayan banyak oleh DJA, Kemenkeu, dengan alasan tidak tepat sasaran dan tidak efektif.

Untuk menurunkan dana subsidi ini, Kementan diundang untuk membahasnya dengan menghadirkan BIN dan BPS bahwa subsidi pupuk tidak tepat sasaran dan banyak penyelewengan sehingga dana dikurangi menjadi Rp 25 triliun dari yang biasanya sebesar Rp 33 triliun (untuk 9,5 juta ton pupuk) sehingga volume pupuk yang disubsidi menurun drastis.

Padahal upaya-upaya yang dilakukan Kementan untuk transparansi dan ketepatan sasaran sudah dilakukan melalui E-RDKK dengan menggunakan data NIK (e-KTP) by name by address, sehingga KPK mengganjar Kementan penghargaan terhadap upaya tersebut pada 2018/2019

Ditambah lagi pada 2021 harga pupuk melonjak naik akibat perang Rusia-Ukraina, yang semakin menurunkan volume pupuk subsidi.

Tahun 2023 hanya tersedia 6,1 juta ton pupuk subsidi dengan anggaran Rp 25 triliun dan tahun 2024 hanya tersedia 4,7 juta ton dengan anggaran Rp 24 triliun, itupun harus dibagi kepada 9 komoditas lain.

Bagaimana mungkin menteri lama yang terjerat kasus korupsi dan para pejabat utamanya tidak dapat melihat dan cenderung membiarkan situasi pangan kita khususnya volume pupuk subsidi yang terus menurun akibat dikuranginya dana subsidi pupuk.

Bahkan, salah satu pejabat pimpinan tinggi madya Kementan pernah suatu saat menganjurkan penggunaan rumput-rumputan yang diperas untuk menaikkan produksi.

Subsidi pupuk sudah teruji menjaga produksi pangan kita berpuluh-puluh tahun. Uangnya juga tidak seberapa dibandingkan dengan subsidi energi apalagi dibanding bantuan sosial lainnya.

Poin pentingnya adalah saran untuk RI 1 yang baru terpilih pada pilpres Februari lalu bahwa memilih dan mendudukkan Menteri Pertanian tidak sepatutnya dilakukan dengan hanya mengandalkan partai tanpa profesionalitas. Karena ini taruhan masa depan pangan kita.

Untunglah Menteri pengganti Dr. Amran Sulaiman dengan lugas dan cepat dapat melihat situasi pangan kita dengan lebih jernih tanpa dibebani oleh hal-hal lain sehingga mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk menambah subsidi pupuk.

Mungkin sudah sangat terlambat karena yang terjadi di lapangan adalah jumlah pupuk yang digunakan tidak sesuai rekomendasi, bahkan mungkin hanya cukup untuk sekali tanam.

Sementara bantuan program terbatas pada benih padi sehingga pertambahan luas areal tanam juga menjadi dilemma bagi petani.

Perangkap pangan (food trap)

Rusaknya jaringan irigasi di beberapa wilayah irigasi menyebabkan petani harus membayar biaya listrik untuk pompa yang besarnya dapat membebani biaya produksi.

Hasil kunjungan ke petani di Ngawi menguak cerita tambahan yang semakin menjadi beban tambahan biaya produksi.

Mereka mengaku pengeluaran biaya pestisida makin meningkat, karena penyemprotan dilakukan minimal 10 hari sekali sampai panen. Beberapa petani bahkan melakukan penyemprotan tiap minggu sekali sampai panen.

Situasi tersebut menyebabkan harga beras kita terus naik dan stabil tinggi karena tidak efisien dan efektifnya produksi pangan. Indikasinya adalah harga padi kita 20-30 persen di atas harga internasional. Kepala Bulog menyampaikan bahwa ongkos produksi beras kita Rp 4.000/kg.

Sementara itu terjadinya laju alih fungsi lahan yang dahsyat. Pembangunan jalan tol trans Jawa menyebabkan luas lahan sawah subur menurun dan memperparah situasi produksi pangan kita .

Dari kondisi tersebut telah muncul wacana untuk memenuhi kelangkaan pasokan beras melalui impor dengan besaran impor mulai 2,5 juta ton, menjadi 5 juta ton, bahkan jika kondisinya tidak menguntungkan impor bisa menembus 10 juta ton beras.

Lantas, kalau impor beras 10 juta ton dengan kebutuhan sekitan 33 juta ton, masih pantaskan Indonesia mengklaim sebagai negara yang berswasembada beras?

Pertanyaan selanjutnya akan makin sulit dijawab jika dikaitkan juga dengan meningkatnya importasi gandum, gaplek, dan bahan makanan lainnya.

Bukankah kondisi demikian menunjukkan bahwa ada tanda-tanda kuat bahwa Indonesia telah memasuki perangkap pangan (food trap)? Apa yang harus segera dilakukan agar kedaulatan negara dan rakyat atas pangannya tidak semakin terjerumus ke jurang yang lebih dalam?

Situasi ini mudah-mudahan tidak menyebabkan kita terjerambab ke situasi yang lebih dalam, yaitu ‘fail state’ seperti yang dialami oleh Srilanka pada 2021.

Pembelajaran krisis pangan di Srilanka

Belum lama kita dengar berita tentang terjadinya krisis di Sri Lanka pada tahun 2021 yang menjadi ‘fail state”. Awalnya adalah krisis pangan yang kemudian diikuti oleh krisis lainnya.

Apa yang terjadi di Sri Lanka harusnya sebagai “wake up call” bahwa kebijakan pangan harus dihitung dengan cermat.

Sejak tahun lalu (2021), pemerintah Sri Lanka kolaps akibat krisis pangan: inflasi tidak terkendali lebih dari 50 persen dengan harga pangan meroket 80 persen dan biaya transportasi naik 128 persen.

Pemerintah Sri Lanka (Rajapaksa) menyatakan ‘state of emergency’ untuk mencegah situasi yang tidak terkendali akibat kemarahan rakyatnya.

Banyak spekulasi terkait penyebab hal ini. Namun yang jelas, pencabutan subsidi dan pelarangan impor pupuk menyebabkan tidak tersedianya pupuk bagi petani Sri Lanka. Hal ini merupakan faktor utama dan pertama penyebab krisis yang terjadi di Sri Lanka.

Chelsea Follett dan Malcolm Cochran menuliskannya pada 15 Juli 2022 di Human Progress dengan judul The country's economic collapse is a grim preview of what can result from distorting markets in the name of utopian priorities: Sri Lanka Is a Wake-Up Call for Eco-Utopians

Pertanian merupakan tulang punggung ekonomi Sri Lanka. Untuk mendukung industri vital itu, negara menghabiskan ratusan juta dolar per tahun untuk mengimpor pupuk sintetis, sebagai bagian dari kebijakan subsidi pupuk yang diterapkan di Srilanka sejak 1962. Sri Lanka tidak memiliki industri pupuk kimia seperti halnya Indonesia.

Selama kampanye pemilihannya pada tahun 2019, Rajapaksa berjanji untuk ‘phase-out “ dari subsidi pupuk yang telah berjalan hampir 60 tahun, dengan transisi sepuluh tahun, yaitu tahun 2030 ke pertanian organik.

Dia mempercepat rencananya pada April 2021, dengan larangan impor mendadak untuk pupuk dan pestisida sintetis.

Dia begitu percaya diri dengan kebijakannya, sehingga menyatakan dalam artikel untuk World Economic Forum pada tahun 2018, "Beginilah cara saya akan membuat negara saya kaya lagi pada tahun 2025."

Lebih dari 90 persen petani Sri Lanka terbiasa menggunakan pupuk kimia sebelum dihapuskan subsidi dan ditiadakan penggunaannya oleh pemerintah.

Dampaknya luar biasa: 85 persen penurunan terhadap hasil tanaman. Produksi padi turun 20 persen, sehingga mendorong harga padi meningkat 50 persen hanya dalam 6 bulan.

Sri Lanka harus mengimpor 450 juta dollar AS setara beras, padahal beberapa bulan sebelumnya Sri Lanka adalah negara dengan swasembada beras.

Harga wortel dan tomat naik lima kali lipat, sementara ekspor teh yang menjadi andalan negara dan rakyat Sri Lanka menukik mencapai angka terendahnya sejak dua dekade lalu, yaitu turun 18 persen (antara November 2021-Februari 2022).

Indonesia tidak sampai mencabut subsidi pupuk, meskipun tuntutan pencabutan terus dikumandangkan oleh berbagai pihak. Entah ada agenda apa di belakang keinginan usulan pencabutan subsidi pupuk.

Pengurangan subsidi yang dimulai tahun 2018 saja sudah membawa dampak penyusutan produksi beras kita mulai 2019-2023 seperti pada Tabel 1 di atas.

Meskipun bukan faktor utama, tetapi subsidi pupuk merupakan salah satu instrumen yang memberikan kontribusi berarti terhadap produksi beras kita.

Jika ingin jujur, harusnya pengambil kebijakan di sektor subsidi ini perlu melihat seberapa besar subsidi pangan dibandingkan dengan subsidi lainnya seperti halnya subsidi energi.

Publik perlu melihat dan mencermati bahwa subsidi energi jauh lebih besar dibandingkan dengan subsidi pangan khususnya subsidi pupuk. Tahun 2024, untunglah subsidi pupuk sudah dinaikkan menjadi Rp 42,1 triliun dari semula hanya Rp 24 triliun untuk menyediakan pupuk terjangkau bagi petani.

Apa yang harus dilakukan?

Jika tidak segera dilakukan langkah-langkah teknis operasional bukan seremonial dan politis, maka dipastikan Indonesia akan mengalami perangkap pangan yang dampaknya luas dan masif bagi perekonomian nasional, bahkan bagi perpolitikan nasional.

Pembelajaran pada komoditas pangan strategis seperti kedelai, daging sapi, bawang putih yang secara a priori sudah masuk ke dalam cengkeraman impor adalah karena ketidakseriusan kita mengatasi persoalan pada komoditas tersebut.

Kondisi ini diperburuk lagi dengan mindset pengambil kebijakan yang ingin jalan pintas, demi kepentingan sesaat, meskipun harus mengorbankan masa depan pertanian Indonesia.

Pertama, memanfaatkan dan mendorong peningkatan produksi di lahan rawa. Lahan rawa pasang surut dan lebak yang tersebar sangat luas di Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan menjadi pilihan menjanjikan.

Secara potensi lahan rawa memang merupakan pilihan rasional. Namun banyaknya kendala lapangan dan terbatasnya personal yang menguasai/mengenai rawa, menyebabkan program ini masih belum berjalan optimal.

Selain itu, ketika sawah irigasi didera kekeringan, maka lahan rawa menjadi ideal untuk dioptimalkan. Kementerian Pertanian pada 2024 telah melakukan mitigasi anjloknya produksi padi khususnya melalui program optimasi lahan rawa.

Kedua, peningkatan daya saing sektor pertanian harus dimaksimalkan terutama di lahan sawah konvensional, lahan rawa lebak maupun pasang surut.

Keunggulan komparatif yang dimiliki lahan sawah Indonesia berupa tanah volkanik yang subur dan curah hujan sepanjang tahun dan lahan rawa yang mengalami pengkayaan dari luapan sungai saat musim banjir, harus dimaksimalkan. Itu saja tentu tidak cukup, jika biaya produksi padi keseluruhan masih sangat tinggi.

Ketiga, bisnis proses produksi padi harus dipetakan secara detail, mulai hulu (up stream), budidaya (on farm) dan hilir (down stream) untuk melihat peluang melakukan disrupsi teknologi, agar biayanya murah, dilakukan secara masif, dalam waktu cepat.

Disrupsi Teknologi diartikan sebagai suatu retakan terhadap teknologi saat ini (existing). Di Hulu bisa dimulai dengan sistem produksi pupuk, pestisida dan benih yang masif dan murah.

Selanjutnya di pra produksi ada pengolahan tanah, perlu dikembangkan tanam langsung (direct seedling) tanpa olah tanah.

Melalui direct seedling, maka biaya olah tanah bisa dihemat dan biaya tanam dengan drone akan menghemat waktu tanam, biaya olah tanah, tanam dan biaya menyiang (weeding) dan menyulam.

Menggunakan drone, pemupukan dan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dapat dilakukan lebih cepat, murah dan efisien.

Menggunakan pendekatan Normal difference Vegetation Index (NDVI), maka pemupukan bisa dilakukan sesuai respon spektral tanaman.

Tanaman yang defisien hara Nitrogen, Posfor dan Kalium dapat memperoleh pupuk sesuai yang dibutuhkan. Sebaliknya yang sudah cukup, bisa diberikan untuk maintenance saja. Semua itu bisa di-setting pada aplikasi drone.

Penggunaan pupuk lebih akurat, efisien, efektif dan mampu menurunkan pencemaran lingkungan.

Populasi tanaman yang rapat akibat direct seeding memungkinkan gulma terkendali dengan baik. Pengalaman tanam langsung telah berhasil diaplikasikan pada lahan rawa di Indonesia.

Brasil telah menerapkan direct seeding secara luas untuk produksi padinya di bawah assistensi CIRAD Perancis.

Menggunakan benih 70 kg per hektare, petani tebar langsung benih, tanpa menyiang dan mampu berproduksi 10-11 ton/hektare, jauh lebih tinggi dibandingkan sawah konvensional yang produksinya sekitar 7-8 ton/hektare.

Selanjutnya biaya produksi yang rendah dan panen yang tinggi diperkuat lagi dengan panen dan pengolahan hasil yang effisien.

Penurunan losses panen dari 10 persen menjadi 5 persen akan mampu meningkatkan produksi padi 5 persen.

Selanjutnya penggunaan RMU moderen yang mampu menghasilkan beras premium, tanpa pengeringan matahari, dengan by product menir, bekatul, dedak, sekam, dan minyak bekatul akan mendiversifikasikan sumber pendapatan petani di luar beras.

Keempat, konsolidasi lahan perlu dilakukan agar ongkos produksi dan aplikasi disrupsi teknologi dapat diimplementasikan di lapangan.

Contoh kasusnya adalah di Sukoharjo yang awalnya hanya 80 ha sekarang sudah menjadi 1000 ha. Program konsolidasi lahan khususnya sawah-sawah di Jawa yang terpetak-petak dan luasan yang kecil, sudah layak dan harus dilakukan oleh menteri yang baru.

Selanjutnya, para peneliti, akademisi dan pemangku kepentingan perlu duduk bersama melakukan pemetaan detail disrupsi sektor pertanian per komoditas, agar dapat dijadikan acuan nasional dalam produksi komoditas pertanian nasional.

*Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Punya Peta Jalan, Industri BPR Hadapi 3 Tantangan Struktural

Punya Peta Jalan, Industri BPR Hadapi 3 Tantangan Struktural

Whats New
Kemenperin Bantah Kemendag soal Terbitkan 'Pertek' Lamban,: Paling Lama 5 Hari

Kemenperin Bantah Kemendag soal Terbitkan "Pertek" Lamban,: Paling Lama 5 Hari

Whats New
[POPULER MONEY] Cara Cek Formasi CPNS 2024 di SSCASN | Prabowo soal Anggaran Makan Siang Gratis

[POPULER MONEY] Cara Cek Formasi CPNS 2024 di SSCASN | Prabowo soal Anggaran Makan Siang Gratis

Whats New
Insiden Pesawat Haji Terbakar, Bos Garuda: 'Confirm' Disebabkan Internal 'Engine'

Insiden Pesawat Haji Terbakar, Bos Garuda: "Confirm" Disebabkan Internal "Engine"

Whats New
Cara Bayar Shopee lewat ATM BRI dan BRImo dengan Mudah

Cara Bayar Shopee lewat ATM BRI dan BRImo dengan Mudah

Spend Smart
Apa yang Dimaksud dengan Inflasi dan Deflasi?

Apa yang Dimaksud dengan Inflasi dan Deflasi?

Earn Smart
Gampang Cara Cek Mutasi Rekening lewat myBCA

Gampang Cara Cek Mutasi Rekening lewat myBCA

Spend Smart
Penurunan Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Indonesia Berpotensi Tertahan

Penurunan Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Indonesia Berpotensi Tertahan

Whats New
Gaji ke-13 untuk Pensiunan Cair Mulai 3 Juni 2024

Gaji ke-13 untuk Pensiunan Cair Mulai 3 Juni 2024

Whats New
Masuk ke Beberapa Indeks Saham Syariah, Elnusa Terus Tingkatkan Transparansi Kinerja

Masuk ke Beberapa Indeks Saham Syariah, Elnusa Terus Tingkatkan Transparansi Kinerja

Whats New
Pesawat Haji Boeing 747-400 Di-'grounded' Pasca-insiden Terbakar, Garuda Siapkan 2 Armada Pengganti

Pesawat Haji Boeing 747-400 Di-"grounded" Pasca-insiden Terbakar, Garuda Siapkan 2 Armada Pengganti

Whats New
ASDP Terus Tingkatkan Peran Perempuan pada Posisi Tertinggi Manajemen

ASDP Terus Tingkatkan Peran Perempuan pada Posisi Tertinggi Manajemen

Whats New
Jaga Loyalitas Pelanggan, Pemilik Bisnis Online Bisa Pakai Strategi IYU

Jaga Loyalitas Pelanggan, Pemilik Bisnis Online Bisa Pakai Strategi IYU

Whats New
Bulog Targetkan Serap Beras Petani 600.000 Ton hingga Akhir Mei 2024

Bulog Targetkan Serap Beras Petani 600.000 Ton hingga Akhir Mei 2024

Whats New
ShariaCoin Edukasi Keuangan Keluarga dengan Tabungan Emas Syariah

ShariaCoin Edukasi Keuangan Keluarga dengan Tabungan Emas Syariah

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com